Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang pertama uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Selasa besok, 26 Juli 2022. PKS meminta agar pasal yang mengtur soal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold itu diubah.
Ketua Tim Kuasa Hukum PKS Zainudin Paru mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima surat panggilan sidang yang disampaikan oleh Panitera MK. Sidang perdana mengagendakan pemeriksaan pendahuluan atas permohonan uji materi tersebut akan dilaksanakan pada 26 Juli 2022 secara daring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami memohon doa dan dukungan dari masyarakat agar usaha ini dapat berjalan dengan baik. Karena apabila permohonan ini dikabulkan, diharapkan akan semakin banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dapat ditawarkan ke masyarakat Indonesia,” ujar Zainudin lewat keterangan tertulis, Senin, 25 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam persidangan pendahuluan ini, kata Zainudin, Ketua Majelis Syura PKS Dr. Salim Segaf Al Jufri direncanakan hadir. Salim bertindak sebagai pemohon II.
Ia menuturkan bahwa Salim akan menjelaskan pokok-pokok permohonan, terutama tujuan dilayangkannya permohonan uji materi ini, yakni untuk mengakhiri keterbelahan bangsa karena pilihan calon presiden yang terbatas sehingga memunculkan calon yang sama berkali-kali.
Zainudin yakin bahwa Mahkamah Konstitusi akan secara seksama memeriksa permohonan ini, karena permohonan yang diajukan oleh PKS berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Jika pada permohonan sebelumnya, yang diajukan pihak lain, pemohon meminta pasal ini dihapuskan atau bahkan dibuat nol persen, maka PKS meminta batas ambang batas diubah menjadi 7 hingga 9 persen saja.
“Kami tidak membantah pandangan Mahkamah bahwa terkait presidential threshold merupakan open legal policy. Namun, open legal policy tersebut sebaiknya diberikan batasan, yakni interval range 7 persen sampai dengan 9 persen untuk ditetapkan oleh pembentuk undang-undang,” ujar dia. "Jadi, kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus inkonstitusional bersyarat Pasal 222 UU Pemilu".
Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan uji materi terhadap pasal yang sama. Permohonan itu diajukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah, La Nyalla Mataliti dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra.
Dalam putusan itu, terdapat dua hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Mereka adalah Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra, Keduanya menilai pasal yang mengatur tentang presidential threshold itu inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Saldi Isra berpandangan bahwa penggunaan ambang batas mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan. Disadari atau tidak, kata dia, dengan rezim presidential threshold, masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta Pemilu.
Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta Pemilu mengajukan pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden), masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, Saldi juga beranggapan, masyarakat juga akan disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif jika ambang batas itu dihapus.
Yang tidak kalah pentingnya, melihat situasi terakhir terutama pasca Pemilihan Presiden 2014, menurut dia, menghapus ambang batas berpotensi bisa lebih banyak calon presiden dibanding Pemilu 2014.
"Dengan jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, pembelahan dan ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dikurangi dengan tersedianya banyak pilihan dalam Pemilu Presiden 2019," ucapnya.
Sedangkan Suhartoyo menilai Presidential Threshold merupakan pemaksaan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
"Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan Presidensial Indonesia," kata dia.
Seperti diketahui, pasal 222 Undang-Undang Pemilu mengatur Presidential Threshold sebesar 25 persen perolehan suara dari pemilu sebelumnya atau 20 persen dari kursi DPR RI. Dengan syarat seperti itu, partai-partai kecil seperti PKS akan kesulitan mengajukan calon presidennya sendiri karena harus membentuk koalisi dengan banyak partai. Saat ini saja, hanya PDIP yang praktis telah memenuhi persyaratan tersebut.