EKONOMI Pancasila ternyata masih menjadi "isu" yang laris. Lebih
dari 200 orang akhir pekan lalu bersedia membayar Rp 5.000 per
orang untuk bisa hadir dalam Seminar Ekonomi Pancasila di
Bulaksumur, Yogyakarta. Seminar selama sehari penuh itu diadakan
dalam rangka ulang tahun ke -26 Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada.
"Lebih dari seratus peminat lain terpaksa kami tolak karena
terbatasnya tempat," ujar seorang anggota panitia. Membanjirnya
minat juga terlihat dari datangnya belasan makalah para
penyumbang yang tak bisa dibacakan. Toh tidak semua undangan
akhirnya hadir dalam seminar 19 September itu.
Besarnya minat itu bisa dimaklumi. Setahun telah berlalu sejak
Fakultas Ekonomi UGM menyelenggarakan seminar yang hasilnya
dibukukan dengan judul Ekonomi Pancasila. Sejak itulah istilah
dan konsep Ekonomi Pancasila seakan dianggap "hasil karya"
Fakultas Ekonomi UGM, walau sebenarnya istilah itu sebelumnya
sudah dipakai banyak pihak lain. Buku Ekonomi Pancasila,
ditambah berbagai ceramah dari para penganjurnya seperti Prof.
Dr. Mubyarto, Dr. Dibyo Prabowo dan Dr. Boediono, ternyata telah
menimbulkan gelombang diskusi yang ramai (TEMPO 1 Agustus 1981).
Bahkan Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya 15 Agustus
lalu sempat menyinggung masalah Ekonomi Pancasila ini. Kepala
Negara antara lain mengingatkan agar dalam memikirkan Ekonomi
Pancasila ini jangan bertolak dari paham lain di luar Pancasila
dan UUD 1945 agar tidak "tersesat jalan".
Setelah setahun, bagaimana perkembangan dan pengkajian teori dan
sistem Ekonomi Pancasila. Masalah yang menarik ini dijadikan
topik pertama dalam seminar dengan judul Retrospeksi dan
refleksi mengenai Pengkajian Ekonomi Pancasila. Para
pemrasarannya Frans Seda, Hidayat Nataatmadja, Sarino
Mangunpranoto dan Mubyarto.
Walau mengakui lebih banyak orang kini memahami Ekonomi
Pancasila, bermacam sorotan dan kecaman tentang konsep ini
rupanya dianggap timbul dari masih adanya kekurangpengertian dan
kesalahpahaman, hingga banyak makalah yang berusaha meluruskan
ini. Mubyarto misalnya berbicara mengenai dilema yang dihadapi
para ilmuwan dalam membicarakan konsep Ekonomi Pancasila. "Di
satu pihak kita akan terpaksa berbicara mengawang, mimpi dan
hanya menyentuh kulit bila membicarakan tujuan, norma, dasar
filsafat dan nilai-nilai sistem Ekonomi Pancasila," ujar
Mubyarto.
Namun, kata Mubyarto, bila berbicara soal cara dan tindakan,
para ilmuwan harus menyentuh kebijaksanaan dan keadaan nyata
sekarang "yang mau tidak mau membawa kita ke arah mencari
kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia,
lembaga-lembaga ekonomi dan pemerintah yang harus diperbaiki."
Columbus
Masalah itulah yang dianggap Mubyarto dkk salah satu "hambatan
psikologis" dalam usaha menemukan cara dan tindakan menuju
sistem ekonomi Pancasila. Kesulitannya "Kebudayaan bangsa kita
kurang memberikan tempat pada kritik lugas yang bertugas mencari
dan mengenali kelemahan dan kekurangan," tegas Mubyarto.
Apakah kesimpulan itu dicapai para penganjur Ekonomi Pancasila
setelah belakangan ini makin banyak kecaman terhadap konsep
mereka? Karena konsep mereka dianggap "bertentangan" atau
"menyaingi" strategi yang sedang berlaku?
Frans Seda misalnya, tatkala menyinggung kaitan strategi sistem
ekonomi Pancasila dengan strategi pembangunan yang dilaksanakan
saat ini menganggap "tidak perlu ada konfrontasi, sebab strategi
yang berlaku dewasa ini cukup luwes dan demikian banyak
jalur-jalurnya."
Konfrontasi itu rupanya memang ingin dihindarkan Mubyarto dkk.
Itu tampak dari ucapan Dibyo Prabowo, dosen FE-UGM yang
merupakan salah satu penganjur Ekonomi Pancasila. "Diskusi soal
Ekonomi Pancasila mirip permainan sepakbola. Kami sudah
menendang bola pertama dan biarlah sekarang bola itu dioper
orang lain. Ekonomi Pancasila bukan monopoli Gama (Gadjah Mada).
Kalau ada orang yang ingin mengembangkan lebih lanjut, silakan,"
katanya dengan nada rendah.
Sikap yang sam juga terlihat pada Mubyarto sendiri. Seraya
mengutip Columbus yang membuktikan bahwa dunia berbentuk bulat,
ia secara tidak langsung mengemukakan pandangannya "Kelihatannya
yang satu ngalor (ke utara), yang satu (ke selatan) tapi akan
bertemu juga pada tempat yang sama." Hingga, kata Mubyarto
"tergantung pada bagaimana kita percaya pada tujuan yang akan
kita capai. Terserah pada yang bersangkutan untuk memakai taktik
dan strategi apa dalam mencapai tujuan masyarakat adil dan
makmur."
Dilihat dari jumlah peserta serta ketekunan mercka, seminar yang
menelan biaya sekitar Rp 3 juta ini boleh dibilang cukup
berhasil. Cukup banyak ahli dari berbagai bidang ilmu yang
dilibatkan, setelah disadari pengkajian Ekonomi Pancasila harus
bersifat interdisipliner.
"Selesainya seminar ini tidak berarti semua pertanyaan tentang
Ekonomi Pancasila bisa terjawab. Namun paling tidak sudah
menunjukkan wahana komunikasi antara pemerintah, ilmuwan,
masyarakat dan praktisi," Dr. Soetatwo Hadiwigeno, Dekan
FE-UGMI menyimpulkan waktu menutup seminar.
Salah satu ketidakberhasilan yang menyolok adalah diskusi
Peranan Etika dalam Ekonomi Pancasila yang meleset dari tujuan
yang ingin dicapai. Banyak makalah yang ternyata kurang kena
dengan topiknya.
Setelah seminar ini apa? "Kami tidak punya rencana jangka dekat.
Hasil seminar ini akan kami bukukan. Setelah itu?
Saya mengharapkan kami akan tidak terlalu sibuk lagi," jawab
Mubyarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini