SEMBILAN kiai "bintang" di panggung, ditambah lebih dari seratus kiai lain, juga ribuan orang kaum nahdliyin, melafaskan doa panjang di lapangan sepak bola Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, Selasa pekan lalu. Apa yang mereka minta? Ada tiga perkara: kesehatan, kekuatan, dan (ini utamanya) kemenangan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.
Doa politik? Terserah. Toh, berdoa itu ibadah juga. Soalnya tinggal ikhlas atau tidak. Dan di kalangan Nahdlatul Ulama belakangan ini paket doa plus dukungan itu semakin sering dilakukan. Kelompok kiai "bintang" yang lain juga mendoakan Salahuddin Wahid, orang NU yang juga calon wakil presiden Partai Golkar.
Di Sidogiri, yang berkumpul adalah kiai pendukung Hasyim Muzadi, Ketua Umum Nahdlatul Ulama. Dukungan itu diucapkan sahibulbait Kiai Nawawi Abdul Djalil. Kiai yang berpengaruh di wilayahnya itu membagi-bagikan kertas tulisan tangannya kepada ribuan tamu. Isinya, "Setelah melihat calon presiden dan wakil presiden, setelah saya amati dengan saksama, saya memberikan dukungan kepada K.H. Hasyim Muzadi sebagai wakil presiden untuk Ibu Megawati."
Kiai Nawawi tidak sendirian. Dari Kediri muncul pernyataan senada dari K.H. Idris Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, dan K.H. A. Zainuddin Djazuli dari Ploso. Poros Lirboyo-Ploso ini memang sejak awal masa pencalonan presiden tidak mendukung Abdurrahman Wahid yang digadang-gadang Partai Kebangkitan Bangsa menjadi calon presiden. Dukungan rupanya untuk Hasyim.
Dan Kiai Nawawi, pengasuh pondok pesantren yang berumur 258 tahun di daerah Kramat, Pasuruan itu, punya alasan. Menurut dia, Hasyim Muzadi lebih besar kemungkinannya untuk menyempurnakan kekurangan Megawati. Sikap Nawawi klop dengan koleganya dari Kediri yang merasa harus menyokong Ketua Umum NU.
Jelas Hasyim Muzadi bagai mendapat durian jatuh. Soalnya, di kalangan NU yang lain, ada sejumlah kiai "bintang" yang terang-terangan mengharamkan umat NU berimam pada seorang perempuan. Maksudnya jelas: agar tidak memilih Mega, dan tentu otomatis pasangannya, Hasyim.
Hasyim Muzadi mencoba hati-hati dalam menyikapi dukungan Sidogiri ini. Dalam ceramahnya di Sidogiri, dia menyatakan setiap warga NU bebas memilih calon pemimpin. Siapa pun yang dipilih, Hasyim minta agar NU tidak pecah. "NU harganya terlalu mahal hanya untuk sekadar jabatan calon presiden," katanya.
Benar. Dalam urusan calon presiden ini, NU terbelah dalam dua kubu: yang mendukung Hasyim dan yang mendukung Wiranto-Salahuddin Wahid. Salahuddin, adik Abdurrahman Wahid, kelihatan lebih didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa, sayap politik NU.
Dukungan dari istigasah di Sidogiri?yang merupakan pondok pesantren tertua di negeri ini?ditafsirkan banyak orang sebagai tandingan pertemuan 25 orang kiai "bintang" di Pesantren Raudlatul Ulum, Besuk, Pasuruan. Pertemuan pada awal Juni itu dimotori Kiai Mas Subadar dari Besuk dan Kiai Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban. Hasil pertemuan Besuk: haram hukumnya memilih pemimpin perempuan. Memang sulit mengelak dari kesan bahwa dua pertemuan itu "bertanding". Apalagi lokasi pesantren Sidogiri dan Besuk hanya berjarak sekitar tujuh kilometer.
Adu pendapat tak terelakkan. Kiai Mas Subadar tegas-tegas menuding istigasah Sidogiri sebagai kampanye terselubung Hasyim Muzadi. "Kalau tokoh yang hadir minta didoakan segala, itu jelas kampanye," katanya. Tuduhan Mas Subadar tidak dibantah, malah dibenarkan oleh koordinator acara di Sidogiri, Kiai Mutawakkil Alallah. Mutawakkil mengakui pertemuan itu memang sarana meraih dukungan dari kiai NU di wilayah tapal kuda Jawa Timur dan juga di "mataraman" (Surabaya dan Jawa Timur bagian barat). "Tujuannya mendoakan kebaikan bangsa dan agar pasangan Mega-Hasyim bisa menang pemilu presiden," kata kiai muda itu.
Jawa Timur memang basis suara kaum sarungan ini. Di sana ada 20 juta penduduk yang bisa dikategorikan sebagai bagian NU. Partai Kebangkitan Bangsa dalam pemilu legislatif yang lalu bisa merebut delapan juta suara di Jawa Timur, dan tentu yang terbanyak suara NU. Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Mahfud Md., mengakui bahwa Jawa Timur menjadi pusat perebutan suara NU dalam pemilu lalu.
Dan pasti sumbangan NU dan Jawa Timur juga signifikan dalam pemilu presiden sekarang?walaupun untuk merebutnya tidaklah perlu saling mengharamkan atau memurtadkan pilihan masing-masing. NU lebih langgeng ketimbang jabatan presiden.
Edy Budiyarso (Jakarta), Ecep S. Yasa (Pasuruan),Mahbub Djunaedi, Abdi Purnomo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini