DI Indonesia, jarang peristiwa seperti itu terjadi: sekitar 330
ilmuwan dan cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan
pekan lalu berkumpul di Jakarta. Mereka hadir dalam Kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional (Kipnas) III yang berlangsung di akarta 15
- 19 September lalu. Kipnas 11 diselenggarakan di Yogyakarta
hampir 20 tahun yang lalu, pada 1962.
Bisa dimengerti bila Ketua LIPI Prof. 13r. Bachtiar Rifai dengan
bangga mengatakan pekan lalu "pemikir-pemikir terbaik dari
negeri ini telah kami kumpulkan di sini." Para cendekiawan itu
dikumpulkan terutama untuk menginventarisasi tingkat kemajuan
ilmu yang dicapai selama ini untuk dijadikan landasan
perencanaan pengembangan di masa mendatang. Tujuannya: agar kita
tidak semakin tergantung pada negara-negara maju. Tema Kongres
adalah "Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
menjangkau tujuan nasional."
Hasil kongres yang telah menelaah dan membahas 6 pidato
pengarahan, 39 makalah inti dan 59 makalah teknis selama 5 hari
dengan biaya hotel sebesar Rp 50 juta itu belum banyak
diungkapkan. Yang telah diumumkan hanya kesimpulan kongres yang
21 halaman.
Salah satu kesmlpulan yang menarik adalah tentang peranan ilmu
pengetahuan dan para ilmuwan. "Para ilmuwan selain mempunyai
tanggungjawab profesional juga mempunyai tanggungjawab sosial
politik yang disertai sikap moral yang jujur," kata Dr. Mochtar
Buchori, Deputi Ketua LIPI yang membaca kesimpulan kongres Sabtu
lalu.
Menurut kesimpulan itu, dalam suatu masyarakat yang berasaskan
Pancasila, bagi para ilmuwan Indonesia tidak ada pilihan lain
kecuali mengembangkan tanggungjawab sosial dengan Pancasila
sebagai sumber moral sikap formalnya. Konsekuensinya: para
ilmuwan harus mempunyai sikap politik formal. Hingga "antara
para ilmuwan dan penguasa tidak perlu ada pertentangan," karena
peranannya dalam proses penentuan kebijaksanaan justru terletak
dalam tahap sebelum adanya keputusan akhir. "Perbedaan paham
justru bermanfaat untuk mengambil keputusan yang tepat."
Makalah Terlambat
Selama Kipnas berlangsung, banyak wartawan merasa kongres "lebih
ketat dari Rapim ABRI." Hanya makalah yang boleh disiarkan,
sedang diskusi itu sendiri tertutup bagi pers.
Bagi sebagian orang lain, ketertutupan itu diduga ada di sisi
yang berbeda. Tidak semua ilmuwan terkemuka Indonesia rupanya
hadir dalam kongres di Hotel Kartika Chandra itu. Beberapa nama
seperti Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. Mubyarto, Dr. Dorodjatun
Kuntjoro Jakti, Dr. Melly G. Tan, Adnan Buyung Nasution serta
Frans Seda ternyata tidak muncul sebagai peserta kongres.
"Mereka terlambat menyerahkan makalah," kata Bachtiar Rifai pada
TEMPO. Kecuali itu ada makalah yang dianggap tidak sesuai dengan
permintaan atau tidak imbang dengan bldang lain. "Bagaikan
tinju, kelasnya tidak sama," sambung Bachtiar. Menurut Ketua
LIPI ini, dari DPR dan Hankam juga ada beberapa makalah yang
tidak masuk.
Namun Adnan Buyung Nasution merasa tidak terlambat. Makalahnya
yang berjudul "Pendayagunaan hukum dan pelembagaan partisipasi
dalam menunjang sistem hukum" telah diserahkannya sebelum batas
waktu 4 September. Ia yakin penolakan kehadirannya di Kipnas III
bukan karena isi makalahnya, tapi mungkin karena "orangnya".
Taufik Abdullah, yang sebenarnya termasuk "orang dalam" karena
bekerja sebagai peneliti ahli di Leknas/LIPI, tidak terlalu
mempermasalahkan hal itu. Ia sendiri belum menyerahkan
makalahnya mengenai Hankam--karena keburu menerima surat
pembatalan dari LIPI 30 Agustus lalu. "Seandainya terlambat
menyerahkan, biasanya pembuat makalah cuma diharuskan
memperbanyak sendiri," katanya.
Bekas Menteri Perhubungan Frans Seda yang ditemui TEMPO dalam
Seminar Ekonomi Pancasila di Yogyakarta akhir pekan lalu
bercerita: "Beberapa pekan lalu Sekretariat LIPI menelepon saya.
Mereka minta maaf, karena tidak tahu pasti apakah saya telah
menerima undangan. Mereka telah memutuskan saya tidak perlu lagi
menyiapkan makalah berjudul "Pembangunan Ekonomi dan Pertahanan
Keamanan" yang semula mereka minta. Saya jawab oke, karena
kebetulan waktu saya tidak banyak."
Mubyarto, yang juga menerima pemberitahuan resmi tentang
pembatalan undangan buat hadir di Kipnas tidak ingin meributkan
masalah ini. Ia sebetulnya diminta menulis makalah dengan judul
"Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Manusia." Sewaktu
diberitahu tentang pembatalan itu ia tidak kaget. "Saya sudah
merasa, cepat atau lambat, hal seperti itu bakal terjadi,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini