TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 105 tahun silam atau 22 Juli 1917, Adam Malik dilahirkan. Dia adalah mantan wakil presiden ketiga Republik Indonesia. Sebelum itu, ia merupakan seorang wartawan yang juga menjadi diplomat ulung. Dia juga sempat diisukan sebagai mata-mata CIA. Melewati empat zaman, Adam Malik tak lekang oleh waktu. Dalam buku Adam Malik Menembus Empat Zaman terbitan ANRI, disebutkan bahwa Adam Malik merupakan tokoh empat masa, yaitu masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, pemerintahan Sukarno, dan kekuasaan Soeharto. Sosok kelahiran Pematangsiantar seabad lebih silam ini juga dikenal karena ahli dan pintar bernegosiasi serta berdiplomasi baik di dalam ataupun di luar negeri. Putra dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis ini memang dikenal sejak kecil sebagai anak yang cerdik dan cerdas. Bahkan, selain dipanggil Si Bung oleh anak, cucu dan kerabat dekatnya, Adam malik juga dijuluki “kancil” oleh Perdana Menteri, Amir Syarifudin karena kepintarannya. Sejak belia, dia sudah menaruh perhatian terhadap dunia politik. Pada 1934-1935, Adam Malik mulai masuk ke perpolitikan dengan memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematangsiantar. Keinginannya untuk maju serta berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik untuk merantau ke Jakarta. Adam Malik muda berkarier sebagai wartawan di Jakarta. Dia adalah satu dari beberapa pendiri Kantor Berita Antara, sekarang Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Pada masa penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif dalam gerakan pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Adam Malik menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Sebagai seorang wartawan di harian Jepang yang bernama Domei, dia dapat dengan mudah mendapatkan akses informasi tentang keadaan dunia internasional di masa itu. Dengan demikian Adam bisa memberikan masukan atau pendapat kepada tokoh-tokoh bangsa dalam semangat merebut kemerdekaan. Pada era 1945 hingga 1947, Adam Malik menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Pada saat yang bersamaan, dia juga mendirikan Partai Rakyat dan Partai Murba. Melalui kedua partai ini, pada pemilihan umum 1955, dia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Karier Adam Malik di dunia internasional pun menonjol. Berbagai jabatan pernah disandangnya, seperti Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Negara Uni Soviet dan Polandia. Adam Malik juga pernah jadi Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk perundingan Indonesia dengan Belanda mengenai wilayah Irian Barat di Washington D.C, Amerika Serikat. Pada 1971, Adam Malik juga terpilih sebagai Ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa ke-26. Adam Malik merupakan orang Indonesia pertama dan satu-satunya sebagai Ketua sidang majelis umum PBB hingga saat ini. Dia pernah memimpin persidangan PBB yang memutuskan dan menerima keanggotaan RRC di PBB sekaligus memberi hak veto. Sementara di dalam negeri, karier Adam Malik tak kalah moncer. Dia pernah menjadi Menteri Perdagangan sekaligus menjabat sebagai Wakil Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE), Wakil Perdana Menteri II atau Waperdam II, sekaligus sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II. Dia juga berhasil melewati masa transisi dengan pemerintahan yang berbeda antara era Orde Lama dan Orde Baru. Adam Malik merupakan Menteri Luar Negeri RI di urutan kedua yang cukup lama dipercaya untuk memangku jabatan tersebut setelah Dr. Soebandrio. Sebagai Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain. Termasuk penjadwalan ulang utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Serta saat normalisasi dengan Malaysia hingga terbentuknya ASEAN pada 1967. Karier tertingginya dicapai ketika berhasil memangku jabatan sebagai Wakil Presiden RI yang diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1978. Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker hati. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kemudian, istri dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Nama Adam Malik juga diabadikan menjadi nama lapangan Adam Malik, sejenis alun-alun, yang terletak di jantung Kota Pematangsiantar. Lapangan Adam Malik ini, selain tempat olah raga, juga untuk upacara pada hari-hari penting dan kemerdekaan RI. Lapangan ini menjadi pusat rekreasi bagi masyarakat di Kota Pematangsiantar. Adam Malik, usai wafatnya, pernah diterpa isu sebagai mata-mata badan intelijen AS, Central Intelligence Agency atau CIA. Laporan itu diterbitkan dengan judul Legacy of Ashes, the History of CIA (Membongkar Kegagalan CIA) oleh wartawan koran The New York Times, Tim Weiner. Seorang petinggi CIA bernama Clyde McAvoy mengatakan Adam Malik direkrut dan dikontrol oleh dirinya. Hal itu diakuinya dalam wawancara pada 2005 silam kepada Wainer. Dalam wawancara, McAvoy mengaku bertemu Adam Malik pada 1964. Namun sejarawan Asvi Warman Adam menilai pernyataan dalam buku itu fitnah. Menurut Asvi pernyataan McAvoy itu wajib diragukan, sebab selain tidak didukung oleh dokumen yang kuat dan saksi, Adam Malik juga telah meninggal. "Jadi ini hanya peryataan sepihak pada seseorang yang sudah tidak mungkin memberikan konfirmasi atau jawaban," ujar Asvi saat dihubungi Tempo, Ahad, 23 November 2008 lalu. Menurutnya, pernyataan McAvoy itu hanya untuk kepentingan mengangkat nama baiknya saja. “Akan terdengar luar biasa kan kalau seorang petinggi negara lain pernah dia jadikan agen CIA. Mungkin dia hanya cari nama saja,” katanya. HENDRIK KHOIRUL MUHID Baca: Bertemu Jokowi, Jose Ramos Horta Kenang Pertemuan dengan Adam Malik Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.