Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT Tim Percepatan Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat, yang digelar pertengahan Maret lalu, semula hanya diagendakan membahas kebutuhan gedung anggota parlemen. Dipimpin langsung Ketua DPR Setya Novanto, pertemuan dengan para arsitek dan akademikus Universitas Indonesia itu lama-kelamaan menjadi ajang curhat anggota Dewan tentang sempitnya ruang kerja mereka.
Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Adjar Prayudi, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan para anggota Dewan mengeluhkan sesaknya ruang kerja mereka karena revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perubahan ini membuat tenaga ahli yang berkantor di Gedung Nusantara I bertambah dari dua menjadi lima orang. "Padahal gedung ini didesain hanya untuk menampung 800 orang," kata Adjar, Rabu pekan lalu. Mereka bersepakat gedung baru mendesak dibangun untuk peningkatan kinerja Dewan.
Wacana pembangunan gedung baru parlemen terentang jauh sejak 2005. Ide ini muncul seusai lawatan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR ke sejumlah negara untuk membandingkan kinerja wakil rakyat. Setahun kemudian, Ketua DPR 2004-2009, Agung Laksono, membentuk tim peningkatan kinerja parlemen. Salah satu poin rekomendasi tim ini adalah penambahan tenaga ahli menjadi lima orang.
Akibatnya, ruang kerja seluas 32 meter persegi dianggap tak representatif lagi dan mesti diperlonggar. Gagasan ini tak kunjung terlaksana hingga masa kerja Dewan 2004 berakhir. Dua tahun kemudian, rencana pembangunan gedung baru kembali mencuat. Gagasan ini menjadi riuh-rendah seiring dengan isu adanya berbagai fasilitas mewah yang disematkan. Tapi wacana ini mentok karena ditolak dari berbagai penjuru.
Gagasan serupa kembali dimunculkan Setya Novanto menjelang terpilih menjadi Ketua DPR pada September 2014. Salah satu idenya adalah membangun gedung parlemen komprehensif dengan aneka fasilitas, seperti perpustakaan, pusat penelitian, dan museum. "Parlemen harus menjadi pusat ilmu pengetahuan," ujarnya.
Ide ini bersambut tatkala orang dekat Setya, Roem Kono, terpilih sebagai Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR. Sehari setelah dilantik, Roem langsung melontarkan gagasannya membangun gedung baru. Politikus Golkar ini beralasan ruang kerja mereka tak lagi layak karena ada tambahan tenaga ahli. Luas ruang kerja anggota Dewan idealnya delapan kali lipat ruangan saat ini. "Yang sekarang terlalu sempit kalau dipakai menerima tamu," kata Roem.
Setya kemudian membentuk Tim Reformasi Dewan, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal DPR dan Badan Urusan Rumah Tangga. Tim ini dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Salah satu agendanya adalah peningkatan kewibawaan Dewan. Sejak terpilih sebagai pemimpin BURT, menurut seorang anggota BURT, Roem mulai bergerilya untuk merealisasi wacana pembangunan gedung baru parlemen. Padahal gagasan awal yang mengemuka di kalangan internal BURT adalah renovasi gedung yang ada dan pemanfaatan ruangan terbeng-kalai.
Skenario yang disiapkan antara lain menggeser Dewan Perwakilan Daerah ke gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun pemindahan ini dianggap tak bakal menjawab persoalan. Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga, Roem Kono dan Achmad Dimyati Natakusumah, berkukuh Dewan lebih baik membangun gedung baru yang lebih representatif. Anggota BURT, Hasrul Azwar, mengatakan gagasan ini kemudian dibawa ke rapat konsultasi dengan pimpinan fraksi. "Semua fraksi sepakat gedung baru memang diperlukan."
Setelah mendapat persetujuan pimpinan fraksi, Setya Novanto kemudian mengumumkan pembuatan gedung baru ini di sidang paripurna terakhir masa sidang III 2015 pada Jumat dua pekan lalu. Dalam pidatonya, Setya menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo menyetujui pembangunan gedung ini. Bahkan Presiden direncanakan meletakkan batu pertama setelah pidato nota keuangan pada 16 Agustus mendatang. "Presiden berkomitmen membangun ikon nasional," kata Setya.
Presiden Jokowi memilih irit bicara soal persetujuannya atas pembangunan gedung baru Dewan. "Silakan tanya ke DPR," ujar Jokowi. Menteri Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara Yuddy Chrisnandi mengatakan Presiden Jokowi hanya menyetujui pembangunan museum, perpustakaan, dan pusat penelitian. Adapun Setya Novanto enggan menjelaskan soal saling elak antara Dewan dan pemerintah ini. "Kapan-kapan saja saya jelaskan, Bos," ucap Setya.
Meskipun pembangunan gedung baru diumumkan secara resmi pada akhir April, lobi-lobi anggaran dilakukan sejak dini. Agar tak ada polemik di publik, kata seorang anggota Dewan, mata anggaran sengaja disamarkan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2015 tentang Rincian APBN Perubahan 2015, tak ada item pembangunan gedung DPR. Dalam lampiran ketiga aturan ini tertulis Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur DPR senilai Rp 747,1 miliar.
Rincian penggunaan anggaran ini adalah untuk pengadaan perlengkapan sarana dan prasarana kantor sebesar Rp 233,6 miliar dan pemeliharaan senilai Rp 513,4 miliar. Belakangan, Kepala Biro Humas dan Pemberitaan Dewan Djaka Dwi Winarko mengatakan salah satu item dalam anggaran ini adalah biaya perencanaan dan konsultasi tahap awal dengan nilai Rp 124 miliar.
Roem Kono mengatakan usul besaran biaya konsultan perencanaan datang dari Sekretariat Dewan. Badan Urusan Rumah Tangga, menurut Roem, hanya menyusun kebijakan dan rencana strategis Dewan. Menurut dia, angka ini tak hanya untuk dana konsultan perencanaan, tapi juga termasuk penataan kawasan parlemen. Dia mengelak saat diminta menjelaskan hitung-hitungan angka ini dan memintanya ditanyakan ke Sekretaris Jenderal DPR. Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti Swasanani tak bersedia menjawab soal asal-muasal angka ini. "Saya masih di sidang Tindak Pidana Korupsi," katanya Kamis pekan lalu.
Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga Achmad Dimyati juga enggan menjelaskan asal-usul anggaran konsultan perencanaan ini. "Kita bahas saat masa sidang saja," ucap Dimyati ketika dimintai konfirmasi. Adapun Hasrul Azwar mengatakan anggaran awal sebesar Rp 124 miliar justru muncul setelah adanya rapat konsultasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Ikatan Arsitek Indonesia. "Rasanya angka itu muncul setelah rapat," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.
Adjar Prayudi menampik kabar bahwa pembahasan dengan Kementerian Pekerjaan Umum sudah menyentuh soal anggaran. Menurut dia, rapat hanya membicarakan soal kebutuhan ruang untuk anggota Dewan. Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta Stevanus J. Manahampi, yang beberapa kali diajak rapat, juga membantah jika pertemuan dengan para arsitek dikatakan sudah menyentuh biaya perencanaan.
Menurut Stevanus, dalam sejumlah rapat dengan Tim Sekjen Dewan, mereka hanya membicarakan berbagai opsi untuk memaksimalkan ruangan di kawasan parlemen Senayan. Dia mengatakan Tim Sekjen terbuka dengan berbagai opsi yang mereka tawarkan, termasuk mendesain ulang ruangan di gedung lama. "Tapi pembicaraan mereka memang lebih berfokus pada soal itu (gedung baru)," ujar Stevanus.
Hal lain yang dianggap janggal adalah adanya biaya konsultan perencanaan sebelum pembahasan kebutuhan gedung. Menurut Stevanus, konsep yang meliputi luas bangunan, kebutuhan ruang, standar hitungan per meter, hingga jenis konsultasi dibicarakan lebih dulu. "Setelah nilai proyeknya ada, baru biaya konsultan perencanaan bisa ditentukan," katanya. Roem Kono menampik anggapan bahwa konsultan perencanaan datang tiba-tiba. "Tidak ada yang siluman."
Agus Purnomo, Tika Primandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo