Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Terdakwa, Kepada Siapa Ia Mengadu

Dalam cerita berjudul "di koloni hukuman", diceritakan tentang terhukum yang tak diberi hak untuk membela. Dalam dunia nyata, mereka begitu mudah mencurigai, menangkap, dan menahan.

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG terhukum diseret ke tempat hukuman. Wajah dan rambut laki-laki itu kusut. Mulutnya terbuka dan nampak goblog. Ia seperti seekor anjing yang patuh dan takluk, hingga orang yang melihatnya bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya ia bisa saja dilepas begitu saja, lalu bisa dipanggil dengan siul untuk menjalani hukuman matinya jika saatnya tiba. Tapi ia tak dilepas, tentu. Lututnya, pergelangan tangannya dan lehernya dirantai. Ujung-ujung rantai itu saling berhubungan. Dan himpunan rantai ini masih dikaitkan dengan sebuah rantai yang lebih berat yang dipegangi oleh seorang serdadu. Hari itu hari yang panas. Dan hukuman nampaknya akan dilakukan sonder upacara. Bahkan tanpa perhatian publik. Lembah berpasir yang dikelilingi bukit-bukit di koloni hukuman itu sepi. Di siang tropis itu, yang ada di tempat pelaksanaan hukuman hanyalah si terhukum, si serdadu pembawa rantai, seorang perwira dan seorang penjelajah asing yang diberi ijin khusus oleh Komandan buat ke situ. Sang perwira nampak sangat bersemangat Tapi ia terutama bangga akan perkakas khusus yang diciptakan oleh Komandannya yang dahulu -- sebuah alat buat menghukum mati seseorang dalam proses beberapa jam. "Ini sebuah alat yang menarik," kata sang perwira kepada sang penjelajah asing. Sang penjelajah tak begitu tertarik, tapi sang opsir terus saja menjelaskan perkara mesin itu. Bahwa mesin tersebut terdiri atas beberapa bagian. Bahwa bagian yang bawah disebut "Balai-Balai". Bahwa di samping itu ada sesuatu alat yang disebut "Garu" -- di mana terpasang jarumjarum runcing yang berfungsi sebagai gigi. Dan bahwa (dan ini dikatakannya dengan nada datar) si terhukum nanti akan ditaruh di atas Balai-Balai, karena tubuhnya akan diterobos oleh jarum-jarum Garu itu, yang bergerak naik turun mengukir jauh sejumlah kata-kata ke dalam jangat, pelan-pelan, sampai si terhukum mati. "Apa pun pelanggaran yang dilakukan oleh si terhukum," kata sang opsir, "itu akan dituliskan di tubuhnya dengan jarum-jarum Garu." Proses itu, kata si opsir lagi, akan berlangsung selama 12 jam. Dan pencoblosan kian lama akan kian merasuk. Kemudian tubuh yang rusak itu dikuburkan .... Para pembaca yang terhormat. Kisah di atas tadi memang memualkan. Katakanlah berlebih-lebihan. Tapi seperti mungkin anda ketahui, ia berasal dari Franz Kafka, dalam cerita pendeknya, Di Koloni Hukuman. Jadi maafkanlah si pengutip. Lagipula kita toh tahu bahwa kekejaman dilakukan juga di luar cerita pendek. Lagipula dalam cerita Kafka ini yang tak kalah mengerikannya ialah segi prosedur bagaimana hukuman diputuskan. Si terhukum, dalam cerita itu, tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Si terhukum bahkan tidak tahu apa hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Ia malahan tak tahu bahwa ia dihukum. "Tak ada gunanya memberitahu itu kepadanya," sang opsir menjelaskan, "ia toh akan mengetahuinya di atas tubuhnya sendiri." Bagaimana kalau ia ternyata tak bersalah? Pertanyaan itu terang tak bisa kita ajukan kepada tokoh-tokoh dongeng Kafka. Pertanyaan itu mungkin lebih baik kita ajukan kepada tokoh-tokoh dalam dunia kenyataan kita mereka, yang dengan begitu mudah, mencurigai orang, menangkapnya dan menahannya, sampai entah kapan. Lalu marilah kita baca cerita Kafka yang lain "Menjelang Hukum berdiri seorang penjaga pintu. Ke pintu ini datanglah seorang laki-laki dari pedalaman, memohon agar ia diterima ke muka Hukum. Tapi si penjaga pintu mengatakan bahwa ia tak dapat meluluskan permohonan itu sekarang." Maka dalam cerita aneh seperti mimpi buruk ini orang dusun itu pun menunggu. Terus. Sampai tua. Sampai mati. Kepada siapa ia harus mengadu? Menakjubkan, bahwa pertanyaan yang terdengar sentimentil itu sering terucap sekarang ini, tidak dalam khayalan seorang Kafka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus