Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 13 Oktober 1999, atau 25 Tahun silam, Presiden BJ Habibie secara resmi menetapkan pengembalian nama Ujung Pandang menjadi Makassar melalui Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan ini mencerminkan harapan masyarakat yang mendambakan pemulihan identitas sejarah dan budaya kota yang telah lama dikenal dengan nama Makassar. Nama Ujung Pandang telah digunakan sejak tahun 1971, namun perubahan ini tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat, terutama para budayawan, sejarawan, dan seniman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman makassarkota.go.id, Makassar adalah kota besar dengan luas wilayah sekitar 199,26 km² dan jumlah penduduk lebih dari 1,6 juta jiwa, menjadikannya kota terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.
Kota ini juga dikenal sebagai pusat perdagangan di Indonesia Timur dan merupakan rumah bagi berbagai suku bangsa seperti Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa, yang menjadikannya kota multi-etnik dan multi-kultur.
Alasan di Balik Penetapan oleh Presiden BJ Habibie
Beberapa alasan utama mengapa mendiang Presiden BJ Habibie mengembalikan nama Makassar adalah:
1. Sejarah dan Budaya yang Kuat
Makassar memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan di Indonesia Timur. Nama Makassar sendiri telah dikenal sejak abad ke-14, ketika disebutkan dalam kitab Nagarakretagama karya Mpu Prapanca. Kembalinya nama Makassar mengembalikan jati diri kota sebagai pusat peradaban dan perdagangan yang dihormati di Asia Tenggara.
Daftar tempat wisata di Makassar yang populer, di antaranya Pantai Losari, Fort Rotterdam, hingga Pulau Khayangan. Berikut ini informasi lokasinya. Foto: canva
2. Permintaan Masyarakat
Perubahan nama dari Makassar menjadi Ujung Pandang pada tahun 1971 banyak menuai protes dari masyarakat lokal. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, Prof. Dr. Mattulada, dan Drs. H.D. Mangemba bahkan meluncurkan "Petisi Makassar" yang menuntut pengembalian nama asli kota tersebut. Penolakan atas nama Ujung Pandang terus disuarakan melalui seminar, diskusi, dan lokakarya sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an.
3. Identitas Etnik yang Lebih Inklusif
Salah satu alasan perubahan nama menjadi Ujung Pandang pada tahun 1971 adalah untuk menghindari penonjolan satu suku etnis, yaitu Makassar, di tengah populasi yang beragam. Namun, masyarakat merasakan bahwa nama Makassar tidak hanya mewakili etnis Makassar, tetapi juga merupakan simbol keterbukaan dan keadilan bagi seluruh penduduknya, sebagaimana diartikan dalam bahasa lokal "Mangkasarak" (yang bersifat terbuka).
4. Dukungan Pemerintah dan DPRD
Proses pengembalian nama ini juga didukung oleh DPRD Ujung Pandang, sehingga perubahan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa perubahan nama daerah harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Habibie, yang lahir di Sulawesi Selatan, memahami pentingnya identitas lokal, dan tanpa proses yang panjang, ia menyetujui pengembalian nama Makassar sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan keinginan masyarakat.
Nama Makassar telah lama tercatat dalam sejarah Nusantara. Pada abad ke-16, kota ini berkembang pesat di bawah kepemimpinan Raja Gowa ke-9, Tumaparisi Kallonna, yang memindahkan pusat kerajaan ke tepi pantai dan mendirikan benteng di muara Sungai Jeneberang. Pada masa itu, Makassar menjadi pusat perdagangan dominan di Indonesia Timur dan salah satu kota terbesar di Asia Tenggara. Kebijakan perdagangan bebas dan toleransi agama yang diterapkan oleh raja-raja Gowa membuat kota ini menjadi tempat penting bagi pedagang Melayu, Arab, Eropa, dan penduduk lokal.
Meskipun Belanda berhasil menguasai Makassar pada 1669 melalui Perjanjian Bongaya, dan mengganti nama benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam, kota ini tetap mempertahankan perannya sebagai pusat perdagangan hingga abad ke-20.
Pada 31 Agustus 1971, nama Makassar diubah menjadi Ujung Pandang berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1971, seiring dengan pemekaran wilayah kota. Nama Ujung Pandang berasal dari sebuah kampung di dekat Benteng Ujung Pandang, yang kini dikenal sebagai Fort Rotterdam.
Namun, sejarah panjang dan identitas kuat kota sebagai Makassar terus menginspirasi masyarakat untuk memperjuangkan kembalinya nama asli kota. Setelah melalui banyak diskusi dan perdebatan, akhirnya di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, nama Makassar kembali diresmikan, mengembalikan kebanggaan sejarah dan budaya bagi seluruh masyarakat.
Seiring dengan pengembalian nama, pemerintah menetapkan Hari Jadi Kota Makassar pada 9 November 1607, mengacu pada berdirinya kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Alauddin sebagai kerajaan Islam pertama di Sulawesi Selatan. Perayaan pertama Hari Jadi Makassar ke-393 diadakan pada 9 November 2000, menandai babak baru bagi kota yang kembali ke identitas aslinya sebagai Makassar.
MYESHA FATINA RACHMAN I MUTIARA ROUDHATUL JANNAH
Pilihan editor: Petani Sayuran di Garut Curhat Kurang Teknologi ke Ilham Habibie