Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, 23 Maret 1978 silam, Adam Malik dipilih Presiden Soeharto untuk menjadi wakilnya. Adam menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang tak bersedia dicalonkan lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas bagaimana kilas balik Adam Malik jadi Wakil Presiden Indonesia ke-3 ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menjadi wakil presiden, Adam Malik memang sudah malang melintang di pemerintahan. Dia pernah menjadi Menteri Perdagangan sekaligus sebagai Wakil Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi Operasi Ekonomi atau KOTOE. Dia juga pernah jadi Wakil Perdana Menteri II atau Waperdam II sekaligus sebagai Menteri Luar Negeri, disingkat Menlu, di kabinet Dwikora II.
Adam Malik merupakan Menlu di urutan kedua yang cukup lama dipercaya untuk memangku jabatan setelah Dr. Soebandrio.
Selama pemerintahan Orde Baru, sebagai Menlu dia berperan penting dalam berbagai perundingan dengan negara lain. Termasuk penjadwalan ulang utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Dia juga terlibat menormalisasi hubungan dengan Malaysia hingga terbentuknya ASEAN pada 1967.
Dari Ketua DPR/MPR ke Wakil Presiden
Pada 1977, Adam Malik terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian beberapa bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3.
Melansir buku Adam Malik Menembus Empat Zaman terbitan ANRI, setelah mempertimbangkan beberapa kandidat alternatif, Soeharto memilih Adam Malik menjadi Wakil Presidennya. Dia dilantik sehari setelahnya, 24 Maret 1978.
Menjadi Wapres merupakan Karier tertinggi yang dicapai oleh seorang Adam Malik. Setelah pelantikannya sebagai wakil presiden dan pengambilan sumpah jabatannya, dia banyak mendampingi Soeharto. Misalnya mendampingi presiden dalam Perayaan HUT detik-detik tujuh belas Agustus di istana negara dan juga saat peresmian Taman Mini Indonesia Indah. Serta, kegiatan rutin dalam menerima tamu-tamu negara.
Kalimat "Semua bisa diatur"
Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, Adam Malik merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, latar belakang dia adalah tokoh pergerakan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan juga wartawan. Dalam beberapa kesempatan Adam mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme yang dianut pemimpin nasional. Dia menganalogikannya seperti tuan-tuan kebon.
Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, Adam Malik sering mengatakan ‘semua bisa diatur”. Dia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi perkataan itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini ‘semua bisa diatur’ dengan uang.
Melansir laman pemkomedan.go.id, setelah mengabdikan diri untuk bangsa dan negaranya, Adam Malik meninggal pada 1984. Dia wafat di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker liver. Istri dan anak-anaknya kemudian mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah pun turut memberikan berbagai tanda kehormatan.
Pilihan editor : 105 Tahun Adam Malik: Wartawan, Menteri Luar Negeri, Wakil Presiden dan Isu Mata-mata CIA
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.