Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo. Ia lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta yang dikenal lantaran memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Perang tersebut terjadi karena Diponegoro tidak setuju Belanda berkontribusi dalam masalah tentang kerajaan. Selain itu, sejak 1821, para petani lokal menderita karena penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas dasar itu, Perang Diponegoro terjadi selama lima tahun pada 1825-1830 yang memakan korban jiwa sebanyak 200.000 penduduk Jawa. Selain melawan Belanda, perang ini juga menjadi perang saudara antara orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan anti-Diponegoro (antek Belanda). Perang ini berakhir dengan menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa, seperti dilansir kemdikbud.go.id.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada ranah sastra, Pangeran Diponegoro adalah penulis autobiografi pertama dengan karya berjudul Babad Diponegoro. Babad ini menjadi bagian dari sejarah Jawa yang sudah berlangsung ribuan tahun. Karya ini ditulis saat masa pengasingan di Manado pada 1832. Saat ini, naskah Babad Diponegoro disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta sebagai koleksi naskah Brandes. Bahkan, karya ini sudah diakui dunia melalui UNESCO PBB sebagai Memory of the World pada 2013.
Pada bagian awal, Babad Diponegoro menceritakan tentang asal-usul leluhur Pangeran Diponegoro. Kisah tersebut bermula dari Prabu Brawijaya di Majapahit sampai lahir para wali dan penyebaran Islam di Pulau Jawa. Bahkan, kisah terkait keraton juga dimunculkan dalam babad ini. Selain itu, awal babad ini juga menguraikan tentang ajaran kejawen Sunan Kalijaga yang merupakan percampuran tradisi Islam dan Jawa serta Hindu dan Buddha. Sebab, Diponegoro masih menganut ajaran kejawen yang ditunjukan dengan tindakan tirakat, seperti Panembahan Senopati.
Menurut syekhnurjati.ac.id, Babad Diponegoro juga menggambarkan identitas diri Diponegoro sebagai superioritas orang Jawa sekaligus seorang pangeran. Lalu, bagian utama babad ini adalah kisah kehidupan Diponegoro, terutama ketika peperangan menghadapi Belanda. Selain itu, ada pula kisah tentang kejadian Diponegoro dan pendukungnya sakit hati atas perlakuan Belanda. Diponegoro juga merasa tersinggung ketika Belanda meninggalkannya begitu saja.
Konflik Belanda dan Pangeran Diponegoro memanas karena pemasangan tiang pancang untuk membangun jalan. Dari konflik ini, terdapat kabar bahwa Diponegoro akan ditangkap oleh Belanda. Konflik yang semakin meledak membuat Residence Yogyakarta memanggil Diponegoro datang ke Loji atau benteng Belanda.
Bahkan, residen turun tangan dan mengirimkan pasukan untuk menangkap Diponegoro. Akibatnya, terjadi perang yang membuat rumah Diponegoro dibakar. Sementara itu, Diponegoro dan pasukannya melarikan diri ke Selarong. Inilah permulaan awal Perang Diponegoro yang dijelaskan dalam babad ini. Kisah ini pun menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia.
Menuju akhir Perang Diponegoro, pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil mendesak pasukan Pangeran Diponegoro di Magelang. Diponegoro pun menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Dengan demikian, Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.