PADA 15 Oktober 1957, Menteri Perindustrian berdasar
persetujuan PM Djuanda menyerahkan manlat pada Angkatan Darat
untuk membentuk suatu perusahaan minyak nasional. KSAD Mayjen
A.H. Nasution kemudian memerintahkan Kol. Ibnu utowo dari Kodam
Sriwijaya untuk mendirikan perusahaan minyak itu di Sumatera.
Ibnu Sutowo kemudian mengajak beberapa perwira AD dalam
perusahaan yang dipimpinnya itu Pertamina.
Maka secara resmi mulailah keterlibatan ABRI dalam bidang
bisnis. Naunalisasi perusahaan-perusahaan Belnda pada 1957
memang menimbulkan kekosongan yang perlu diisi. Di samping
munculnya beberapa pengusai pribumi baru, mulai terjun pula
dalam kancah itu banyak tokoh ABRI. urangnya modal serta
keahlian mendorong dijalinnya kerjasama dengan banyak pengusaha
non-pri. Tapi, seperti pernah diakui seorang perwira tinggi,
Korps Intendans Angkatan Darat adalah pusat latihan bagi
entrepreneur AD sebelum ada Tri Usaha Bhakti dan lembaga Pembina
Usahawan".
Keterlibatan ini makin dalam ketika AD berusaha membendung
usaha PKI lewat organisasi buruhnya SOBSI untuk menguasai
basis-basis ekonomi. Misalnya dengan mensponsori pembentukan
SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia).
Setelah lahirnya Orde Baru dikenal apa yang disebut "Operasi
Karya": pemanfaatan dan pendayagunaan peralatan milik ABKI untuk
kepentingan masyarakat. Tujuannya, selain untuk membantu
mengatasi kurangnya sarana yang diperlukan masyarakat--misalnya
pengangkutan dan perbengkelan--juga untuk menambah kekurangan
dana bagi anggaran ABRI. Muncul berbagai yayasan, perusahaan dan
unit-unit usaha yang dibentuk atau dikendalikan oleh
kesatuan-kesatuan ABRI.
Berbagai bentuk usaha itu dimantaatkan juga untuk menampung para
angota ABRI yang memasuki Masa Persiapan Pensiun. Beberapa di
antaranya misalnya Yayasan Dharma Putera (KOSTRAD.), PT Propelat
(Siliwangi), PT Admiral dan PT Yala (AL), PT Tri Usaha Bhakti
dan P'l Wisma Kartika (AD) serta PT Dirgantara (AU). Umumnya
perusahaan-perusahaan itu bckerja sama dengan kelompok usahawan
swasta. Banyak di antaranya yang dikendalikan lewat Induk
Koperasi masing-masing angkatan, seperti INKOPAD dan INKOPAL.
Usaha-usaha seperti itu waktu itu memang tidak dilarang, malahan
direstui oleh pimpinan ABRI. Bahkan tokoh usahawan ABRI Brigjen
Sotjar (almarhum) yang waktu itu menjabat Ketua KADIN serta
memimpin sekitar selusin perusahaan lain milik Yayasan Dharma
Putera, ditunjuk sebagai Kepala Staf KOSTRAD pada awal 1973.
Dalam wawancara dengan TEMPO, waktu itu Sofjar menegaskan,
partisipasi KOSTRAD dalam kehidupan ekonomi dimaksudkan untuk
mempertinggi ketahanan nasional.
Kecaman dan kritik dari banyak kalangan masyarakat muncul dengan
makin meluasnya usaha-usaha bisnis yang melibatkan banyak
perwira ABRI dan pejabat pemerintah. Usaha-usaha itu dianggap
mengganggu keseimbangan fair competetion dengan adanya fasilitas
bisnis yang "memotong" prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Tidak terelakkan lagi, ekses-ekses memang terjadi yang dianggap
bisa mengkaburkan pengertian dwifungsi ABRI. Salah satu hal yang
paling keras dikecam adalah praktek kerjasama pejabat dengan
usahawan asing atau non-pri, di mana sang pejabat tinggal
ongkang-ongkang lepas tangan dan mendapat imbalan cukup dari
partnernya.
Seorang peneliti Jepang, Yoshi Tsurumi pada 1973 menyimpulkan
bahwa hampir seluruh orang Indonesia yang dijadikan partner para
pengusaha Jepang dipilih karena hubungan mereka dengan penguasa
yang memungkinkan diperolehnya konsesi dan kontrak, serta juga
perlindungan dan fasilitas.
Tsurumi yang meneliti masalah penanaman modal Jepang di
Indonesia misalnya menemukan bahwa 28 dari 30 partner pribumi
yang dipilih usahawan Jepang adalah mereka yang mempunyai
hubungan dengan pemerintah. Sekalipun resminya mereka ini
"pemilik saham " (umumnya antara 20 - 25%), kenyataannya mereka
tidak menyetor modal sejumlah itu. Banyak di antara mereka yang
partisipasi modal mereka hanya berupa tanah untuk tempat
berdirinya pabrik atau malahan hanya berupa "saham goodwill".
Dengan kata lain hubungan atau kedu.lukan mereka sebagai pejabat
pemerintah yang menjamin fasilitas dan konsesi.
Partner Jepang lainnya menurut Isurumi, umumnya non-pribumi,
terdiri dari 35 bekas importir dan 22 fabrikan. Agaknya
memadati kecaman ini, keluarlah Peraturan Pemerintah no. 6/1974
tentang Pembatasan kegiatan Pegawai Negeri dalam usaha swasta.
Sekitar 2 pekan setelah keluarnya peraturan itu, lewat iklan di
suratkabar 7 direktur PT Propelat antara lain jenderal-jenderal
Witono, Wahyu Hargono, Satibi Darwis dan Aang Kunaefi
mengumumkan pengunduran diri terbuka yang diketahui masyarakat.
PP no. 6/1974 itu dikeluarkan berbareng dengan Keppresno.
11/1974 tentang pola hidup sederhana. Kurang berhasilnya
pelaksanaan kedua peraturan itu tampak dalam praktek hingga
anjuran hidup sederhana selalu diulangi Presiden Soeharto dalam
berbagai pidatonya. Pada 24 Agustus tahun lalu Mensesneg
Sudharmono mengeluarkan surat edaran pada para pimpinan
departemen dan lembaga non-departemen mengingatkan mereka pada
kedua peraturan itu.
Pesta-pesta mewah di hotel besar tampaknya memang berkurang,
tapi pelaksanaan pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha
swasta belum kelihatan hasilnya. Hingga pekan lalu keluar
"ancaman" Jenderal Jusuf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini