Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan Pakar Politik UGM Nilai Ambang Batas Parlemen Sebaiknya Dipertahankan

Pakar politik UGM menilai, tanpa ambang batas parlemen, jumlah partai yang lebih banyak dapat menyulitkan pengambilan keputusan di DPR.

6 Februari 2025 | 20.33 WIB

Sidang Pleno 1 pembacaan putusan perkara pengujian materiil Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), di Jakarta, 2 Januari 2025. TEMPO/Muh Raihan Muzakki
Perbesar
Sidang Pleno 1 pembacaan putusan perkara pengujian materiil Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), di Jakarta, 2 Januari 2025. TEMPO/Muh Raihan Muzakki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menilai Mahkamah Konstitusi (MK) berpeluang membatalkan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional. 

Menanggapi hal itu, pakar politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Alfath Bagus Panuntun, berpendapat ambang batas parlemen sebaiknya dipertahankan untuk menyeimbangkan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan.

“Sebelumnya, ambang batas ini hanya 3,5 persen, lalu dinaikkan menjadi 4 persen pada revisi Undang-Undang Pemilu tahun 2017. Angka ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan,” ujarnya di Yogyakarta pada Rabu, 5 Februari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Alfath menyebutkan angka 4 persen dalam ambang batas parlemen bukanlah angka yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan. Tanpa ambang batas parlemen, kata dia, partai-partai kecil yang selama ini tidak lolos akan memperoleh kursi tetapi, di sisi lain, jumlah partai yang beragam dapat menyulitkan pengambilan keputusan di DPR. “Jumlah partai yang lebih banyak akan menambah beban terkait fraksi, pembagian tugas, dan efektivitas kinerja DPR itu sendiri,” kata dia.

Dengan jumlah partai yang lebih sedikit dan lebih terstruktur, dia memandang proses legislasi dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah bisa berjalan lebih baik. “Jangan sampai karena ingin mengakomodasi semua kelompok, malah justru yang terlayani adalah kepentingan politisi, bukan rakyat,” tuturnya.

Dia menilai ambang batas parlemen juga memiliki peran penting dalam memperjelas ideologi dan program kerja partai politik. “Dengan ambang batas yang lebih tinggi, partai-partai politik harus memiliki ideologi dan program yang jelas. Kalau tidak, akan sulit menentukan apa yang membedakan satu partai dengan partai lainnya,” kata dia.

Di sisi lain, menurut dia, masyarakat sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan ada atau tidaknya ambang batas parlemen. “Yang penting adalah fungsi-fungsi DPR berjalan dengan baik, tidak kedap terhadap kritik, dan benar-benar bekerja untuk rakyat,” ujar dia.

Alasan Yusril Nilai MK Berpeluang Hapus Ambang Batas Parlemen

Yusril Ihza Mahendra mengatakan MK berpeluang membatalkan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional. “Setelah ada putusan presidential threshold, kemungkinan besar MK juga membatalkan parliamentary threshold yang selama ini selalu dipersoalkan oleh partai-partai politik,” kata Yusril di Denpasar pada Senin, 13 Januari 2025.

Yusril menilai putusan MK sebelumnya yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen akan berdampak terhadap ketentuan ambang atas parlemen tersebut. 

Pakar hukum tata negara itu menuturkan putusan itu memberikan harapan baru kepada partai-partai politik berkembang dalam demokrasi Indonesia yang lebih sehat. Sehingga, kata dia, partai politik berpeluang memiliki wakil rakyat di DPR RI. “Ini paling tidak memberikan secercah harapan bagi partai-partai politik wabil khusus juga PBB (Partai Bulan Bintang,” ujar mantan Ketua Umum PBB itu.

Setelah putusan MK soal ambang batas presiden itu, kata dia, pemerintah akan merumuskan satu norma hukum baru di bidang politik dengan menggunakan panduan dari putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut. Rumusan itu nantinya akan diimplementasikan untuk pemilihan umum, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden, yang tidak ada lagi aturan ambang batasnya.

“Khususnya kepada lima panduan atau disebut constitutional engineering yang harus dirumuskan di masa akan datang, dan saya kira pemerintah sekarang tentu dengan jiwa besar harus menghormati dan menerima putusan MK itu,” ucapnya.

Di sisi lain, Yusril berpendapat partai yang memiliki sedikit kursi di parlemen dapat membentuk satu fraksi gabungan dengan partai lain. “Pendapat saya pribadi, lebih baik dibatasi jumlah fraksi di DPR, jumlah fraksinya 10 fraksi. Jadi kalau partai itu kurang dari 10 persen, dia bisa membentuk satu fraksi gabungan,” katanya.

Sebelumnya, MK resmi menghapus ketentuan ambang batas presiden, yang mengatur syarat pencalonan presiden dan wakilnya hanya bisa dilakukan oleh partai politik dan koalisi dengan minimal 20 persen kursi di DPR. Ambang batas itu tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan yang menghapus ambang batas itu, dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Suhartoyo mengatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Selain itu, norma tersebut dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun hakim MK Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.

Keputusan penghapusan ambang batas ini juga melalui beberapa pertimbangan lain oleh MK. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu.

Rekayasa konstitusional ini dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal. Yang utama, semua partai politik berhak mengusulkan calonnya masing-masing tanpa didasari persentase jumlah kursi di DPR maupun perolehan suara sah secara nasional.

Dalam mengusung calon, partai politik diminta tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini dinilai bisa membuat pilihan lebih terbatas bagi para pemilih.

MK juga memerintahkan agar pembuat undang-undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak menduduki kursi di DPR. Hal ini sejalan dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation.

M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Akademisi Nilai Pelantikan Kepala Daerah Idealnya Digelar setelah Lebaran, Apa Alasannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus