Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG tengah hari, pertengahan September lalu, Umar Wahid menerima telepon seseorang. ”Pak, bagaimana? Apakah ayat ini bisa didrop?” kata suara perempuan di seberang. ”Tidak. Ayat ini harga mati,” pemimpin Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Kesehatan itu menjawab tegas.
Penelepon itu berusaha menghubungi Umar semalaman. ”Pak, ada aspirasi dari aliansi petani tembakau,” katanya. ”Ribuan orang akan berdemo Senin besok kalau ayat ini masih ada dalam undang-undang,” si penelepon merayu. Jawaban Umar tak berubah. ”Tidak bisa. Kalau perlu, deadlock.”
Dua pekan kemudian, ruang sekretariat Komisi IX—yang membidangi kesehatan—di Gedung Nusantara I Dewan Perwakilan Rakyat kisruh. Beberapa anggota staf sekretariat berdebat dengan seorang anggota Dewan. Hakim Sorimuda Pohan, dari Fraksi Partai Demokrat, mendapati salinan RUU Kesehatan bersampul kuning sudah disunat.
Ayat 2 raib dari pasal 113. Ayat berbunyi ”Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya” tidak lagi tercantum.
Anehnya, meski ayat lenyap, penjelasannya masih tercantum. ”Ini jelas kesengajaan,” kata Hakim Sorimuda. Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa membantah ayat itu lenyap di tangannya. ”Ketika disampaikan ke Setneg, ayat itu sudah tak ada,” ujar Hatta.
Bagaimana ceritanya ayat ini bisa hilang? Pada Jumat pertengahan September, Komisi IX bersama Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menggelar rapat kerja. Dalam pengesahan tingkat pertama itu, mereka sepakat draf undang-undang akan diajukan dalam rapat paripurna, Senin. Draf lalu diteken oleh semua fraksi dan pemerintah. ”Ketika itu, ayat 2 masih ada,” kata Umar.
Rapat di bulan Ramadan itu usai sebelum petang. Namun beberapa orang tetap tinggal di dalam ruangan. Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning; anggota dari Fraksi Partai Golkar, Mariani Akib Baramuli dan Asiah Salekan; anggota dari Fraksi Bulan Bintang, Muhammad Fauzi; serta Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan Faiq Bahfen tampak berdiskusi.
Pertemuan mendadak itu dipicu surat dari Aliansi Petani Tembakau di Temanggung dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Temanggung Bambang Sukarno. Intinya meminta ayat tentang tembakau dicabut. Rencana menghapus ayat dari undang-undang lalu mencuat dalam pertemuan petang itu.
Namun rencana belum mulus. Sebab, draf sudah diteken dalam rapat pleno dengan pemerintah. Ribka memutuskan melobi anggota fraksi lain melalui telepon. Telepon lobi ini diakui Ribka. ”Karena teman-teman sudah pulang, kita bicara melalui telepon,” katanya.
Bambang Sukarno mengakui pernah mengirimkan surat ke Dewan. Surat mengatasnamakan Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia itu berisi usul agar ayat tentang tembakau dihapus. Pemimpin PDI Perjuangan cabang Temanggung ini juga berkomunikasi langsung dengan Ribka. ”Kami meminta Komisi berpihak pada petani,” kata Bambang, yang juga Ketua Masyarakat Petani Tembakau Indonesia.
Lobi gencar juga dilakukan sejumlah perusahaan rokok kepada anggota Komisi IX. Seorang mantan wakil ketua Komisi menyebutkan, menjelang pembahasan di tingkat pertama, anggota Komisi dilobi oleh utusan dari PT HM Sampoerna. Sumber ini sempat ditelepon tiga hingga empat kali tepat sebulan sebelum undang-undang dibahas dalam rapat pleno. ”Dia ngotot mau ketemu.”
Tudingan ini dibantah Niken Rachmad, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna. Niken mengatakan perusahaannya tidak pernah melobi Dewan. ”Kami tidak pernah dilibatkan,” katanya. ”Bahkan salinan undang-undang pun kami tidak punya.”
Rencana menyunat ayat akhirnya batal. Tak tercapai kesepakatan melalui lobi telepon. Akhirnya, RUU Kesehatan lengkap, dengan pasal 113 ayat 2, mulus melenggang ke sidang paripurna, dan disahkan menjadi undang-undang pada hari Senin. ”Senin pagi, saya cek lengkap ada tiga ayat,” kata Umar.
Ribka mengatakan hilangnya ayat karena kesalahan teknis. Alasannya, ketika itu Komisi sedang terburu-buru karena dibebani lima rancangan undang-undang. Menurut dia, staf sekretariat salah mengirimkan berkas ke Sekretariat Negara. ”Itu hanya soft copy yang kita oret-oret sementara,” kata Ribka.
Koalisi Anti Korupsi Undang-Undang Kesehatan berencana melapor ke kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Tuduhannya adalah pemalsuan dan penghilangan dokumen,” kata Kartono Mohamad, salah satu anggotanya.
Ninin Prima Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo