Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berdarah Lantaran Benang Raja

Perayaan ulang tahun RMS memicu kembali konflik berdarah di Ambon. Jika terlambat ditangani, konflik lebih besar siap meledak.

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALON gas itu terbang ke langit Ambon dengan mengerek bendera gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), Minggu dua pekan silam. Inilah awal peringatan ulang tahun ke-54 gerakan yang bertujuan memisahkan bagian selatan Maluku dari Republik Indonesia itu. Tuan rumah perayaan adalah Front Kedaulatan Maluku (FKM)?yang kerap disebut sebagai mantel baru RMS.

Perhelatan berlangsung di pekarangan rumah Alex Manuputty di kawasan Kudamati. Tapi si tuan rumah, yang jabatannya adalah Ketua Umum FKM, sudah setahun yang lalu kabur ke Amerika Serikat. Di kediaman Alex, rumah sekaligus markas bagi front itu, hadir sekitar 400 pendukung setia. Warga kampung sekitar juga berkerumun di sana. Mereka meluber sampai ke jalan raya dan berdesakan di sela-sela gang kecil di permukiman padat itu. Di depan markas, dua tiang bendera dipacak berjajar. Selain Benang Raja, bendera resmi RMS, berkibar pula bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Awalnya acara berlangsung baik-baik saja. Para aktivis Front yakin aparat akan mengizinkan perhelatan itu karena mereka mengaku sudah melayangkan surat ke alamat Presiden Megawati pada 8 Maret silam. Isinya semacam pemberitahuan tentang rencana hajatan penting itu. Tembusan surat bahkan dikirim sampai ke PBB segala. Sampai hari perhelatan, mereka mengakui, tak ada jawaban. Jadi, "Bagi kami, itu sama saja diizinkan," ujar Simon Haya, seorang tokoh Front.

Dugaan Simon meleset. Menjelang tengah hari, sepasukan polisi datang mengincar Sekretaris Jenderal FKM Moses Tuwanakotta. Petugas menuding acara itu sebagai aksi makar. Moses pun dibekuk. Dia digelandang ke kantor polisi, sekitar 3 kilometer dari Kudamati. Aksi petugas membetot Moses mulus tanpa perlawanan. Para pendukungnya cuma meminta petugas mengizinkan mereka turut mengantar Moses ke Markas Kepolisian Daerah Maluku.

Polisi tak keberatan. Sekitar seribu warga turut berjalan kaki ke Markas Polda Maluku. Suasana lebih-kurang mirip pawai. Di perjalanan, arak-arakan itu sempat melewati perkampungan muslim. Bentrok masih belum terjadi. Tapi, begitu mereka sampai di Markas Polda, ternyata ada acara lain yang disiapkan polisi: bersama Moses ikut ditahan 24 orang anggota Front. Yang lain diperbolehkan pulang.

Para pengikut fanatik Front itu tidak pulang dengan angkutan kota. Mereka kembali berjalan kaki, kali ini dengan yel-yel yang mendukung gerakan yang mencita-citakan pemisahan diri dari RI itu. Para saksi menyebutkan ada massa membagikan stiker "subversif". Isinya: seruan kepada warga untuk mendukung RMS. Bencana besar itu pun mulai mengintip.

Sejak pagi, di permukiman muslim telah beredar kabar bahwa polisi dinilai terlalu lunak terhadap FKM. Tindakan polisi yang membolehkan anggota Front berpawai dinilai warga muslim sebagai bentuk simpati polisi kepada FKM. Mereka beranggapan semua kegiatan wadah kaum separatis itu seharusnya dilarang. Udara Ambon pun penuh amarah. Muncullah kelompok massa berlabel pendukung Negara Kesatuan RI di sekitar Tugu Trikora. Persis di persimpangan Kudamati, dua kubu itu berhadap-hadapan.

Perang batu pun pecah selama dua jam. Saat itu, belum terlihat warga membawa senjata tajam dan senjata api. Lokasi baku batu dan kayu itu berada di sepanjang Jalan A.Y. Patti ke Jalan Lattu Mahina.

Tapi, sejam kemudian, kemarahan bergulung lebih cepat. Para penembak gelap beraksi. Korban tewas mulai jatuh di kedua kubu. Dari kelompok pro-RI, banyak yang jadi korban. Akibatnya, mereka mengamuk. Gereja Silo, yang selalu menjadi sasaran bakar, kini kembali terkena nasib buruk itu. Kelompok FKM yang kebetulan berada di kawasan Kristen akhirnya mulai membalas. Di sejumlah tempat, ledakan bom pun terdengar.

Aksi saling bakar berlangsung sampai larut malam, bahkan menjalar sampai ke Tanah Lapang Kecil (Talake), tempat perumahan baru bagi mereka yang sebelumnya mengungsi. Yang turut hangus adalah kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku dan gedung SMA Muhammadiyah. Kampung-kampung Islam dan Kristen pun langsung terbelah.

Sampai Jumat pekan silam, dilaporkan sudah 36 jiwa tewas dari kedua belah pihak, termasuk dua anggota Brimob yang diterjang peluru sniper. Sedangkan 255 orang lainnya luka-luka. Korban tewas terbesar ada di Rumah Sakit Al-Fatah, 26 orang. Di RS GPM ada 12 orang. Di RS Bakti Rahayu 4 orang tewas dan di RSU dr. Haulussy 3 tewas. Sedangkan 5 korban lainnya tewas terpencar di berbagai lokasi. Ambon pun kembali mencekam.

Dari Jakarta, rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno sempat terbang ke Ambon, Rabu pekan silam. Sayangnya, para pejabat tinggi itu hanya "mampir" sampai di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Pejabat militer setempat rupanya tak mau berjudi dengan keselamatan para pemimpinnya. Padahal ada tiga jenderal penting yang ikut: Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar, dan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono.

Menurut Ichsan Malik, aktivis perdamaian Ambon, jarak dari bandara ke lokasi yang rusuh itu sesungguhnya cukup aman. Jalur itu jauh dari titik kerusuhan gawat. Jadi, dengan kawalan ketat, seharusnya para pejabat itu bisa turun menelisik ke sana. Ichsan dan rekannya, saat itu, sempat berada di lokasi. "Warga menemukan banyak keganjilan," ujar Direktur Institut Titian Perdamaian itu.

Keganjilan itu terutama menyangkut perilaku sebagian aparat?yang seharusnya bertindak netral. Seorang warga, Y. Lopulalan, mengaku menyaksikan langsung aparat dari sebuah kesatuan bergabung dengan massa yang pro-Negara Kesatuan RI ikut berperan membakar di Talake. "Ada lima aparat ikut memerintah massa," ujar Lopulalan saat bertemu dengan anggota DPRD Kota Ambon, Kamis pekan silam.

Pengakuan yang sama datang dari Pendeta Leo Hitijahubessy. Kepada Kepala Polda Maluku Brigjen Bambang Sutrisno, Pendeta Leo mengaku menyaksikan pembakaran Gereja Nasaret oleh aparat dari kesatuan yang sudah lama bertugas di Ambon. Aparat itu seharusnya berjaga di sekitar gereja, tapi mereka justru membakar dan menjarah. "Jelas sekali kami melihat semua itu," ujarnya.

Ketua Front Pembela Islam Maluku, M. Husni Putuhena, tak setuju dengan anggapan ada pihak luar yang membuat Ambon kembali terkoyak. Menurut dia, pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab. Soalnya, kerusuhan gampang meledak kembali karena pemerintah tak cakap menyelesaikan konflik di Ambon. Dia menunjuk munculnya RMS, gerakan yang seharusnya sudah ditindak sejak awal. "Tragedi 25 April kemarin adalah upaya kelompok separatis memicu pertikaian," ujarnya.

Kesan aparat tidak siaga penuh memang tak terelakkan. Acara ulang tahun RMS dan pengibaran bendera Benang Raja, bendera gerakan itu, sudah berminggu menjadi perbincangan warga, bahkan lama menjadi berita utama koran-koran lokal. Pejabat polisi dan militer selalu mengatakan siap menekan gerakan separatis di pulau berbentuk tapal kuda itu. Reaksi kubu yang berseberangan pun sudah berdatangan sejak mula. Di masjid-masjid, digelar tablig akbar yang menyerukan keharusan waspada terhadap RMS. "Banyak spanduk pro-NKRI sudah dibentang seminggu sebelumnya," ujar Ichsan Malik. Toh, tindakan aparat sangat tidak memadai.

Dan inilah yang memicu isu kembalinya laskar ke Ambon. Ada kabar bahwa malam setelah kerusuhan pecah itu Panglima Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, berbicara di Masjid Al-Fatah, Ambon. Tapi kabar itu dibantah Brigjen Bambang Sutrisno. "Tak benar Ja'far ada di Maluku," ujar sang Kepala Polda.

Bambang Sutrisno pasti tidak ingin repot dengan datangnya kembali laskar-laskar yang membela kelompok Islam?dan juga akan diikuti yang Kristen?yang bisa-bisa membawa konflik menjadi isu perang agama. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto juga memberikan reaksi keras. Menurut dia, TNI akan mencegah laskar itu berangkat ke Ambon. "Tidak ada ceritanya mengirimkan orang ke sana," katanya.

Dulu, Laskar Jihad memang sempat mengirim "pasukan putih"-nya ke Ambon. Saat itu konflik antar-agama di sana nyaris membuat siapa pun putus asa. Konflik sepanjang empat tahun silam, berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), telah menewaskan 3.000 orang. Belum lagi kehancuran warga secara sosial dan ekonomi. Ambon berangsur membaik sejak Kesepakatan Malino II diteken pada Februari 2002. Hampir dua tahun kemudian, status darurat sipil baru dicabut pemerintah.

Kini konflik Ambon memunculkan dua isu baru yang berhadapan: kelompok anti-NKRI dan pro-NKRI. Isu ini sudah terdengar sejak terbentuknya FKM. Kelompok itu kabarnya lahir lantaran didorong ketidakpuasan atas penyelesaian masalah Ambon oleh pemerintah. Inilah yang dikhawatirkan Ichsan Malik, aktivis perdamaian Ambon itu. Dia khawatir konflik akan kembali ke isu semula, dengan menumpang isu baru ini. Ichsan pun khawatir kelompok pro-NKRI merupakan personifikasi kelompok Islam dan satu lagi adalah jelmaan yang Kristen. "Sangat berbahaya, isu agama kini bertindih dengan nasionalisme," ujar Ichsan.

Itu sebabnya Uskup Amboina Mgr. Mandagi meminta aparat menindak tegas RMS. "Jangan samakan RMS dengan Kristen," kata pendeta berpengaruh ini. Seharusnya memang begitu. Kelompok ber-KTP agama apa pun, jika membakar dan membunuh, seharusnya ditindak seberat-beratnya dan secepatnya.

Nezar Patria, Tomi Aryanto, Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus