Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada Yang Ingin Wantok Apa Ada...

Masalah penyeberangan perbatasan dari Irian Jaya ke PNG dan gerombolan OPM. Sikap pemerintah PNG & oposisi terhadap para penyeberang tersebut. (nas)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah belasan orang yang duduk-duduk di beranda Hotel Narimo, di Vanimo, Papua Nugini, sambil minum bir mengobrol, ataupun bermain bilvar. Paulias Matane, 52, mengungkapkan kejengkelannya "Saya sangat kecewa. Saya datang ke sini, dan ternyata gubernur Irian Jaya Issac Hindom tidak datang. Kalau begitu, bagaimana kami bisa percaya bahwa semua bisa beres?" ujarnya dua pekan lalu. Nada suara Matane, sekretaris Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Papua Nugini (PNG), terdengar getir. "Mungkin rakyat Indonesia tidak merasakan persoalan ini karena masalahnya tidak terjadi di sana Tapi buat kami di PNG ini masalah besar dan berat," tambahnya. Masalah besar yang dipersoalkan Matane adalah penyeberang perbatasan yang mengalir dari wilayah Indonesia, dan mulai memasuki wilayah PNG akhir Februari lalu. Pengungsian itu terjadi setelah kegagalan gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) melancarkan gerakan mereka pada 13 Februari lalu. Sampai pekan lalu jumlah pelarian itu sekitar 6.800 orang, walau ada laporan bahwa sekitar 600 orang diduga pekan ini segera memasuki daerah Wasengla, selatan Vanimo. Sebagian besar penyeberang perbatasan ini wanita dan anak-anak. Mereka ditampung pemerintah PNG dan ditempatkan di barak-barak. Jumlah terbesar terdapat di Komopkin (2.277). Lainnya di Kungim (929), Kemberatoro (685), dan Vanimo (605). Kelompok yang menetap di Air Hitam, Vanimo, dianggap istimewa. Selain merupakan kelompok yang pertama datang, mereka dinilai punya kesadaran politik yang tinggi. Sikap pemerintah PNG di bawah Perdana Menteri Michael Somare jelas. "Kami tidak ingin mereka menetap di PNG. Mereka bukan warga PNG. Mereka orang Indonesia, dan karena itu mereka harus kembali," kata Matane. Pertengahan April lalu, tatkala Menlu Rabbie Namaliu mengunjungi Jakarta, tercapai kesepakatan: pemerintah Indonesia menjamin keselamatan mereka yang kembali. Menlu Mochtar Kusumaatmadja, waktu itu, menjelaskan pada pers, "Tentu saja mereka yang terbukti terlibat dalam tindakan kriminal setelah kembali harus mempertanggungjawabkan tindakannya." Yang kini menjadi persoalan: pelaksanaan rencana pemulangan kembali (repatriasi) itu. Dua pekan lalu, menurut rencana, akan diselenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri Paulias Matane dari pihak PNG dan Issac Hindom dari Rl. Keduanya akan menjelaskan pada para pejabat perbatasan PNG apa yang menjadi kebijaksanaan kedua pemerintah. Selain itu, mereka juga akan mengadakan pertemuan dengan para pimpinan kelompok penyeberang, dan meyakinkan mereka bahwa pemerintah Indonesia menjamin keselamatan mereka, sehingga mereka tidak usah khawatir untuk kembali. Urungnya kedatangan Hindom itulah yang menjengkelkan Matane. Tapi Rapilus Ishak, kepala Bidang Politik kedutaan besar Rl di Port Moresby, yang bulan lalu menjadi kuasa usaha ad interim karena Dubes Imam Soepomo sedang ke Jakarta, menjclaskan, "Ketidak datangan Gubernur Hindom telah kami beritahukan sehari sebelum rencana pertemuan. Jadi, semestinya, Matane sudah tahu sebelumnya," ujarnya. Ketidak hadiran Gubernur Hindom, menurut Matane, mula-mula dengan alasan keamanan. "Tapi setelah jaminan keamanan itu kami berikan, kini muncul permintaan daftar ini," katanya. Agaknya, alasan keamanan yang diajukan pihak Indonesia itu cukup masuk akal. Walau Hindom dijamin tidak bertemu langsung dengan massa pengungsi, dan hanya dcngan para pemimpinnya, sikap waspada itu mungkin perlu. "Kebencian" para pengungsi di Vanimo tcrhadap segala yang berbau Indonesia masih tebal (Lihat: Yupela Toktok di Air Hitam). OPM tampaknya memang cukup mendapatkan simpati di PNG, entah karena pertalian etnis, karena propaganda mereka yang efektif, atau karena usaha public relations pihak Indonesia yang sangat kurang. Hal itu tecermin dalam sikap masyarakat PNG, misalnya pemberitaan pers PNG yang terlalu condong pada versi OPM. Di Port Moresby scndiri terdapat ribuan bekas warga Irian Jaya yang kini menjadi warga negara PNG, yang sebagian besar kini pro-OPM. Tatkala insiden perbatasan terjadi Maret lalu, misalnya, Wisma Indonesia tempat kediaman dubes Rl di Port Moresby pernah dilempari batu. Gedung KBRI suatu hari pernah dikosongkan karena ancaman telepon bahwa di bangunan itu dipasang bom. Ternyata, setelah diperiksa polisi, ancaman itu palsu. Tapi berbagai contoh itu menunjukkan bahwa jaminan keamanan pihak PNG belum tentu bisa dipegang. Buat pemerintah PNG, kehadiran sekitar 7.000 warga Indonesia di wilayah PNG terasa sebagai beban yang berat. Masalah dana memang memusinkan, tapi tidak terlalu mutlak, karena di samping uang dari pemerintah PNG, ada sumbangan pemerintah Indonesia, Gereja Katolik, Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR), dan berbagai organisasi sosial lainnya. Tapi yang lebih memusingkan adalah bahwa masalah pengungsi itu dijadikan isu politik untuk menghantam pemerintahan PM Michael Somare. "Ada tekanan politik yang sangat kuat dari masyarakat terhadap pemerintah," kata Menlu Rabbie Namaliu pada TEMPO. Tekanan itu dimotori kelompok oposisi dalam parlemen yang dipimpin oleh lambakey Okuk. Berbagai tuduhan mereka lontarkan. Antara lain, PM Somare "Takut pada Indonesia hingga bersikap sangat lunak". Misalnya kecaman Ted Diro, bekas panglima AB PNG, yang kini menjadi anggota oposisi di parlemen. PNG, kata Ted Diro, harus bersikap berani dan selalu mengajak berunding yang "sejauh ini cuma menghasilkan penghinaan terus-terusan." "Bagaimanapun kecilnya otot kita, kita harus mengencangkannya jika diperlukan untuk membela kedaulatan kita," ujarnya akhir Mei lalu. Sebagai jalan keluar, Diro mengusulkan agar PNG membawa masalah penyeberang perbatasan ini ke PBB. Pimpinan oposisi lambakey Okuk menyerukan hal yang sama. Membawa masalah penyeberang perbatasan itu ke PBB, katanya, sesuai dengan adat istiadat Timur. "Kalau di antara kita ada yang berkelahi biasanya kita meminta pihak ketiga untuk menengahi. Kebiasaan ini saya kira juga ada di Indonesia. Karena itu, untuk menyelesaikan masalah ini, lebih baik kalau kita membawanya ke PBB," ujarnya. Pendirian pemerintah PNG untuk memulangkan kembali para pengungsi juga dikecam. Sekalipun Menlu Mochtar telah menjamin keselamatan mereka yang kembali, tampaknya banyak pihak yang masih waswas. Lalu apakah pemerintah PNG akan mengambil sikap keras, seperti disarankan oposisi? "Gampang memang untuk bersikap keras. Tapi, masalahnya, hasil apakah yang akan diperoleh dari sikap itu. Lagi pula, ini menyangkut kelangsungan hubungan PNG-Indonesia. Suka atau tidak suka, kita mempunyai perbatasan yang sama, dan klta harus menerima kenyataan ini," jawab Namaliu. Buat Namaliu, diplomasi berupa perundingan bilateral tetap merupakan pemecahan terbaik. Masalah perbatasan memang selama ini yang selalu menjadi batu ganjalan dalam hubungan baik RI-PNG. Sekalipun bertetangga, kedua negara tidak pernah berhubungan terlalu erat. Hubungan ekonomi praktis sangat kecil. Pada 1983, misalnya ekspor RI ke PNG cuma berkisar 40.523 kina (K I hampir Rp 1.200), sedangkan impornya 847.518 kina. Hambatan utama adalah tiadanya hubungan kapal antara kedua negara. Di samping itu, RI dan PNG juga menghasilkan banyak produk yang sama, misalnya kayu, kopi, dan tembaga. Tapi Soetito, kepala Bagian Ekonomi KBRI Port Moresby, masih optimistis. Kaset lagu-lagu Barat produksi Indonesia antara lain Atlantic Record, King's, dan Billboard, bisa ditemui di hampir semua penjual kaset. Komoditi lain: kayu lapis, gelas, benang tenun, batik, dan pakaian jadi. Yang paling memberi harapan: ekspor semen RI, yang dimulai tahun ini. Sampai akhir tahun ini diperkirakan ekspor semen ke PNG mencapai 400.000 ton. Dalam beberapa tahun terakhir ini, PNG juga mengirimkan beberapa warganya untuk dilatih berbagai keahlian di Indonesia. Untuk 1984/1985, tercatat 54 orang yang akan dikirim, meliputi berbagai bidang. Di atas kertas, hubungan kedua negara, seperti dinyatakan PM Somare, cukup baik. Namun, ujar Namaliu, "Masih banyak kecurigaan dan salah pengertian." Alasannya "Kita belum cukup saling mengenal. Karena itu, perlu leblh banyak tukar-menukar kunjungan antara pejabat, anggota parlemen, wartawan, serta kelompok lainnya," kata Namaliu . Tatkala PNG memperoleh kemerdekaannya pada 16 September 1975, Presiden Soeharto ikut menghadiri perayaannya. Sejak itu beberapa kali PM PNG berkunjung ke Jakarta. Yang terakhir, kunjungan PM Somare, Desember tahun lalu. Toh nga bulan setelah itu, Maret 1984, hubungan kedua negara menurun. Yang mengawali adalah tuduhan pemerintah PNG bahwa pada 27 Maret lalu dua pesawat TNI-AU melanggar perbatasan PNG dengan terbang 20 km memasuki wilayah PNG. Indonesia membantah, dan saling tuduh pun terjadi, yang berakhir dengan pemulangan atase pertahanan RI di Port Moresby, Letnan Kolonel Sebastian Ismail. Yang tambah mengeruhkan suasana adalah penculikan seorang pilot pesawat Misi Katolik yang berkebangsaan Swiss, Werner Wyder, tatkala pesawatnya mendarat di Yurup, oleh gerombolan OPM pada 29 Maret. Dua penumpang Indonesia dibunuh. Begitu juga beberapa pekerja Indonesia yang tengah membangun gedung SD Inpres di desa itu. Setelah melalui negosiasi yang berliku-liku, Wyder akhirnya dibebaskan OPM di suatu tempat dekat Amanab, yang termasuk wilayah PNG. Hal itu menebalkan kecurigaan bahwa pemerintah PNG membiarkan OPM melakukan operasinya dari wilayah PNG. Walau PM Somare serta beberapa pejabat lainnya selalu membantah, rasa curiga itu tetap menyelubungi. Dan kini, ribuan penyeberang perbatasan menjadi ganjalan yang baru. Menurut Paulias Matane, repatriasi para penyeberang itu direncanakan akan selesai akhir Juni. Tapi, menilik perkembangan yang terjadi, tampaknya masalah ini masih akan lama. Sebuah sumber mengungkapkan, pemerintah Indonesia - yang semula hanya menuntut agar pemerintah PNG memberikan daftar nama para penyeberang di Vanimo - kini juga menuntut agar daftar itu diperluas menjadi daftar seluruh penyeberang. Permintaan itu kabarnya diajukan akhir Mei lalu. Reaksi PNG keras. "Ini hampir-hampir tak mungkin. Kami memang sudah melakukan pendaftaran, tapi mendaftar sekitar 6.000 orang? Itu akan sangat sulit," katanya. Padahal, kata sumber yang sama, baru setelah Indonesia menerima daftar itu, pemerintah akan mempertimbangkan apakah Gubernur Hindom akan berkunjung ke PNG. "Jika benar Indonesia akan bersikeras pada tuntutan itu, pasti penyelesaian masalah penyeberang itu akan berkepanjangan," kata seorang sumber TEMPO. Tapi pekan lalu Menlu Mochtar mengatakan, pemulangan para pengungsi itu terhambat karena pihak PNG belum menyerahkan daftar yang diminta. Padahal, menurut Mochtar, Indonesia cuma meminta daftar sekitar 60 orang dari penyeberang perbatasan yang masuk PNG Icwat utara. "Kami hanya minta daftar dari 60 orang, mengingat kesulitan yang mungkin timbul bila seluruhnya harus didaftar," kata Mochtar. Sebuah sumber PNG membantah bahwa penyerahan daftar para tokoh keras OPM yang kini bermukim di Air Hitam, Vanimo, tertunda karena khawatir idenntas mereka akan dikenal pemerintah Rl, hingga keselamatan mereka kelak tidak terjamin. "Mungkin sekali para penyeberang perbatasan yang ada di Vanimo akan mendapat Izin tinggal di PNG. Dus, tidak akan dikembalikan," katanya. Isyarat seperti itu memang sudah dilontarka Paulias Matane dan beberapa tokoh PNG lainnya. "Kecuali kelompok Vanimo, semua penyeberang akan dikembalikan,"katanya. Para penyeberang perbatasan, kata Matane, bisa dibagi tiga kelompok. Mereka yang merupakan tokoh, yang kehadirannya kelak bisa dianggap membahayakan keamanan, akan dicarikan izin tingggal di suatu negara ketiga. Kelompok kedua adalah mereka yang akan mendapat izin tinggal dan bisa menjadi warga negara PNG. Sedangkan kelompok ketiga, yang terbesar, merupakan orang-orang yang ikut-ikutan saja, lari terutama karena ditakut-takuti OPM. Mereka ini akan dikembalikan. Jika kelompok kedua diizinkan menetap di PNG, tida-kah mereka akan menjadi "duri", karena mungkin sekali mereka akan terus memperjuangkan ide OPM, atau dengan lain kata beroperasi resmi di wilayah PNG. Alan Oaisa, Asisten Sekretaris Deplu Bidang Politik PNG menyahut, "Ini negara demokratis. Tiap orang bebas menyatakan pendapatnya. Mereka baru bisa dituntut jika melanggar hukum. Jika para penyeberang itu nanti diterima tinggal dan menetap di sini, mereka juga punya hak yang sama dengan yang lain." Yang jelas, tampaknya jadwal repatriasi yang direncanakan akan berakhir Juni ini terlampaui. "Yang penting, sekarang Indonesia mengirim pejabatnya ke sini, berbicara dengan antok (sesama warga) mereka. Mereka yang harus berbicara dengan rakyatnya, menjamin keselamatan mereka, bukan kami Sebetulnya, ini 'kan masalah Indonesia. Tanpa kerja sama dengan pihak Indonesia, masalah ini tidak akan terpecahkan," kata Matane. Banyak pihak di PNG yang menganggap bahwa Indonesia selama ini bersikap sebagai "saudara tua" dan meremehkan PNG. Dalam perbandingan luas negara dan jumlah penduduk, PNG yang cuma memiliki sedikit lebih dari 3 juta penduduk memang bukan bandingan "raksasa" Indonesia. Namun, dalam pendapatan per kepala, Indonesia, yang pendapatannya US$.600 per jiwa rata-rata setahun, kalah dengan PNG yang US$ 800 per orang. Tapi merupakan kenyataan, keduanya bertetangga dan membagi perbatasan yang jaraknya sekitar 800 km. Di kawasan Pasifik, PNG termasuk menonjol dan punya pengaruh pada beberapa negara tetangganya, seperti Fiji, Solomon, Vanuatu, dan Samoa. Selama ini tampaknya pemerintah Somare berusaha menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Sikap itu tecermin pada ucapan Namaliu di sidang parlemen akhir Mei lalu. "Kita semua - bukan saja para anggota parlemen, tapi juga pimpinan serta anggota masyarakat - harus bekerja sama untuk mempererat hubungan dengan Indonesia, demi kepentingan sendiri serta masa depan anak anak kita." Masalahnya kini: bagaimana menghilangkan ganjalan itu. Untuk kepentingan kedua pihak, tentunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus