Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Antara Izin Dan Asap Dapur

Gubernur sumatera utara, Edward Tambunan, melarang pukat harimau di daerahnya turun ke laut sebelum memperoleh izin baru, tapi karena izin sulit keluar nelayan sibolga tetap beroperasi.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Samudra Indonesia, di lepas pantai daerah Sibolga, hari-hari di bulan oktober kemarin pukat harimau masih saja beroperasi. Dan ini dianggap liar. "Operasi pukat harimau holeh saja distop, soal perut bagaimana " kata beberapa orang di antara pemilik kapal ikan. Lewat sebulan lalu, persisnya 22 September, Gubernur Sumatera Utara Edward Tambunan, mengeluarkan keputusan melarang pukat harimau di daerahnya turun ke laut sebelum memperoleh izin baru. Kcputusan ini tampaknya salah satu usaha mengadakan penertiban baik terhadap jumlah pukat harimau yang dianggap telah melampaui batas, maupun akan cara-cara operasi mereka selama ini. Ketentuan ini tentu segera dipatuhi para pemilik pukat harimau. Tapi ketika izin baru yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, para nelayan pun mulai gelisah. Tidak turun ke laut berarti asap dapur tak menyala. Tapi jika beroperasi juga, tak salah lagi: dituduh liar karena belum memiliki izin baru. Ternyata pilihan terakhir ini banyak diambil para nelayan Sibolga, dengan segala risikonya. Di Jakarta hal ini segera mendapat reaksi dari pihak pemerintah. Yaitu berupa penangkapan dan perkaranya telah diputus Pengadilan Negeri Jakarta Utara pekan lalu. (lihat Box). Acin, 28 tahun, pemilik 4 pukat harimau di Sibolga tidak keberatan memenuhi ketentuan gubernur 22 September itu. Tapi, katanya, "lima minggu saya menunggu izin baru dari gubernur belum juga keluar." Berkata begitu, ia mengisyaratkan, lewat lima minggu kesabarannya habis. Dan ia pun termsuk orang-orang yang turun laut s( ca liar. CV Natalis, pemilik 18 pukat harimau di daerah yang sama, punya alasan lain untuk menjadi liar. Selain turun kelaut dengan 18 pukat harimau milik sendiri, perusahaan itu juga mengoperasikan 3 yang lain, milik 3 Koperasi Unit Desa yang dimanfaatkannya dengan sistim bagi hasil. Kie Cin-cang, menejer perusahaan tersebut, sadar tindakannya salah. "Tapi saya sudah melapor pada Pak Sitinjak," katanya. Tak Ada Lana Sitinjak, Kepala Dinas Koperasi Tapanuli Tengah yang dimaksud Cin-cang tak mengaku memberi restu. "Mana mungkin saya dapat mengizinkan atau melarang mereka turun ke laut. Tanya dong pihak Syahbandar," Sitinjak berkata kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Pihak Syahbandar, sebagaimana dikatakan Syahbandar Sibolga Karundeng, katanya memang berwenang dalam penertiban 'SIUP' dan 'SIKP', semacam surat izin untuk pukat harimau beroperasi. Tapi, akan hal pukat harimau yang beroperasi secara liar di lepas pantai Sibolga, Karundung berkata: "Kami belum tahu itu. Soalnya kami tak bisa mengawasi mereka terus menerus siang malam. Tak ada dana." Di balik semua itu, mungkin koordinasi antar instansi yang berhubungan dengan soal laut jadi pokok soal. Panglima Daerah Angkatan Laut (Pangdaeral) II Laksamana Pertama Kunto Wibisono pernah mengungkapkan di Tanjungpinang, bahwa yang punya urusan dengan soal laut lebih dari satu instansi. Rupanya inilah letak kesulitan jika tak ada koordinasi di antara berbagai instansi itu. Dan itu masuk akal. Berbeda dengan beberapa daerah lain di Sumatera Utara, di Tapanuli Tengah pukat harimau justru dianggap sebagai sumber rezeki bagi pemerintah daerah maupun nelayan tradisionil. (TEMPO 21 Oktober 1978). Pendapatan daerah naik seribu persen dibanding ketika pukat harimau belum menggalak. Itu kata Walikota Pandapotan Nasution SH. Akan halnya penduduk juga umumnya gembira karena dengan adanya pukat harimau pendapatan mereka dikatakan naik 100%. Operasi penangkapan ikan secara tradisionil ditinggalkannya. Jadilah mereka sebagai karyawan pemilik pukat harimau dengan tugas misalnya menjemur ikan. "Di Sibolga, pukat harimau dapat diterima masyarakat," Aman Sinaga, salah seorang pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang sana menambahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus