Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan setuju dengan keputusan ketua ummumnya, Haedar Nashir, untuk melarang Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah (PTMA) memberikan gelar profesor kehormatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan editor: Ide Prabowo Evakuasi Warga Gaza Didukung DPR, tapi Ditentang MUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Mu’ti, larangan tesebut merupakan keputusan yang tepat untuk menjaga kredibilitas gelar akademik di Indonesia. “Karena menurut saya, gelar guru besar itu memang harus sesuai dengan namanya guru besar, yang secara keilmuan itu dia tidak diragukan oleh orang lain,” ujar Mu’ti saat ditemui di Kantor Kementerian Pendidikan Dasar, dan Menengah (Mendikti), Jakarta Pusat, Jumat, 11 April 2025.
Profesor Kehormatan atau dikenal juga dengan Honoris Causa merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang dianggap berjasa atau berprestasi luar biasa di bidang tertentu. Gelar ini bisa diberikan tanpa harus menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi yang memberikan gelar tersebut.
Mu’ti mecontohkan proses yang ia tempuh untuk mendapatkan gelar profesor. Dia menyebut butuh waktu lama dan tantangan yang tidak mudah hingga akhirnya bisa meraih gelar akademik tertinggi itu.
"Jadi kesulitan itu adalah upaya untuk menjaga mutu dan juga menjaga marwah dari perguruan tinggi, dan juga marwah dari para guru besar itu sendiri,” tutur Menteri Pendidikan Dasar, dan Menengah (Mendikti) itu.
Sebelumnya, saat memberikan sambutan dalam alam acara Pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Jebul Suroso sebagai Guru Besar Bidang Manajemen Keperawatan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melarang seluruh perguruan tinggi yang berada di bawah binaannya menyematkan gelar profesor kehormatan untuk bidang apa pun dan siapa pun.
“PTMA jangan ikut-ikutan kasih gelar profesor kehormatan karena profesor itu melekat dengan profesi dan institusinya, karena itu jabatan," tuturnya sebagaimana dikutip Antara, Kamis, 10 April 2025.
Haedar menekankan pentingnya menjaga kualitas dibandingkan dengan kuantitas. Menurut dia, semakin tinggi akreditasi yang didapatkan, kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat juga harus meningkat.
"Taruhlah nanti sampai 20 yang akreditasinya unggul. Nah, keunggulan standar dari institusi harus berbanding lurus dengan keunggulan kualitatif dalam peningkatan catur dharma perguruan tinggi sekaligus peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan bangsa untuk membangun peradaban," katanya.
Pilihan editor: Pemerintah Abai Melindungi Pers dari Serangan Siber