DI Samudra Indonesia, di lepas pantai daerah Sibolga, hari-hari
di bulan oktober kemarin pukat harimau masih saja beroperasi.
Dan ini dianggap liar. "Operasi pukat harimau holeh saja distop,
soal perut bagaimana " kata beberapa orang di antara pemilik
kapal ikan.
Lewat sebulan lalu, persisnya 22 September, Gubernur Sumatera
Utara Edward Tambunan, mengeluarkan keputusan melarang pukat
harimau di daerahnya turun ke laut sebelum memperoleh izin baru.
Kcputusan ini tampaknya salah satu usaha mengadakan penertiban
baik terhadap jumlah pukat harimau yang dianggap telah melampaui
batas, maupun akan cara-cara operasi mereka selama ini.
Ketentuan ini tentu segera dipatuhi para pemilik pukat harimau.
Tapi ketika izin baru yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, para
nelayan pun mulai gelisah. Tidak turun ke laut berarti asap
dapur tak menyala. Tapi jika beroperasi juga, tak salah lagi:
dituduh liar karena belum memiliki izin baru. Ternyata pilihan
terakhir ini banyak diambil para nelayan Sibolga, dengan segala
risikonya. Di Jakarta hal ini segera mendapat reaksi dari pihak
pemerintah. Yaitu berupa penangkapan dan perkaranya telah
diputus Pengadilan Negeri Jakarta Utara pekan lalu. (lihat Box).
Acin, 28 tahun, pemilik 4 pukat harimau di Sibolga tidak
keberatan memenuhi ketentuan gubernur 22 September itu. Tapi,
katanya, "lima minggu saya menunggu izin baru dari gubernur
belum juga keluar." Berkata begitu, ia mengisyaratkan, lewat
lima minggu kesabarannya habis. Dan ia pun termsuk orang-orang
yang turun laut s( ca liar.
CV Natalis, pemilik 18 pukat harimau di daerah yang sama, punya
alasan lain untuk menjadi liar. Selain turun kelaut dengan 18
pukat harimau milik sendiri, perusahaan itu juga mengoperasikan
3 yang lain, milik 3 Koperasi Unit Desa yang dimanfaatkannya
dengan sistim bagi hasil. Kie Cin-cang, menejer perusahaan
tersebut, sadar tindakannya salah. "Tapi saya sudah melapor pada
Pak Sitinjak," katanya.
Tak Ada Lana
Sitinjak, Kepala Dinas Koperasi Tapanuli Tengah yang dimaksud
Cin-cang tak mengaku memberi restu. "Mana mungkin saya dapat
mengizinkan atau melarang mereka turun ke laut. Tanya dong
pihak Syahbandar," Sitinjak berkata kepada Bersihar Lubis dari
TEMPO.
Pihak Syahbandar, sebagaimana dikatakan Syahbandar Sibolga
Karundeng, katanya memang berwenang dalam penertiban 'SIUP' dan
'SIKP', semacam surat izin untuk pukat harimau beroperasi. Tapi,
akan hal pukat harimau yang beroperasi secara liar di lepas
pantai Sibolga, Karundung berkata: "Kami belum tahu itu. Soalnya
kami tak bisa mengawasi mereka terus menerus siang malam. Tak
ada dana."
Di balik semua itu, mungkin koordinasi antar instansi yang
berhubungan dengan soal laut jadi pokok soal. Panglima Daerah
Angkatan Laut (Pangdaeral) II Laksamana Pertama Kunto Wibisono
pernah mengungkapkan di Tanjungpinang, bahwa yang punya urusan
dengan soal laut lebih dari satu instansi. Rupanya inilah letak
kesulitan jika tak ada koordinasi di antara berbagai instansi
itu.
Dan itu masuk akal. Berbeda dengan beberapa daerah lain di
Sumatera Utara, di Tapanuli Tengah pukat harimau justru dianggap
sebagai sumber rezeki bagi pemerintah daerah maupun nelayan
tradisionil. (TEMPO 21 Oktober 1978). Pendapatan daerah naik
seribu persen dibanding ketika pukat harimau belum menggalak.
Itu kata Walikota Pandapotan Nasution SH.
Akan halnya penduduk juga umumnya gembira karena dengan adanya
pukat harimau pendapatan mereka dikatakan naik 100%. Operasi
penangkapan ikan secara tradisionil ditinggalkannya. Jadilah
mereka sebagai karyawan pemilik pukat harimau dengan tugas
misalnya menjemur ikan. "Di Sibolga, pukat harimau dapat
diterima masyarakat," Aman Sinaga, salah seorang pengurus
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang sana
menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini