Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

ABRI dalam bisnis

Asal mulanya keterlibatan abri dalam bidang bisnis. beberapa ad dengan ibnu sutowo mendirikan perusahaan minyak. ad membendung usaha pki lewat organisasi buruhnya untuk menguasai basis ekonomi.

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 15 Oktober 1957, Menteri Perindustrian berdasar persetujuan PM Djuanda menyerahkan manlat pada Angkatan Darat untuk membentuk suatu perusahaan minyak nasional. KSAD Mayjen A.H. Nasution kemudian memerintahkan Kol. Ibnu utowo dari Kodam Sriwijaya untuk mendirikan perusahaan minyak itu di Sumatera. Ibnu Sutowo kemudian mengajak beberapa perwira AD dalam perusahaan yang dipimpinnya itu Pertamina. Maka secara resmi mulailah keterlibatan ABRI dalam bidang bisnis. Naunalisasi perusahaan-perusahaan Belnda pada 1957 memang menimbulkan kekosongan yang perlu diisi. Di samping munculnya beberapa pengusai pribumi baru, mulai terjun pula dalam kancah itu banyak tokoh ABRI. urangnya modal serta keahlian mendorong dijalinnya kerjasama dengan banyak pengusaha non-pri. Tapi, seperti pernah diakui seorang perwira tinggi, Korps Intendans Angkatan Darat adalah pusat latihan bagi entrepreneur AD sebelum ada Tri Usaha Bhakti dan lembaga Pembina Usahawan". Keterlibatan ini makin dalam ketika AD berusaha membendung usaha PKI lewat organisasi buruhnya SOBSI untuk menguasai basis-basis ekonomi. Misalnya dengan mensponsori pembentukan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia). Setelah lahirnya Orde Baru dikenal apa yang disebut "Operasi Karya": pemanfaatan dan pendayagunaan peralatan milik ABKI untuk kepentingan masyarakat. Tujuannya, selain untuk membantu mengatasi kurangnya sarana yang diperlukan masyarakat--misalnya pengangkutan dan perbengkelan--juga untuk menambah kekurangan dana bagi anggaran ABRI. Muncul berbagai yayasan, perusahaan dan unit-unit usaha yang dibentuk atau dikendalikan oleh kesatuan-kesatuan ABRI. Berbagai bentuk usaha itu dimantaatkan juga untuk menampung para angota ABRI yang memasuki Masa Persiapan Pensiun. Beberapa di antaranya misalnya Yayasan Dharma Putera (KOSTRAD.), PT Propelat (Siliwangi), PT Admiral dan PT Yala (AL), PT Tri Usaha Bhakti dan P'l Wisma Kartika (AD) serta PT Dirgantara (AU). Umumnya perusahaan-perusahaan itu bckerja sama dengan kelompok usahawan swasta. Banyak di antaranya yang dikendalikan lewat Induk Koperasi masing-masing angkatan, seperti INKOPAD dan INKOPAL. Usaha-usaha seperti itu waktu itu memang tidak dilarang, malahan direstui oleh pimpinan ABRI. Bahkan tokoh usahawan ABRI Brigjen Sotjar (almarhum) yang waktu itu menjabat Ketua KADIN serta memimpin sekitar selusin perusahaan lain milik Yayasan Dharma Putera, ditunjuk sebagai Kepala Staf KOSTRAD pada awal 1973. Dalam wawancara dengan TEMPO, waktu itu Sofjar menegaskan, partisipasi KOSTRAD dalam kehidupan ekonomi dimaksudkan untuk mempertinggi ketahanan nasional. Kecaman dan kritik dari banyak kalangan masyarakat muncul dengan makin meluasnya usaha-usaha bisnis yang melibatkan banyak perwira ABRI dan pejabat pemerintah. Usaha-usaha itu dianggap mengganggu keseimbangan fair competetion dengan adanya fasilitas bisnis yang "memotong" prosedur dan ketentuan yang berlaku. Tidak terelakkan lagi, ekses-ekses memang terjadi yang dianggap bisa mengkaburkan pengertian dwifungsi ABRI. Salah satu hal yang paling keras dikecam adalah praktek kerjasama pejabat dengan usahawan asing atau non-pri, di mana sang pejabat tinggal ongkang-ongkang lepas tangan dan mendapat imbalan cukup dari partnernya. Seorang peneliti Jepang, Yoshi Tsurumi pada 1973 menyimpulkan bahwa hampir seluruh orang Indonesia yang dijadikan partner para pengusaha Jepang dipilih karena hubungan mereka dengan penguasa yang memungkinkan diperolehnya konsesi dan kontrak, serta juga perlindungan dan fasilitas. Tsurumi yang meneliti masalah penanaman modal Jepang di Indonesia misalnya menemukan bahwa 28 dari 30 partner pribumi yang dipilih usahawan Jepang adalah mereka yang mempunyai hubungan dengan pemerintah. Sekalipun resminya mereka ini "pemilik saham " (umumnya antara 20 - 25%), kenyataannya mereka tidak menyetor modal sejumlah itu. Banyak di antara mereka yang partisipasi modal mereka hanya berupa tanah untuk tempat berdirinya pabrik atau malahan hanya berupa "saham goodwill". Dengan kata lain hubungan atau kedu.lukan mereka sebagai pejabat pemerintah yang menjamin fasilitas dan konsesi. Partner Jepang lainnya menurut Isurumi, umumnya non-pribumi, terdiri dari 35 bekas importir dan 22 fabrikan. Agaknya memadati kecaman ini, keluarlah Peraturan Pemerintah no. 6/1974 tentang Pembatasan kegiatan Pegawai Negeri dalam usaha swasta. Sekitar 2 pekan setelah keluarnya peraturan itu, lewat iklan di suratkabar 7 direktur PT Propelat antara lain jenderal-jenderal Witono, Wahyu Hargono, Satibi Darwis dan Aang Kunaefi mengumumkan pengunduran diri terbuka yang diketahui masyarakat. PP no. 6/1974 itu dikeluarkan berbareng dengan Keppresno. 11/1974 tentang pola hidup sederhana. Kurang berhasilnya pelaksanaan kedua peraturan itu tampak dalam praktek hingga anjuran hidup sederhana selalu diulangi Presiden Soeharto dalam berbagai pidatonya. Pada 24 Agustus tahun lalu Mensesneg Sudharmono mengeluarkan surat edaran pada para pimpinan departemen dan lembaga non-departemen mengingatkan mereka pada kedua peraturan itu. Pesta-pesta mewah di hotel besar tampaknya memang berkurang, tapi pelaksanaan pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta belum kelihatan hasilnya. Hingga pekan lalu keluar "ancaman" Jenderal Jusuf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus