Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHLILAN itu diakhiri dengan serangkaian pidato hingga larut malam. Hadir berpuluh kiai, para pemuka lintas iman, dan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Tujuh hari wafatnya Kiai Haji Abdurrahman Wahid diperingati pada malam itu, Selasa pekan lalu. Ribuan warga nahdliyin yang membanjiri rumahnya di Ciganjur, Jakarta Selatan, seolah menghadirkan dia sesaat, melalui lantunan syair Abunawas kesukaannya: Ilaahilastulilfirdausi ahlaa….
Seusai tahlilan, saat bersalam-salaman, ada yang berbisik tentang wasiat Gus Dur, sapaan akrab Presiden RI keempat. ”Apa wasiat Gus Dur untuk Nahdlatul Ulama?” tanya Badruddin, tamu asal Pekalongan, Jawa Tengah, kepada temannya. Yang ditanya menggeleng. Bisik-bisik juga menyebar di antara ribuan orang yang mengikuti tahlilan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. ”Tak ada yang tahu soal wasiat,” kata Harun, santri.
Ihwal wasiat mula pertama muncul dari pengakuan Dhohir Farisi, suami Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, putri Gus Dur. Sebelum wafat, Gus Dur berziarah ke makam kakeknya di Tebuireng, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Dia melihat makam pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia itu kotor, lalu disampaikan ke Farisi. ”Takwilnya, NU harus dibersihkan dari campur tangan orang tak berideologi melayani umat,” kata Yenny, setelah mendengar pengakuan suaminya.
Setelah Gus Dur wafat, Yenny dan suaminya menafsirkan pesan itu sebagai sebuah wasiat untuk mengembalikan NU ke khitahnya, ”Sebagai pelayan umat.” Bahkan, menurut Munib Huda, asisten pribadi Gus Dur, dua bulan sebelum patronnya wafat, dia sering menyinggung masa depan NU. ”Dalam beberapa kesempatan, beliau berpesan agar NU kembali ke khitah 1926 dan dipegang orang yang amanah,” kata Munib.
Siapa ”orang amanah” itu? Menurut Munib, Gus Dur beberapa kali menyebut lima nama dalam waktu dan kesempatan berbeda. Kiai Mustofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah; Kiai Tholhah Hasan, Ketua Badan Wakaf Indonesia Ustad Masdar Farid Mas’udi, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat; Kiai Said Aqil Siroj, Ketua Pengurus Besar NU; dan Ulil Abshar-Abdala, menantu Gus Mustofa Bisri. ”Gus Dur berharap, Ketua NU haruslah orang yang tahu tarekat, tahan godaan politik, dan hatinya hidup untuk umat,” kata Munib.
”Saya tak pernah mendapat wasiat Gus Dur,” ujar Said Aqil kepada Tempo. Agar tak salah paham, Said mengingatkan kedudukan wasiat dalam hukum Islam. Menurut doktor ushuluddin dan pakar tasawuf itu, seseorang yang hendak wafat biasanya meninggalkan wasiat dan ishok. Wasiat adalah pesan tentang materi dan umat, misalnya wakaf tanah. Ishok pesan yang tak berhubungan dengan materi, misalnya permintaan menjaga NU sebagai pilar bangsa. ”Wasiat wajib dilaksanakan, ishok tidak wajib,” katanya.
Masih ada syarat khusus wasiat, ujar Said merujuk kitab fikih. Menurut Said, wasiat harus disaksikan dua laki-laki, atau seorang pria plus dua perempuan. ”Jika tak ada laki-laki, saksi yang sah adalah empat perempuan, dan semua saksi harus adil, di bawah sumpah, cukup umur atau dewasa, dan bisa dipercaya,” kata Said. ”Zaman sekarang mungkin dikuatkan akta notaris agar kebenarannya dijamin hukum,”dia menambahkan. Adapun ”wasiat” yang diramaikan ihwal penjaga NU, Said cenderung menilai sebagai ishok, yang dikategorikan bukan perkara wajib.
Wasiat, isyarat atawa ishok, dalam tradisi NU menjadi perkara penting. Pesan bermuatan spiritual yang disampaikan kiai besar itu biasa dijadikan patokan para penerus dalam menentukan pilihan. Maret mendatang, kaum nahdliyin akan menggelar muktamar ke-32 di Makassar. Inilah forum tertinggi untuk memilih pucuk pimpinan NU, baik tanfidziyah, atau pelaksana organisasi, maupun syuriah, barisan ulama. Akan ada pemungutan suara untuk memilih Ketua Tanfidziyah dan Rais Am.
Muktamar kali ini terbilang penting, karena Kiai Hasyim Muzadi, ketua umumnya, tak boleh lagi berlaga. Ia dikabarkan akan maju sebagai Rais Am, bersama elite kiai lainnya. Dan yang tak kalah penting, inilah muktamar pertama kalinya sepeninggal Gus Dur, yang pernah memimpin organisasi ini selama tiga periode sejak Muktamar Situbondo pada 1984, Krapyak pada 1989, dan Cipasung 1994. Jamak terdengar bahwa kemenangan Gus Dur itu, selain karena popularitasnya, adalah berkat dukungan kiai terkemuka dan kiai nyentrik lainnya.
Menjelang muktamar mendatang, beberapa nama sudah sibuk bergerilya. Said mengaku mengantongi dukungan seluruh Jawa, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan beberapa kawasan Indonesia timur. ”Tak penting cara mendapat dukungan, yang penting menang,” kata Said. Ulil Abshar juga terus merapat ke Kiai Abdullah Faqih, sesepuh Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, dan ulama lainnya. ”Perlu penjelasan mendalam kepada para ulama tentang saya,” kata Ulil, yang dianggap mewakili sosok muda NU.
Kandidat lain yang juga disebut dalam pesan Gus Dur, Masdar Farid Mas’udi, menyatakan siap maju. Menurut intelektual muslim itu, jika NU mau maju, pola regenerasinya harus diubah, tak lagi bergantung pada tokoh atau figur tertentu. ”Tokoh karismatik makin sedikit jumlahnya,” kata Masdar. ”Pada masa mendatang, kiblatnya harus ke institusi, agar berumur panjang. Soal ada wasiat atau tidak, saya siap menjadi juru mudi NU kembali ke khitah,” kata Masdar.
WMU, Dwidjo U. Maksum (Jakarta), Muhammad Taufik (Jombang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo