Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

23 Tahun Reformasi: Detik-detik Menentukan Presiden Soeharto Lengser

Hari ini, 23 tahun silam, 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mundur dari tampuk kepresidenan yang dikuasainya selama 32 tahun,

21 Mei 2021 | 10.21 WIB

Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah 32 tahun menjabat. wikipedia.org
material-symbols:fullscreenPerbesar
Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah 32 tahun menjabat. wikipedia.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Bertepatan hari ini, 23 tahun silam, 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mundur dari tampuk kepresidenan yang dikuasainya selama 32 tahun, terhitung sejak dirinya mendapat Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar pada 11 Maret 1966. Peristiwa bersejarah tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Peringatan Reformasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya di Istana Merdeka, kurang lebih pukul 09.00. Dalam buku ‘Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi' yang ditulis B.J. Habibie tahun 2006, berikut penggalan pidato Soeharto yang menyatakan kemundurannya, “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998,” ujar Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebelum kemunduran Soeharto, pada 18 Mei 1998, Ketua DPR/ MPR Harmoko memberikan keterangan pers usai melakukan Rapat Pimpinan DPR, pukul 15.20 WIB di Gedung DPR. Di hadapan ribuan mahasiswa, Harmoko didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, serta Fatimah Achmad, menyatakan demi persatuan dan kesatuan bangsa, segenap jajaran DPR mengharapkan kemunduran Presiden Soeharto dari jabatannya secara arif dan bijaksana.

Selang beberapa jam kemudian, pukul 21.30 WIB, empat Menteri Koordinator atau Menko datang menemui Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan yang terjadi. Keempat Menko ini rencananya akan menggunakan kesempatan tersebut untuk membujuk Soeharto agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan, bukan hanya di reshuffle, agar nanti saat mereka tidak terpilih dalam kabinet reformasi tidak terlalu malu.

Namun upaya tersebut gagal, sebab sebelum mereka menyampaikan unek-uneknya, Soeharto telah lebih dulu mengatakan bahwa urusan kabinet adalah urusannya. “Urusan kabinet adalah urusan saya,” kata Soeharto waktu itu.

Kemudian pada 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang para ulama dan tokoh masyarakat untuk menemuinya. Usai pertemuan tersebut, Presiden Soeharto mengumumkan akan selekas mungkin mengadakan reshuffle atau penyusunan ulang Kabinet Pembangunan VII-nya dan mengubah nama menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu, Soeharto juga membentuk Komite Reformasi.

Menurut Nurcholish, yang hadir pada pertemuan tersebut, rencana reshuffle serta membuat Komite Reformasi tersebut bukan usulan para ulama dan tokoh masyarakat, melainkan murni dari kemauan Soeharto sendiri. Dalam pertemuan tersebut, sebenarnya sudah ada tanda-tanda Presiden Soeharto akan mengundurkan diri, namun beberapa pihak menganggap pengunduran diri sebagai presiden tidak akan menyelesaikan masalah. Dua orang yang hadir tidak setuju apabila Soeharto memilih mundur dari jabatan presiden.

Sore harinya setelah pertemuan tersebut, pukul 16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita ditemani Menperindag Mohamad Hasan dan Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, melaporkan kepada Presiden Soeharto terkait aksi penjarahan dan pembakaran yang mengakibatkan rusaknya jaringan distribusi ekonomi. Tanri Abeng melaporkan soal beberapa peminat saham BUMN, yang akan dijual saat itu, menyatakan mundur. Selain itu, Ginandjar juga melaporkan bahwa para ekonom senior seperti Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadil dan Frans Seda, menilai bahwa rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan reshuffle kabinet merupakan tindakan mengulur-ulur waktu.

Sehari sebelum mundurnya Soeharto, 20 Mei 1998, 14 menteri bidang Ekuin melakukan pertemuan di Gedung Bappenas sekira pukul 14.30 WIB, namun Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Akhirnya diambil keputusan bahwa mereka sepakat tidak bersedia menjabat dalam Kabinet Reformasi ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Awalnya keputusan tersebut akan disampaikan secara lisan kepada Presiden Soeharto, namun niatan tersebut dibatalkan dan disampaikan lewat sepucuk satu. Pukul 20.00, lewat Kolonel Sumardjono surat itu disampaikan kepada Presiden Soeharto.

Menerima surat tersebut, Presiden Soeharto langsung masuk ke kamar untuk membacanya. Mendapati isi surat tersebut, Presiden Soeharto merasa terpukul dan ditinggalkan. Terlebih, dari 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat keputusan tidak bersedia menjadi menteri Kabinet Reformasi ataupun reshuffle Kabinet Reformasi itu, di antaranya adalah “orang-orang yang diselamatkan” oleh Soeharto.

Soeharto tak pernah menduga akan “dikhianati” oleh orang-orangnya, sebab sehari sebelumnya Soeharto masih berbincang dengan Ginandjar guna menyusun Kabinet Reformasi. Bahkan Ginandjar masih memberikan usulan sejumlah menteri yang perlu diganti dan nama penggantinya.

Adik Soeharto, Probosutedjo mengungkapkan, malam itu Soeharto tampak gugup dan bimbang. “Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden,” ujar Probosutedjo.

Adik Soeharto ini menggambarkan suasana di kediaman Soeharto malam itu terasa tegang, semua anak-anak Soeharto berkumpul di sana. “Saya berusaha memberikan informasi terkini, tentang tuntutan dan permintaan yang terjadi di DPR, informasi bahwa akan ada orang-orang yang bergerak ke Monas, serta perkembangan dari luar negeri,” ujar Probosutedjo.

Malam itu, Soeharto kemudian melakukan pertemuan dengan tiga mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno. Selanjutnya pukul 23.00 WIB, Soeharto memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto melalui ajudannya. Soeharto menyampaikan bahwa dirinya sudah bertekad dan bulat hati memandatkan kekuasaan kepresidenan kepada wakilnya, B.J. Habibie.

Sebagai Menhankam, Wiranto sampai bolak-balik tiga kali dari Kantornya kediaman Soeharto di Cendana. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan terkait sikap ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto yang mundur dari jabatannya. Setelah Wiranto menyepakati keputusan Soeharto, Soeharto lantas memanggil B.J. Habibie.

Dua puluh menit setelah melakukan perbincangan dengan Soeharto, pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra kemudian menemui Amien Rais dan menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatan, yang akan diumumkan oleh Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB. Amien Rais mengatakan “The old man most probably has resigned”.

Kemudian pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan presiden yang telah dipangkunya selama 32 tahun. “Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003,” kata Soeharto dalam pidatonya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus