Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

20 tahun kemudian

Kongres ilmu pengetahuan nasional iii, setelah 20 thn baru ini diadakan lagi, dalam kongres tersebut dibahas 6 pidato pengarahan & 39 makalah. beberapa cendekiaawan ditolak makalahnya karena terlambat.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Indonesia, jarang peristiwa seperti itu terjadi: sekitar 330 ilmuwan dan cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan pekan lalu berkumpul di Jakarta. Mereka hadir dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) III yang berlangsung di akarta 15 - 19 September lalu. Kipnas 11 diselenggarakan di Yogyakarta hampir 20 tahun yang lalu, pada 1962. Bisa dimengerti bila Ketua LIPI Prof. 13r. Bachtiar Rifai dengan bangga mengatakan pekan lalu "pemikir-pemikir terbaik dari negeri ini telah kami kumpulkan di sini." Para cendekiawan itu dikumpulkan terutama untuk menginventarisasi tingkat kemajuan ilmu yang dicapai selama ini untuk dijadikan landasan perencanaan pengembangan di masa mendatang. Tujuannya: agar kita tidak semakin tergantung pada negara-negara maju. Tema Kongres adalah "Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menjangkau tujuan nasional." Hasil kongres yang telah menelaah dan membahas 6 pidato pengarahan, 39 makalah inti dan 59 makalah teknis selama 5 hari dengan biaya hotel sebesar Rp 50 juta itu belum banyak diungkapkan. Yang telah diumumkan hanya kesimpulan kongres yang 21 halaman. Salah satu kesmlpulan yang menarik adalah tentang peranan ilmu pengetahuan dan para ilmuwan. "Para ilmuwan selain mempunyai tanggungjawab profesional juga mempunyai tanggungjawab sosial politik yang disertai sikap moral yang jujur," kata Dr. Mochtar Buchori, Deputi Ketua LIPI yang membaca kesimpulan kongres Sabtu lalu. Menurut kesimpulan itu, dalam suatu masyarakat yang berasaskan Pancasila, bagi para ilmuwan Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan tanggungjawab sosial dengan Pancasila sebagai sumber moral sikap formalnya. Konsekuensinya: para ilmuwan harus mempunyai sikap politik formal. Hingga "antara para ilmuwan dan penguasa tidak perlu ada pertentangan," karena peranannya dalam proses penentuan kebijaksanaan justru terletak dalam tahap sebelum adanya keputusan akhir. "Perbedaan paham justru bermanfaat untuk mengambil keputusan yang tepat." Makalah Terlambat Selama Kipnas berlangsung, banyak wartawan merasa kongres "lebih ketat dari Rapim ABRI." Hanya makalah yang boleh disiarkan, sedang diskusi itu sendiri tertutup bagi pers. Bagi sebagian orang lain, ketertutupan itu diduga ada di sisi yang berbeda. Tidak semua ilmuwan terkemuka Indonesia rupanya hadir dalam kongres di Hotel Kartika Chandra itu. Beberapa nama seperti Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. Mubyarto, Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Dr. Melly G. Tan, Adnan Buyung Nasution serta Frans Seda ternyata tidak muncul sebagai peserta kongres. "Mereka terlambat menyerahkan makalah," kata Bachtiar Rifai pada TEMPO. Kecuali itu ada makalah yang dianggap tidak sesuai dengan permintaan atau tidak imbang dengan bldang lain. "Bagaikan tinju, kelasnya tidak sama," sambung Bachtiar. Menurut Ketua LIPI ini, dari DPR dan Hankam juga ada beberapa makalah yang tidak masuk. Namun Adnan Buyung Nasution merasa tidak terlambat. Makalahnya yang berjudul "Pendayagunaan hukum dan pelembagaan partisipasi dalam menunjang sistem hukum" telah diserahkannya sebelum batas waktu 4 September. Ia yakin penolakan kehadirannya di Kipnas III bukan karena isi makalahnya, tapi mungkin karena "orangnya". Taufik Abdullah, yang sebenarnya termasuk "orang dalam" karena bekerja sebagai peneliti ahli di Leknas/LIPI, tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Ia sendiri belum menyerahkan makalahnya mengenai Hankam--karena keburu menerima surat pembatalan dari LIPI 30 Agustus lalu. "Seandainya terlambat menyerahkan, biasanya pembuat makalah cuma diharuskan memperbanyak sendiri," katanya. Bekas Menteri Perhubungan Frans Seda yang ditemui TEMPO dalam Seminar Ekonomi Pancasila di Yogyakarta akhir pekan lalu bercerita: "Beberapa pekan lalu Sekretariat LIPI menelepon saya. Mereka minta maaf, karena tidak tahu pasti apakah saya telah menerima undangan. Mereka telah memutuskan saya tidak perlu lagi menyiapkan makalah berjudul "Pembangunan Ekonomi dan Pertahanan Keamanan" yang semula mereka minta. Saya jawab oke, karena kebetulan waktu saya tidak banyak." Mubyarto, yang juga menerima pemberitahuan resmi tentang pembatalan undangan buat hadir di Kipnas tidak ingin meributkan masalah ini. Ia sebetulnya diminta menulis makalah dengan judul "Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Manusia." Sewaktu diberitahu tentang pembatalan itu ia tidak kaget. "Saya sudah merasa, cepat atau lambat, hal seperti itu bakal terjadi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus