Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lari dari Zona 20

Gunung Merapi tak henti meletus. Radius bahaya diperluas, berjatuhan korban baru. Bantuan mengalir, tanpa bendera partai politik.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUJIONO tak berani melihat langit. Arloji Sersan Mayor Angkatan Darat itu menunjuk pukul dua siang. Tapi hari gelap sudah, Kamis pekan lalu itu. Gempa meruai bumi. Tubuhnya oyong.

Bersama lima rekannya, ia melipat tenda pengungsian di Lapangan Gluduk, Desa Dukun, Magelang, Jawa Tengah. ”Mereka dievakuasi lebih jauh, kami segera nyusul,” kata anggota Komando Rayon Militer Dukun itu.

Lapangan Gluduk sekitar sepuluh kilometer dari puncak Gunung Merapi, yang sudah hampir dua pekan terus menyalak. Tempat itu menjadi area pengungsian sekitar seribu penduduk sembilan dusun di Desa Argomulyo. Guyuran debu Merapi membuat 18 tenda berukuran 15 x 60 meter satu per satu ambruk. Penduduk takut dan minta pindah ke tempat lebih jauh, Muntilan.

Merapi memuntahkan awan panas dan menyemburkan jutaan kubik material sejak 26 Oktober. Pada letusan pertama, Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, luluh lantak. Permukiman teratas di lereng selatan Merapi itu merupakan tempat tinggal Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Ia tewas bersama 35 penduduk dan relawan.

Jangankan surut, gunung api paling aktif di dunia itu malah semakin liar. Awan panasnya menjangkau area lebih jauh, sehingga radius bahaya erupsi juga diperluas. Pada Rabu malam, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menetapkan radius bahaya menjadi 15 kilometer dari puncak Merapi. Ternyata, letusan berikutnya lebih dahsyat.

Pada Kamis malam hingga Jumat, awan panas besar menyembur, membunuh 64 penduduk Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan. Belasan rumah hangus. Ratusan hewan ternak musnah. Radius bahaya diperluas lagi menjadi 20 kilometer. Sejumlah wilayah di Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali harus dikosongkan.

Kolom letusan menyembur setinggi sembilan kilometer. Sejak letusan pertama, Merapi telah memuntahkan 100 juta meter kubik material—separuhnya keluar Kamis hingga Jumat pekan lalu. Hujan abu vulkanik memutihkan Kota Yogyakarta, sekitar 30 kilometer dari puncak. Terbawa angin, abu bahkan terbang hingga ke sebagian kawasan Jawa Barat.

Sebelum letusan Merapi terbesar sepanjang satu abad itu terjadi, alam terasa tak bersahabat. Slamet, 36 tahun, warga Batur Duwur, Argomulyo, mengaku tak bisa tidur selama mengungsi di Lapangan Gluduk. Listrik mati, petir, gempa, debu beterbangan di angkasa. ”Pengungsi tak mampu lagi menahan takut,” katanya.

Kamis malam, beberapa jam sebelum terjadi letusan, mobil dan sepeda motor dikerahkan mengangkut pengungsi. Mereka dilarikan ke Muntilan. Dalam gulita, koordinasi sulit dilakukan. Pengungsi terpencar. Ada yang ke gedung SMA Van Lith, SMK Sanjaya, kantor Muhammadiyah, dan gedung Koperasi Dukun. Yang penting, menjauhi Merapi. ”Sebelumnya sudah ribuan pengungsi kami tampung,” kata Iwan Agus Purwoko, relawan koordinator pengungsi di Muntilan.

Muntilan menjadi kota pengungsi. Sekolah, toko, pasar, dan perkantoran tutup. Mertoyudan, Mungkid, Borobudur, dan Ngluwar diguyur abu vulkanik. Jalan raya Magelang-Yogyakarta tergenang debu licin. Gelombang pengungsi terus bergerak menuju 59 lokasi pengungsian di Magelang.

Di malam yang sama, Linda Pardede terkesiap. Rumahnya di Dusun Dabag, Pringwulung, Yogyakarta, diketuk dari luar. Teriakan ”bangun, bangun...” mengakhiri tidurnya. Ia mendengar suara gemuruh sangat keras. Ia sadar, rumahnya berjarak 28 kilometer dari puncak—termasuk area aman. Tapi semua panik. Klakson mobil bersahutan. Lonceng gereja berdentang-dentang.

Di Jalan Kaliurang Km 8,5, Kristo Gana juga panik. Tetangganya turun ke jalan. Mereka bermasker. Rumah Kristo 25 kilometer dari Merapi. Cemas kian membuhul karena hujan abu, pasir, dan kerikil kian deras. ”Yogya berselimut debu tebal,” katanya.

Di kaki Merapi, Aulia Zaki, relawan posko Desa Wukirsari, menyaksikan pengungsi kocar-kacir. Sirene tanda bahaya meraung-raung setelah Pos Pemantauan Merapi mengabarkan: ”awan panas meluncur eksplosif dalam skala besar”.

Barak-barak pengungsi kacau. Ribuan orang semburat, menuju Gedung Olahraga Maguwoharjo. Warga tumpah-ruah di jalan, diangkut truk, mobil, sepeda motor, semrawut. Sanak saudara terpisah. ”Saudara dan teman saya ngungsi di Sleman,” kata Tri Hartoyo, warga Purwobinangun. Rumahnya hancur tertimpa batu. Maguwoharjo menjadi benteng perlindungan 36 ribu penduduk, 14 ribu lainnya mengungsi ke Youth Center.

Maguwoharjo dipilih karena luas. ”Biar ngumpul, tak terpisah keluarga,” kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Jumat pagi, dapur umum belum didirikan. ”Lalu kami menggalang gerakan nasi bungkus,” kata Yani, relawan di Maguwoharjo.

Ribuan nasi bungkus dan bantuan lain mengalir. Kemudian ruangan ditata. Bayi, ibu hamil, dan kaum lanjut usia ditempatkan di kantor serta ruang ganti atlet. Bantuan mengalir dari orang-orang yang bergerak sendiri, tanpa bendera partai politik atau perusahaan.

Dwidjo U. Maksum, L.N. Idayanie, Bernada Rurit, Pito A.R. (Yogyakarta), Anang Zakaria (Magelang), Ahmad R. (Klaten)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus