Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULTAN Hamengku Buwono X tak mau terganggu oleh polemik sabda raja yang ia ucapkan. Reaksi keras banyak kalangan diabaikan. "Biar yang enggak setuju berkoar-koar semua," kata Raja Keraton Yogyakarta itu, Rabu pekan lalu.
Sikap ini keluar sehari setelah ia menyampaikan sabda raja, yang menyatakan Pembayun, anak sulungnya, mendapat gelar dan nama baru: Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Sultan punya lima anak, semua perempuan. Sabda raja pada Selasa pekan lalu itu belakangan disebut sabda raja kedua. Sebab, Kamis dua pekan lalu, Sultan menyampaikan sabda raja yang pertama.
Pengucapan sabda raja kedua tidak dihadiri sepuluh adik kandung dan adik tiri Sultan. Seorang kerabat keraton menuturkan, setelah membacakan sabda raja kedua, Sultan mengundang makan para kerabat di Keraton Kilen, tempat tinggalnya. "Di sini Sultan menjelaskan Pembayun merupakan calon penggantinya," katanya.
Adik kandung Sultan, Hadiwinoto, yang hadir pada saat pengucapan sabda raja pertama-tapi mangkir pada sabda raja kedua-mengatakan ada lima butir penting pada sabda raja pertama. Menurut dia, lima poin itu mengubah secara fundamental paugeran atau aturan tertinggi di keraton.
Di antaranya, Sultan tidak lagi mengucapkan assalamualaikum dalam kegiatan di keraton. Selain itu, gelar khalifatullah, yang artinya adalah wakil Tuhan, ditanggalkan. Padahal, menurut Hadiwinoto, khalifatullah merupakan dasar utama sultan yang berkuasa di kerajaan penerus Mataram Islam ini. Selain itu, Sultan mengubah kata Buwono (bumi) dalam namanya menjadi Bawono (alam semesta). Kata sedasa (sepuluh), berubah menjadi sepuluh (Jawa).
Panasnya intrik keraton ini sebenarnya telah terasa ketika Sultan mengeluarkan sabdatama atau titah raja pada Maret lalu. Ada delapan butir perintah, di antaranya melarang kerabat dan abdi dalem membicarakan suksesi. Pada butir terakhir, Sultan menyatakan, jika hendak merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, sabdatama harus dijadikan rujukan.
Keluarnya sabdatama itu dipicu oleh pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Keistimewaan Yogyakarta, untuk menjabarkan Undang-Undang Keistimewaan. Dalam undang-undang ditetapkan, siapa pun yang bertakhta di Keraton Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rancangan itu disusun untuk mengatur tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Aturan ini mencomot utuh Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Keistimewaan, yang mengatur syarat pencalonan. Menurut aturan ini, calon wajib menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Karena mencantumkan kata "istri" saja, tanpa kata "suami", artinya calon gubernur harus laki-laki. Itu juga menegaskan pemimpin keraton harus laki-laki. Ketua Panitia Khusus Pembahasan Raperda Keistimewaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, Slamet, menyadari hal ini sensitif. "Kami bersikap hati-hati," katanya.
Ihwal raja harus laki-laki ini diungkapkan oleh salah satu kerabat keraton, Jatiningrat. Cucu Sultan Hamengku Buwono VIII ini mengatakan aturan itu ada dalam Serat Tajussalatin, yang disusun Sultan Hamengku Buwono V. Menurut dia, Hamengku Buwono V juga tak punya anak laki-laki, sehingga takhta diteruskan ke adik kandung lelaki. Hal yang sama terjadi pada Hamengku Buwono VII.
Apakah sabda raja tersebut dapat dijadikan dasar untuk merevisi UU Keistimewaan, Sultan menyerahkannya ke pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan sudah menerima utusan keraton untuk membahas sabda raja. "Tapi keraton adalah urusan keluarga," kata Tjahjo.
Pembayun mengakui namanya berganti. Namun dia tak mau mengatakan itu sebagai penobatan menjadi putri mahkota. "Saya takut kualat karena Sultan masih sehat."
Sunudyantoro, Pito Agustin Rudiana, Anang Zakaria (yogyakarta), Tika Primandari (jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo