Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Empat mahasiswa UIN Sunankalijaga yang menggugat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen buka-bukaan soal alasan gugatan baru mereka ajukan setelah Pilpres 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) itu akhirnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi atau MK pada Kamis, 2 Januari 2025. Adapun empat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enika mengungkap alasan mereka baru mengajukan gugatan pascapilpres 2024. Ia mengaku banyak komentar di media sosial yang mempertanyakan kenapa baru mengajukan gugatan setelah pilpres.
“Kenapa tidak sebelum Pilpres?" kata Enika Maya Oktavia di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jumat 3 Januari 2025.
Enika menjelaskan, ada alasan tersendiri para mahasiswa yang tergabung dalam kelompok diskusi Komunitas Pemerhati Konstitusi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengajukan gugatan setelah Pilpres 2024 selesai berproses. Materi gugatan itu sendiri baru resmi diajukan ke MK pada Februari 2024 silam.
“Sederhana saja jawabannya, bahwa semakin dekat dengan Pilpres, maka tekanan-tekanan politik itu akan semakin luar biasa,” kata Enika.
Mahasiswa angkatan 2021 itu menilai, gugatan ke MK itu adalah perjuangan akademis sekaligus perjuangan advokasi konstitusional.
“Oleh karenanya, kami cerminkan hal tersebut dengan mengajukan permohonan setelah Pilpres. Dalam permohonan kami pun sudah kami pertegas bahwa kenapa kami ajukan setelah Pilpres? Karena kami ingin kajian-kajian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak mendapat pengaruh-pengaruh buruk secara politik,” ujar Enika.
Dan hal itu, kata dia, terbukti dengan putusan yang berdasar kajian substansi hukum dan akademis.
Enika mengaku gembira lantaran putusan MK akhirnya membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia setelah mereka beracara selama hampir satu tahun. “Sebab sebanyak 32 putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan jika gugatan presidential treshold tidak ada yang diterima dan ditolak, permohonan kami ini yang ke-33 dan akhirnya dikabulkan,” urainya.
Enika menyatakan jika permohonan mereka tidak mendapat intervensi dari organisasi, institusi, maupun partai politik manapun.
“Apa yang kami lakukan sekarang, permohonan (gugatan) yang kami ajukan murni perjuangan akademis bukan pendapat institusi,” ujarnya.
Enika menjelaskan lahirnya materi gugatan itu berawal dari diskusi komunitasnya di kmpus UIN Sunan Kalijaga yang bernama Komunitas Pemerhati Konstitusi.
Komunitas ini merupakan komunitas yang berfokus pada kajian-kajian pendekatan konstitusi dan juga pada respon-respon isu ketatanegaraan.
“Pada 2023, komunitas kami mengikuti ajang debat Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) RI dan memasuki final, yang kebetulan saat itu juga mengangkat tema presidential threshold,” kata dia.
Pilihan Editor: Bicara Kans Anies hingga Ahok di 2029 Setelah Presidential Threshold Dihapus, Juru Bicara: Belanda Masih Jauh