KIMPUL, 61 tahun, bisa disebut juga "pengungsi Vietnam". Sejak
ia ditahan, mula-mula oleh Belanda, kemudian Jepang, dan tempat
tahanannya selalu berpindah bahkan sempat di Bangkok. Awal 1947
ia "terdampar" di Vietnam, tinggal menetap dan menikah dengan
Aminah, wanita Indonesia berdarah Vietnam. Jatuhnya Saigon ke
tangan komunis memaksa mereka bersama 5 keluarga Indonesia
lainnya "mengungsi" ke Indonesia. Ini suatu keberuntungan
buatnya karena pengungsiannya dibiayai pemerintah Indonesia,
sebab "Bukannya saya tidak mau pulang, tapi memang saya tidak
punya biaya." Puluhan tahun di Vietnam kedudukannya sebagai
warga negara Indonesia tetap dipertahankannya. Ia tidak ingin
satupun dari 8 anaknya diwajibkan jadi tentara.
Impian Kimpul untuk kembali ke tanah air dan hidup tenteram
ternyata tidak terwujud. Sejak kembali di Indonesia Juni 1976
hidupnya malahan terlunta-lunta. 8 bulan pertama tinggal di
tempat penampungan sementara Wisma Tan Miat Cilandak, Jakarta
hidupnya sekeluarga masih mendingan. Dengan bekal Rp 250.000
dari Departemen Sosial ia dilepas dari tempat penampungan.
Belakangan ia tahu dari beberapa temannya, jatahnya sebetulnya
Rp 50 ribu per jiwa. Buru-buru ia kembali ke Depsos dan berhasil
memperoleh Rp 250.000 yang hampir berhasil disunat oknum Depsos
itu.
Keluarga Kimpul mengontrak rumah di belakang Wisma Tan Miat, dua
tahun Rp 350.000. Sejak lepas dari Depsos, Kimpul bergabung
dengan ribuan pencari kerja lain di Jakarta, dan sebagai yang
bisa diduga ia gagal. Puluhan kantor dan perusahaan dimasukinya,
tapi tak ada lowongan baginya, walaupun sebagai kuli. Malahan
kemudian nasib membebaninya lagi dengan derita baru. Tubuhnya
mulai sakit-sakitan. "Padahal puluhan tahun kerja terus di
Saigon saya tidak pernah sakit," ujarnya. Pernah ia mencoba
memperoleh pengobatan di RS Fatmawati tapi terpaksa
mengundurkan diri karena tidak mampu membayar ongkos yang
terlalu tinggi buatnya.
Tidak keberuntungan juga menimpa Ny. Kimpul. Pernah ia mericoba
menjual sayur di depan rumah tapi beberapa tetangganya yang JUga
mempunyal usaha yang sama berkeberatan. Dua gadisnya juga gagal
memperoleh kerja, sekalipun sebagai pembantu rumah tangga. Kini
Ny. Kimpul bekerja sebagai baby sitter dengan gaji Rp 200
sehari.
Keluarga Kimpul merasa berterimakasih karena beberapa kawannya
terkadang masih memberikan bantuan. Kiriman uang kadangkala
datang juga dari seorang anaknya yang kini tinggal di Swiss
mengikuti suaminya. Tidak banyak, antara Rp 10.000 sampai Rp
25.000. Kimpul dan isterinya hanya bisa mengusap dada bila anak
bungsu atau kedua cucunya menangis kalau diolok-olok "Orang
Vietnam tidak boleh tingal di sini," oleh teman sepermainan
mereka. Tapi ia gembira ada puteranya yang bekerja walaupun
hanya sebagai kenek kolt.
Hidup buat keluarga Kimpul saat ini adalah bagaimana bisa
mencukupi makan buat hari itu. Tiap hari keluarga dengan 10 jiwa
itu memerlukan 4 liter beras, tapi "Kalau sampai kenyang ya 5
liter habis," kata Ny. Aminah. Mereka terburu-buru meninggalkan
Saigon dan hanya sekedar pakaian saja yang sempat mereka bawa.
Hingga rumah kayu tua, kotor dan becek seluas 45 m mÿFD yang
dikontraknya~ itu tidak banyak perabotnya.
Kimpul dan isterinya tidak tahu bagaimana nasib mereka kalau
Maret mendatang rumah kontrakan mereka habis sewanya. Masa
depannya gelap. "Saya mau bekerja apa saja, asal tidak mengganggu
tetangga," kata Kimpul. Mungkin hanya satu hal yang disyukurinya.
Bahwa mereka masih hidup dan berkumpul. Dan "biarpun tidak
senang, ini kan tanah air sendiri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini