Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pegawai Biasa di Senayan Bawah

Tak hanya melawan kabar bohong, Anita Wahid juga aktif dalam gerakan melawan korupsi. Menolak berdiri saat Soeharto dikenang.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anita Wahid gencar melawan kabar bohong.

  • Putri ketiga Gus Dur ini juga aktif dalam gerakan antikorupsi.

  • Aktivitas melawan korupsi dimulai Anita Wahid sejak kuliah.

TAWARAN bergabung dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dilontarkan Catharina Widyasrini saat ia menelepon Anita Hayatunnufus Wahid sekitar November 2016. Ketika itu, Catharina menceritakan soal penyebaran hoaks atau kabar bohong yang makin deras. Di sisi lain, gerakan perlawanan terhadap berita bohong belum cukup kuat. Sebab, belum ada tokoh yang dikenal masyarakat serta media yang menjadi corong gerakan antihoaks.

Menurut Catharina, Anita setuju mendengarkan penjelasannya. "Dia bilang, ‘Aku melu (ikut),'" ujar Catharina, menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tempo, Jumat, 3 Januari lalu. Anita dikenal publik sebagai aktivis antikorupsi dan putri ketiga presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dia pun cukup aktif mengkampanyekan gerakan antikorupsi di media sosial.

Sekitar sebulan kemudian, Mafindo dideklarasikan pada 1 Desember 2016. Anita dan sejumlah tokoh masyarakat serta pegiat seni, seperti psikolog Ratih Ibrahim dan artis Olga Lydia, didapuk menjadi duta antihoaks. Anita mengaku menerima tawaran itu lantaran gelisah terhadap banyaknya fitnah dan kabar bohong yang muncul di media sosial. Delapan bulan menjalani perannya, Anita aktif mengkampanyekan gerakan antihoaks. Kini dia menjadi anggota Presidium Mafindo yang bertugas di bidang penelitian dan pengembangan. Perannya memetakan pola penyebaran hoaks serta menjadi pembicara di berbagai daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Wahid Institute Anita Wahid (kanan), mengikuti diskusi bertema Pelemahan KPK 4.0 di Jakarta, September 2019. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anita mengatakan penyebaran hoaks saat ini makin parah karena dibantu para pendengung. Polarisasi di media sosial itu pun terbawa hingga ke dunia nyata. Misalnya orang-orang yang mengkritik Presiden Joko Widodo dicap sebagai pendukung rivalnya, Prabowo Subianto. Kritik pun menjadi lebih sulit diterima. Anita menilai kondisi ini membahayakan demokrasi. “Masyarakat juga makin rentan terhadap manipulasi dan ujungnya percaya kepada kelompok yang itu-itu saja,” ucapnya, Senin, 30 Desember 2019.

Gara-gara polarisasi itu pula Anita sempat kesulitan mendekati partai politik pendukung Prabowo Subiato-Sandiaga Salahuddin Uno. Apalagi kakaknya, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid, mendeklarasikan diri sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Padahal saat itu dia bermaksud mengenalkan program penanggulangan kabar kibul.

Dunia aktivis bukan barang baru bagi Anita. Perkenalannya dengan dunia aktivis terjadi saat ia menempuh pendidikan diploma III sastra Cina di Universitas Indonesia pada 1995. Memasuki semester akhir, Anita, yang menjabat ketua senat, membentuk organisasi antikorupsi bernama Berantas. Ketertarikannya pada isu antikorupsi membuat dia mengambil fokus studi korupsi saat menempuh program master pengembangan manajemen di RührUniversität-Bochum, Jerman.

Sekembali dari Jerman, Anita bergabung dengan Transparency International Indonesia (TII), yang berkantor di Jalan Senayan Bawah, Jakarta Selatan, pada 2007. Anita menjadi anggota staf peneliti Deputi Sekretaris Jenderal TII kala itu, Rezki Sri Wibowo. Rezki awalnya tak percaya anak mantan presiden mau menjadi anggota staf biasa. “Ini antara serius-enggak serius,” kata Rezki pada Jumat, 3 Januari lalu. Rezki menilai pegawainya itu bekerja dengan baik dan tak jemawa meski pernah hidup di Istana. Misalnya ketika keduanya mempersiapkan acara United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Bali pada 2008.

Ketika itu, TII, yang bergabung dengan koalisi masyarakat sipil, mendorong pembahasan kelanjutan kasus dugaan korupsi bekas presiden Soeharto dalam konvensi tersebut. Saat UNCAC berlangsung pada 27 Januari 2008, Soeharto meninggal. Semua peserta berdiri sebagai tanda penghormatan terakhir. Tapi Rezki dan Anita ogah berdiri.

Anita Wahid dalam acara yang diadakan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. Facebook.com/Anita Ashvini Wahid

Rezki dan Anita juga aktif merancang kegiatan antikorupsi untuk anak muda. Saat pencarian dana, menurut Rezki, ia kerap kesusahan meskipun sudah ada Anita, yang merupakan anak Gus Dur. “Enggak ngefek,” ucapnya, disertai tawa. Satu tahun bekerja di TII, Anita kemudian bergabung dengan Wahid Institute dan bekerja di sana selama lima tahun.

Anita ikut mendirikan Public Virtue Institute bersama aktivis Usman Hamid. Lembaga itu meneliti peran media sosial sebagai ruang demokrasi dan pembelajaran, memobilisasi protes, serta mengontrol kekuasaan politik dan bisnis. “Kami berkaca dari pembelaan terhadap KPK dalam kasus ‘Cicak vs Buaya’ pada 2009,” tutur Usman. Kala itu, Komisi Pemberantasan Korupsi—disimbolkan sebagai cicak—mendapat perlawanan saat mengusut kasus yang diduga melibatkan Komisaris Jenderal Susno Duadji, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, yang disimbolkan sebagai buaya. Dukungan untuk KPK mengalir melalui Facebook.

Aktivitas Anita membela KPK terlihat saat ronde kedua “Cicak vs Buaya”, yang melibatkan bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, pada 2012. Anita menjadi inisiator petisi “Serahkan Kasus Simulator SIM ke KPK” di situs Change.org Indonesia yang didirikan Usman Hamid dan rekannya, Arief Aziz. Dia menggantikan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar, yang mendapat tekanan dari polisi. Usman bercerita, Anita dipilih karena aktif membela KPK. Petisi yang mendapat 14.863 dukungan itu ikut membuat KPK bisa mengusut korupsi proyek simulator pembuatan surat izin mengemudi.

Pada September 2019, Anita kembali mendukung KPK, yang terancam oleh terpilihnya pemimpin baru dengan rekam jejak buruk serta revisi undang-undang yang mengebiri kewenangan lembaga itu. Anita ikut membantah kabar bohong bahwa komisi antirasuah berisi kelompok radikal. Dia juga berseru kepada Presiden Jokowi agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK. Bersama Perempuan Indonesia Antikorupsi, dia mengirim surat kepada Jokowi. Anita pun tak segan mengkritik Jokowi tak tegas karena enggan mengeluarkan perpu.

Menurut Anita, aktivitasnya dalam gerakan antikorupsi terinspirasi Gus Dur, yang kerap mengkritik Presiden Soeharto dalam soal represi terhadap kelompok Islam dan korupsi. “Korupsi itu mencederai bangsa,” tuturnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus