Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kota yang Tak Pernah Sekarat

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Sumatera Barat Gamawan Fauzi, sepuluh hari setelah gempa, terlihat sedikit lebih cerah. Jumat pekan lalu, di rumah dinas gubernur yang menjadi pos komando penanggulangan gempa, ia berkata, ”Aktivitas ekonomi masyarakat sudah mulai pulih.”

Setelah diguncang lindu 7,6 skala Richter pada Rabu sore dua pekan lalu, kehidupan kota kini berangsur normal. Tak ada lagi antrean minyak. Angkutan kota mulai lancar. Listrik sudah menyala. Harga bahan makanan turun—misalnya tahu, yang sempat melonjak jadi Rp 2.000 per buah, kini kembali ke Rp 400. Meski air PAM dijanjikan baru bisa mengalir bulan depan, masyarakat kota tak lagi kekurangan air. Ada listrik untuk menyedot air tanah.

Sementara pada beberapa hari pertama banyak wartawan dan aktivis lembaga swadaya masyarakat terpaksa tidur di lantai, kursi, tangga, atau selasar rumah gubernur, kini semuanya sudah mendapat tempat di hotel. ”Saya optimistis melihat masyarakat di sini yang tidak lama meratap,” kata Gamawan.

Kota Padang sebenarnya tidak pernah sekarat. Tempo tiba di sana Jumat pagi dua pekan lalu, dua hari setelah gempa. Di Bandar Udara Internasional Minangkabau, kecuali toilet yang kotor dan berbau pesing karena tak ada air, pelayanan penumpang dan barang di pelabuhan udara berlangsung tanpa kendala.

Tak sulit mencari angkutan dari bandara ke pusat kota yang berjarak sekitar 30 kilometer. Ada banyak ojek dan mobil untuk disewa, meski harganya jauh melambung. Ojek yang biasanya Rp 25 ribu hari itu mematok harga Rp 100 ribu. Alasannya, mereka sudah antre berjam-jam untuk mendapatkan lima liter bensin.

Jalan utama menuju Kota Padang ramai: kendaraan lalu-lalang, anak-anak berlarian, dan antrean di pompa bensin mengular panjang. Ada bangunan retak dan roboh di kiri, kanan jalan, tapi sejauh mata memandang sebagian besar masih berdiri tegak.

Padang yang luluh-lantak baru tampak di Pecinaan, di pusat kota. Selain Hotel Ambacang yang menjadi idola liputan televisi, banyak bangunan di daerah ini—toko, sekolah, rumah tinggal—rusak berat. Bangunan tua seperti Gereja Keuskupan Sumatera Barat St. Theresia, yang telah berdiri lebih dari 70 tahun, berantakan.

”Sebagian besar warga mengirim anak mereka ke luar kota biar bisa sekolah,” kata Maria, salah seorang warga Pecinaan. Dia mengirim anaknya yang masih SD ke Pekanbaru, Riau.

Warga Pecinaan—banyak di antaranya pedagang Tionghoa—sejak hari pertama sudah membuat posko sendiri, mendata korban, mengumpulkan bantuan. Mereka bahkan menyalurkan bantuan bagi korban di wilayah lain yang hingga hari keempat setelah bencana belum juga mendapat bantuan.

Hingga akhir pekan lalu, di seluruh Sumatera Barat, ada sekitar 124 ribu bangunan yang dilaporkan rusak berat. Lebih dari 33 ribu di Kota Padang. Paling banyak di Kabupaten Padang Pariaman, sekitar 61 ribu. Sisanya tersebar di Kota Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan.

Tempo sempat berkunjung ke Padang Pariaman. Di Kecamatan Ulakan Tapakis dan Sungai Limau, boleh dibilang setiap dua dari tiga rumah tak lagi tegak berdiri.

Tapi masyarakat di sana tak mengenal kata berhenti bekerja. Di Korong Galapung, Ulakan Tapakis, misalnya, dua hari setelah gempa, pasar sudah kembali ramai, meski bangunan utamanya luluh-lantak. Warga memilih tinggal di tenda darurat di depan rumah mereka daripada mengungsi.

Barangkali itu sebabnya Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif optimistis masa tanggap darurat akan cepat selesai. ”Tadinya kami menyiapkan masa tanggap darurat selama dua bulan,” kata Syamsul. ”Tetapi, melihat kondisi di sini, bisa selesai satu bulan.” Soalnya, menurut Syamsul, Padang ternyata tak sampai lumpuh seperti Aceh, ketika sebagian besar kantor pemerintah hancur, pegawai tercerai-berai, dan fasilitas kota rusak.

Philipus Parera, Ismi Wahid, Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus