Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI didirikan, tepatnya pada 7 Agustus 1994 lalu melalui Deklarasi Sirnagalih di Bogor oleh sejumlah jurnalis dan aktivis. Lahirnya AJI tidak terlepas dari perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Orde Baru terhadap kebebasan pers yang acapkali memberedel media pers. Salah satu pemicunya adalah ketika Majalah Tempo, Editor dan Detik dibredel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pembredelan tersebut bermula ketika Majalah Tempo menuliskan berita mengenai indikasi korupsi pembelian 29 kapal perang bekas Jerman Timur pada 7 Juni 1994. Ide tersebut diprakasai oleh Menteri Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berita yang ditulis Tempo membuat gempar dan kemudian Soeharto membuat pernyataan untuk mengambil tindakan, salah satunya memberedel Tempo pada 9 Juni 1994.
Pembredelan itu membuat beragam reaksi dari berbagai kalangan. Salah satunya dari penyair kawakan, W.S. Rendra. Rendra melakukan protes di depan Departemen Penerangan yang kemudian membuat dirinya ditangkap pada 27 Juni 1994.
Solidaritas terhadap pembredelan Tempo tidak sampai di situ, sejumlah jurnalis berkumpul di Bogor yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya AJI pada 7 Agustus 1994.
Dilansir dari situs Aji.or.id, setidaknya terdapat 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis mendeklarasikan Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi tersebut adalah menuntut dipenuhinya hak publik terkait informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, dan mengumumkan berdirinya AJI.
Nama AJI sendiri telah dipertimbangkan oleh salah satu peserta deklarasi, yakni Dhia Prekasha Yoedha dalam perjalanan menuju Sirnagalih, Bogor. Menurutnya, nama AJI memiliki kesan yang singkat, bagus, dan mudah disebut.
Nama AJI memiliki pengertian tersendiri dalam mitologi Jawa, yakni suatu ilmu atau kesaktian tertentu. Sementara itu, sebutan aliansi dalam nama AJI diusulkan oleh Stanley Adi Prasetyo untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis.
Forum tersebut kemudian menyetujui penggunaan istilah “Aliansi” dengan pertimbangan mengenai penghormatan atas seluruh komunitas jurnalis sebagaimana yang disampaikan oleh Stanley. Istilah “Jurnalis” juga disepakati karena untuk membedakan dengan PWI (Perhimpunan Wartawan Indonesia) yang menggunakan kata “wartawan” dan lebih condong dikuasai pemerintah.
Sementara istilah “Independen” juga digunakan untuk mempertebal perbedaan dengan PWI yang memang dianggap tidak Independen saat itu.
AJI telah diterima sebagai anggota IFJ, organisasi jurnalis terbesar di dunia pada 18 Oktober 1995. Setelah Soeharto lengser, pers mulai menikmati kebebasannya. Setidaknya terdapat 1.398 penerbitan baru. Aji kemudian menjadi lembaga yang melakukan advokasi dan melakukan pembelaan atas pekerja pers yang saat itu banyak di-PHK.
AJI mencatat bahwa setelah reformasi, kekerasan terhadap jurnalis justru semakin meningkat. Pada 1998, terdapat 42 kasus kekerasan. Sementara pada 1999 terdapat 74 kasus dan 115 kasus pada 2000.
AJI dalam catatan akhir tahun 2021 mencatat ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sepanjang 2021. Jumlah itu didapat dari pemantauan harian di 40 AJI tingkat kota se-Indonesia, sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2021.
Dari 43 kasus itu, sebagian besar didominasi bentuk teror dan intimidasi sebanyak 9 kasus. Disusul kekerasan fisik sebanyak 7 kasus, dan pelarangan liputan sebesar 7 kasus.
Akibat banyaknya jurnalis yang bergabung pada AJI dan juga banyaknya kasus, berdasarkan keputusan Kongres pada 2003 ditetapkan bahwa bentuk organisasi AJI adalah perkumpulan. Selain itu terdapat beberapa AJI Kota di setiap daerah yang memiliki otonomi sendiri.
ANANDA BINTANG l TIM TEMPO
Pilihan Editor: Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis dari Udin sampai Nurhadi