KHARIS Suhud akhirnya "turun tangan". Pekan lalu, Ketua DPR/MPR ini menganggap ramainya pembicaraan sekitar berambisi tidaknya seseorang menjadi presiden belakangan ini sebagai "banyolan". Karena itu, ia minta agar semua pihak menghentikan silang pendapat mengenai soal itu. Tapi benarkah heboh itu benar-benar banyolan! Lagi pula, mungkinkah lembaga kepresidenan dijadikan obyek lelucon? Tentu saja tidak. Kharis Suhud tampaknya cuma ingin agar debat soal "ambisi jadi presiden" itu tak berlarut-larut. Bagaimanapun, polemik itu tak ada gunanya. Malah menimbulkan kesan negatif, karena yang bersilang pendapat adalah sama-sama pejabat tinggi. Dan "banyolan" seperti itu -- kalau boleh disebut demikian -- sesungguhnya bukan sekali ini saja memeriahkan pentas politik. Biasanya itu terjadi menjelang Sidang Umum MPR. Tapi bukankah SU MPR, yang akan mencalonkan dan memilih presiden, masih jauh? Memang benar. Tapi kalaupun sekarang debat semacam itu muncul, mungkin itu karena sejumlah tanda tanya masih saja tak terjawab. Antara lain: apakah periode ini merupakan masa jabatan terakhir bagi Presiden Soeharto? Pak Harto sendiri pernah menjawab berbagai pertanyaan tentang soal ini. Ketika menjelaskan soal suksesi dalam sidang kabinet terbatas Bidang Ekuin, 3 Mei lalu, Presiden antara lain menyatakan bahwa mulai sekarang kekuatan sosial politik boleh mempersiapkan diri menghadapi pemilu, dan membekali fraksinya dalam SU-MPR yang akan datang. Golkar, Parpol, ABRI, Utusan Golongan, Wakil Daerah -- sebagai kekuatan sospol yang menjadi induk fraksi-fraksi di MPR -- sudah boleh memikirkan siapa yang akan dicalonkan sebagai presiden. "Sudah mulai sekarang, memikirkan siapa yang sekiranya bisa dielus-elus untuk menjadi jagonya, yang nantinya diadu di dalam MPR hasil pemilu," kata Presiden ketika itu. Penjelasan Presiden yang sangat penting itu belakangan diterbitkan dengan judul Demokrasi Pancasila dan Masalah Suksesi dalam Mekanisme Kepemimpinan. Brosur setebal 17 halaman itu kemudian dibagikan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada pers, sebelum Presiden bertolak ke PBB untuk menerima penghargaan kependudukan, Juni lalu. Penjelasan itu rupanya untuk menangkal pernyataan beberapa pejabat yang ketika itu simpang-siur. Seperti kata Presiden di bagian penutup, "... jangan sampai pernyataan-pernyataan kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak jelas maksudnya." Pejabat yang paling vokal ketika itu -- dan yang kali ini sekali lagi berbicara mengenai suksesi -- ialah Menko Polkam Sudomo. Alkisah, Sudomo ketika itu sekadar memberikan komentar atas pengakuan Presiden Soeharto, bahwa jabatannya sebagai presiden kali ini adalah yang terakhir. Hal itu termaktub pada salah satu bab dalam otobiografi Presiden, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya susunan G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Pada Bab 100 yang berjudul Untuk Kelima Kalinya Terpilih jadi Presiden RI dan Masalah Calon Wakil Presiden, Pak Harto antara lain menulis, "Jadi, rasanya tidak berlebih-lebihan kalau dikatakan, pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 itu merupakan pelantikan sebagai Presiden/Mandataris MPR yang terakhir buat saya." Lantas bagaimana proses suksesinya? "Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa," kata Sudomo dengan lantang. Namun, sebagai pejabat yang berpengalaman di bidang keamanan dan ketertiban, ketika itu ia menganggap perlu menyelenggarakan langkah-langkah persiapan. Misalnya dengan menciptakan konsensus nasional agar tercapai kesepakatan, jika nanti muncul lebih dari satu calon presiden. "Kalau nanti ada lima calon presiden, itu bisa saja terjadi," katanya ketika itu kepada TEMPO. Belum sempat menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsensus nasional, belakangan Sudomo minta maaf kepada Presiden Soeharto karena mencanangkan gagasan tentang konsensus nasional itu. Menurut Sudomo, Presiden berpendapat bahwa masalah pencalonan presiden adalah wewenang MPR. Itu terjadi bulan April. Dan sebulan kemudian, dalam sidang kabinet terbatas Bidang Ekuin, Presiden menjelaskan soal suksesi itu, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur tadi. Begitu penting soal ini, hingga dua kali dijelaskan di depan masyarakat Indonesia di New York dan Jenewa, setelah Presiden menerima penghargaan kependudukan dari PBB tempo hari. Dijelaskannya mekanisme kepemimpinan nasional secara konstitusional, yang diharapkan kelak bisa membudaya. "Dengan demikian, pergantian unsur di dalam mekanisme kepemimpinan nasional, termasuk presiden, tidak perlu ribut-ribut. Ini akan bisa berjalan dengan baik, karena kalau ada orang yang ngotot, pasti akan tertelan oleh keadaan sendiri," kata Presiden. Mekanisme kepemimpinan nasional secara konstitusional, dalam musyawarah untuk memperoleh mufakat, sangat didambakan oleh Pak Harto. Kalaupun ada perbedaan pendapat, menurut Presiden, itu dibenarkan. Justru karena ada perbedaan itulah -- kemudian dimusyawarahkan untuk memperkecil perbedaan -- maka akhirnya diperoleh konsensus untuk mengambil keputusan secara bulat. Itu tidak berarti pemungutan suara alias voting diharamkan. Sebab, menurut Presiden, kalau tidak diperoleh mufakat, barulah diadakan pemungutan suara. Dan yang dibenarkan ialah keputusan yang memperoleh dukungan suara terbanyak. Caranya, sidang dihadiri setidak-tidaknya 2/3 anggota MPR, sementara suara terbanyak paling tidak 2/3 tambah satu. "Itu dianggap sah, merupakan keputusan Demokrasi Pancasila," katanya. Adapun pengajuan calon-calon presiden merupakan wewenang fraksi dalam MPR. Dan sesuai dengan jumlah fraksi yang enam, mungkin akan muncul lebih dari satu calon "Tetapi dalam rangka Demokrasi Pancasila, musyawarah mufakat yang dipimpin oleh jiwa dan semangat sila keempat dari Pancasila mutlak diperlukan," tambahnya. Jadi, semua fraksi harus bermusyawarah hingga terpilih seorang calon yang memenuhi syarat. Bila muncul perimbangan kekuatan, diharapkan adanya penggabungan fraksi, hingga tercapai perimbangan kekuatan yang sama. Artinya, diharapkan tinggal dua calon yang tampil -- untuk dimusyawarahkan lagi. Bila musyawarah ini tidak mencapai mufakat pula, terpaksa voting. Tapi, menurut Presiden, musyawarah untuk mufakat itulah yang pertama-tama harus dikembangkan. Suksesi presiden yang sekarang merupakan wewenang MPR hasil pemilu yang akan datang, bukan MPR sekarang. Sedang yang berhak memikirkan masalah suksesi ialah semua kekuatan sosial politik yang mempunyai fraksi di MPR. Maka, Presiden mempersilakan mereka memikirkan siapa jago yang akan diadu di arena MPR yang akan datang. Jauh sebelumnya, Oktober 1986, Pak Harto juga mengemukakan cita-citanya, agar kelak mekanisme kepemimpinan nasional yang berdasarkan konstitusi dapat membudaya. Kalaupun, misalnya, muncul konflik antara DPR dan presiden, MPR-lah yang akan mengatasinya, seperti yang pernah terjadi pada 1967 -- ketika terjadi konflik antara wakil rakyat dan Bung Karno. Hal itu diutarakan di depan peserta kursus reguler Lemhanas angkatan XIX yang tengah mengunjungi peternakan Tapos, Bogor. Menurut Pak Harto, ketika itu ada kekuatan parpol yang meminta ABRI segera mengambil oper kekuasaan. "Tapi, alhamdulillah, saya masih tetap berpegang teguh jangan meninggalkan lembaran hitam dengan perebutan kekuasaan," katanya. Maka, perubahan pemerintahan yang terjadi ketika itu bukan dengan perebutan kekuasaan, melainkan karena pertanggungjawaban presiden tidak diterima dan jabatan sebagai mandataris MPR dicabut. Lalu MPR mengambil langkah-langkah lain. Penjelasan selama dua jam tanpa teks itu juga menegaskan bahwa dengan mekanisme yang konstitusional, "tak perlu khawatir akan ada presiden seumur hidup." Tapi, sekali lagi, yang berwenang mencalonkan dan memilih presiden tetaplah MPR. Kalau sekarang muncul lagi berbagai pernyataan pejabat -- kali ini mengenai berambisi tidaknya seseorang menjadi presiden -- mungkin mereka lupa akan peringatan Presiden. Ketika itu Kepala Negara menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden, sebab yang berhak mencalonkan dan memilih calon adalah fraksi-fraksi di MPR. Proses konstitusional itu, sekali lagi, ditegaskan oleh Presiden September lalu, di pesawat DC-10, usai melawat ke Yugoslavia dan Uni Soviet. Setiap saat, katanya, presiden bisa diganti, asalkan melewati konstitusi. "Tapi, kalau tidak melewati konstitusi, saya katakan saya gebuk. Siapa saja saya gebuk. Karena saya harus menertibkan konstitusi," katanya. Presiden juga mempersilakan melakukan apa saja, asal secara konstitusional. "Sampai untuk mengganti saya, silakan. Jalannya ada, asal konstitusional. Tapi, di luar daripada itu, jangan tanya... seorang pemimpin politik sampai jenderal, saya katakan, saya gebuk. Begitu. Itu tekad saya mulai dulu, tak perlu saya katakan itu," katanya sembari tertawa. Pernyataan keras Kepala Negara itu sempat mengundang pembicaraan orang di mana-mana. Tapi, menurut Menteri Moerdiono kemudian, "pernyataan itu sifatnya umum, tak usah diinterpretasikan ada upaya yang mengarah menggantikan beliau secara inkonstitusional." Tentu saja, orang jadi bertanya-tanya, sebab "ancaman" itu berkaitan dengan masalah keterbukaan. Dan dalam hal keterbukaan, sebelumnya amat nyaring terdengar suara Jenderal (Purn.) Soemitro. Mula-mula, bekas Pangkopkamtib ini menulis artikel di Far Eastern Economic Review. Dalam majalah terbitan Hong Kong itu, April lalu, Soemitro menulis mengenai suksesi kepemimpinan nasional dan masalah keterbukaan. Ia mendambakan DPR dan MPR yang lebih berotoritas dan berintegritas, menginginkan hubungan atasan dan bawahan yang tidak berdasarkan budaya "asal bapak senang", dan merindukan munculnya calon-calon pemimpin nasional yang dapat diandalkan. Semua itu, tulis Soemitro, hanya dapat tumbuh dalam iklim keterbukaan. Iklim ini harus diciptakan agar suksesi berjalan lancar. Dua bulan setelah itu, Soemitro -- bersama Dr. Alfian, Kepala Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI -- berbicara pula di Komisi II DPR. Juga mengenai keterbukaan. Ia menghendaki proses pemilihan pemimpin di masa datang yang dilaksanakan secara terbuka. Para calon tampil membawakan konsep dan harus beradu argumentasi mempertahankan konsepnya. Siapa yang unggul dalam adu argumentasi, dialah yang menang. "Bukan yang paling kuat yang menang," katanya. Demokrasi, kata Soemitro, bukan mayoritas yang ditentukan oleh jumlah kursi yang diperoleh di DPR, tetapi oleh kearifan, akal sehat. Dan masalah keterbukaan itu, belakangan, menjadi buah bibir di mana-mana. Bila hanya soal ini yang dirindukan Soemitro, tentu tak ada hubungannya dengan soal ambisi. Dan tentu juga bukan banyolan. Budiman S. Hartoyo dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini