SARWONO Kusumaatmadja kini berubah? Ini komentar beberapa
wartawan di DPR. Menurut mereka, sekretaris Fraksi Karya
Pembangunan itu, yang pekan lalu terpilih sebagai sekjen DPP
Golkar periode 1983-1988, bicaranya memang masih tetap terbuka.
Hanya cara bicaranya yang kini lain. "Sekaran lebih terjaga,
tidak ceplas-ceplos seperti dulu," ujar seorang wartawan.
Sarwono mengakui ini. "Itu konsekuensi dari jabatan," ujarnya.
Menurut dia, sekretaris F-KP adalah corong Golkar, dan warna
politik sehari-hari Golkar ditentukan oleh apa yang diperbuat
fraksi. "Jadi, sekretaris F-KP memang harus banyak ngomong dan
jangan segan-segan berbicara mengenai sesuatu yang masih
kontroversial," tuturnya.
Lain halnya dengan jabatan sekjen Golkar. Di DPP Golkar, kata
Sarwono, ada aspek pembinaan dan penumbuhan institusi. Ada juga
masalah tanggung jawab nasional karena menyangkut suatu
organisasi yang vertikal ke daerah-daerah. "Jadi, saya memang
tidak bisa kontroversial lagi, malah harus menampakkan wajah
yang solid (utuh)," katanya. Menghadapi situasi baru ini, sekjen
Golkar ini siap "menyesuaikan diri" dan "menerima nasib".
Diakuinya, ia merasa kehilangan. "Tapi, karena tahu saya harus
begitu, ya saya ikhlas. Dan saya yakin, teman-teman lain akan
mengisi kekosongan ini," ujarnya. Toh ditegaskannya, esanggupan
menyesuaikan diri adalah ciri sikap seorang intelektual. "Jangan
khawatir, saya tidak akan berubah menjadi bodoh," katanya
berseloroh.
Terpilihnya Sarwono, 40, sebagai sekjen Golkar menggembirakan
banyak pihak, terutama mereka yang menginginkan peremajaan dalam
kepemimpinan Golkar. Banyak yang mengharapkan, munculnya orang
muda - lebih dari separuh - dalam DPP Golkar baru yang terdiri
dari 45 orang itu akan merupakan "darah baru", yang bisa
mengangkat Golkar menjadi organisasi yang mandiri dan
benar-benar berakar ke rakyat.
Namun, ada juga yang pesimistis. "Jangan terlalu banyak berharap
pada banyaknya tokoh muda dalam DPP Golkar sekarang. Mereka 'kan
tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan Golkar
sehari-hari," kata seorang pengamat politik. Sumber ini menunjuk
bahwa pimpinan harian Golkar terdiri dari ketua umum, delapan
ketua, sekjen, dan bendahara. "Dari mereka, yang tergolong muda
cuma sekjen dan bendahara. Jadi, pengambilan keputusan di Golkar
tetap saja di tangan orangorang tua," katanya.
Sarwono mengakui ini. Menurut dia, ada tiga tahap pengambilan
keputusan di DPP Golkar: pengurus harian, pengurus harian
lengkap (termasuk empat wakil sekjen dan dua wakil bendahara),
dan DPP pleno. Toh ia menganggap sistem ini positif. "Regenerasi
memang harus dilaksanakan secara berencana dan bertahap,"
katanya. Ia mengharapkan kaum muda di DPP Golkar bisa
menunjukkan kemampuan teknis yang tinggi untuk membuktikan bahwa
regenerasi kepemimpinan itu benar. Menurut dia dulu ada
kecenderungan meremehkan kompetensi teknis ini dan lebih
menonjolkan kemampuan politis "Sekarang kita harus lebih
profesional," ucap Sarwono.
Sarwono juga berusaha meredakan ke khawatiran bahwa perangkapan
jabatan Sudharmono sebagai mensesneg dan ketua umum Golkar akan
membawa pengaruh negatif karena ada konflik kepentingan. Menurut
dia, perangkapan itu malah menguntungkan dan merupakan "obat"
untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi Golkar. "Golkar
saat ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk menghindari
gejolak, demi kepennngan keseluruhan," katanya.
Sebuah sumber mengatakan, penunjukan Sudharmono untuk memimpin
Golkar, antara lain, memang guna mengatasi keretakan dalam
kepemimpinan pusat Golkar. Bukan rahasia lagi, perbedaan
pendapat dan persaingan berbagai kelompok di DPP Golkar
mengakibatkan berbagai hambatan dan "gejolak". "Pak Dharmono
kini memegang amanat langsung Presiden Soeharto, hingga
orang-orang nanti pasti tidak berani macam-macam," ujar sumber
itu. Secara tidak langsung Sarwono mengakui keretakan ini.
"Suatu organisasi yang sedang tumbuh selalu akan mengalami
hal-hal seperti itu. Itu berarti Golkar hidup," katanya. Namun,
ia mengimbau agar semua orang, kalau sudah masuk DPP "bekerja
bersama". Dalam Munas Golkar III, masalah kader "lompat pagar"
dipersoalkan beberapa pihak. Tidak ada yang tegas-tegas menyebut
nama, sekahpun ada yang menunjuk pada "mereka yang pada 1966
atau awal 1970-an masih termasuk kelompok lain di luar Golkar."
Dalam DPP Golkar sekarang memang ada beberapa tokoh yang berasal
dari luar Golkar, termasuk wakil sekjen, Akbar Tanjung, yang
pernah memimpin HMI. Juga ketua Departemen Koperasi Wiraswasta
Siswono Yudohusodo, yang dikenal scbagai bekas aktivis GMNI.
Tentang ini Sarwono menanggapi, "Kalau yang dimaksud 'lompat
pagar' ini bertukar ideologi, tidak satu pun anggota DPP Golkar
yang bertukar ideologi. Kita semua 'kan sudah Pancasilais."
Apa rencana Sarwono untuk menjadikan sekretaris jenderal
Golkar efektif, dan tidak sekadar menjadi kepala sekretariat,
seperti yang dikhawatirkan sementara pihak? "Saya akan bekerja
sebaik baiknya, menurut ketentuan yang disepakati bersama.
Kita lihat saja nanti, bagaimana hasilnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini