SEORANG terhukum diseret ke tempat hukuman.
Wajah dan rambut laki-laki itu kusut. Mulutnya terbuka dan
nampak goblog. Ia seperti seekor anjing yang patuh dan takluk,
hingga orang yang melihatnya bisa mengambil kesimpulan bahwa
sebenarnya ia bisa saja dilepas begitu saja, lalu bisa dipanggil
dengan siul untuk menjalani hukuman matinya jika saatnya tiba.
Tapi ia tak dilepas, tentu. Lututnya, pergelangan tangannya dan
lehernya dirantai. Ujung-ujung rantai itu saling berhubungan.
Dan himpunan rantai ini masih dikaitkan dengan sebuah rantai
yang lebih berat yang dipegangi oleh seorang serdadu.
Hari itu hari yang panas. Dan hukuman nampaknya akan dilakukan
sonder upacara. Bahkan tanpa perhatian publik. Lembah berpasir
yang dikelilingi bukit-bukit di koloni hukuman itu sepi. Di
siang tropis itu, yang ada di tempat pelaksanaan hukuman
hanyalah si terhukum, si serdadu pembawa rantai, seorang perwira
dan seorang penjelajah asing yang diberi ijin khusus oleh
Komandan buat ke situ.
Sang perwira nampak sangat bersemangat Tapi ia terutama bangga
akan perkakas khusus yang diciptakan oleh Komandannya yang
dahulu -- sebuah alat buat menghukum mati seseorang dalam proses
beberapa jam. "Ini sebuah alat yang menarik," kata sang perwira
kepada sang penjelajah asing.
Sang penjelajah tak begitu tertarik, tapi sang opsir terus saja
menjelaskan perkara mesin itu. Bahwa mesin tersebut terdiri atas
beberapa bagian. Bahwa bagian yang bawah disebut "Balai-Balai".
Bahwa di samping itu ada sesuatu alat yang disebut "Garu" -- di
mana terpasang jarumjarum runcing yang berfungsi sebagai gigi.
Dan bahwa (dan ini dikatakannya dengan nada datar) si terhukum
nanti akan ditaruh di atas Balai-Balai, karena tubuhnya akan
diterobos oleh jarum-jarum Garu itu, yang bergerak naik turun
mengukir jauh sejumlah kata-kata ke dalam jangat, pelan-pelan,
sampai si terhukum mati.
"Apa pun pelanggaran yang dilakukan oleh si terhukum," kata sang
opsir, "itu akan dituliskan di tubuhnya dengan jarum-jarum
Garu."
Proses itu, kata si opsir lagi, akan berlangsung selama 12 jam.
Dan pencoblosan kian lama akan kian merasuk. Kemudian tubuh yang
rusak itu dikuburkan ....
Para pembaca yang terhormat. Kisah di atas tadi memang
memualkan. Katakanlah berlebih-lebihan. Tapi seperti mungkin
anda ketahui, ia berasal dari Franz Kafka, dalam cerita
pendeknya, Di Koloni Hukuman.
Jadi maafkanlah si pengutip. Lagipula kita toh tahu bahwa
kekejaman dilakukan juga di luar cerita pendek. Lagipula dalam
cerita Kafka ini yang tak kalah mengerikannya ialah segi
prosedur bagaimana hukuman diputuskan.
Si terhukum, dalam cerita itu, tidak diberi kesempatan untuk
membela diri. Si terhukum bahkan tidak tahu apa hukuman yang
akan dijatuhkan kepadanya. Ia malahan tak tahu bahwa ia dihukum.
"Tak ada gunanya memberitahu itu kepadanya," sang opsir
menjelaskan, "ia toh akan mengetahuinya di atas tubuhnya
sendiri."
Bagaimana kalau ia ternyata tak bersalah?
Pertanyaan itu terang tak bisa kita ajukan kepada tokoh-tokoh
dongeng Kafka. Pertanyaan itu mungkin lebih baik kita ajukan
kepada tokoh-tokoh dalam dunia kenyataan kita mereka, yang
dengan begitu mudah, mencurigai orang, menangkapnya dan
menahannya, sampai entah kapan.
Lalu marilah kita baca cerita Kafka yang lain "Menjelang Hukum
berdiri seorang penjaga pintu. Ke pintu ini datanglah seorang
laki-laki dari pedalaman, memohon agar ia diterima ke muka
Hukum. Tapi si penjaga pintu mengatakan bahwa ia tak dapat
meluluskan permohonan itu sekarang."
Maka dalam cerita aneh seperti mimpi buruk ini orang dusun itu
pun menunggu. Terus. Sampai tua. Sampai mati.
Kepada siapa ia harus mengadu? Menakjubkan, bahwa pertanyaan
yang terdengar sentimentil itu sering terucap sekarang ini,
tidak dalam khayalan seorang Kafka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini