KETIKA puluhan kapal penangkap ikan berpukat harimau mulal
ditambat di pelabuhan Pasar Ikan atau Kalimati, Jakarta,
menunggu keputusan pengadilan, nasib berikutnya mudah ditebak.
Sebab Mahkamah Agung, begitu menurut keterangan beberapa orang
hakim di Jakarta, pagi-pagi telah mengarahkan: Kapal-kapal trawl
yang kena perkara di pengadilan boleh diputuskan dirampas untuk
negara! Tentu saja kalau kesalahannya terbukti seperti tuduhan
jaksa.
Walaupun tak menyinggung, atau mengikatkan putusannya pada
arahan Mahkamah Agung, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
awal bulan ini tak meleset dari dugaan. Kendati pun yang
memutuskan perkara tersebut seorang hakim yang biasa bersikap
lain, Bismar Siregar SH, Ketua penadilan itu sendiri. 24 kapal
dinyatakan dirampas untuk negara dari 21 orang tertuduh.
Selebihnya hanyalah beberapa pertimbangan hukum Bismar saja yang
masih perlu dikemukakan.
Ke-21 tertuduh umumnya berasal dari Bagansiapi-api Pulau Halang
Riau dan Tanjungbalai. Ada yang memang pemilik kapal, ada pula
yang hanya kuasa pengelola saja. Kegiatan mereka di sekitar
pantai Sumatera Selatan bagian Timur, pesisir Lampung dan
sekitar Teluk Jakarta.
Sejak Juli kemarin, jumlahnya di atas ratusan, ditambat di
Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kalimati, Tanjungpriok, dengan
tuduhan jaksa menangkap ikan di perairan Indonesia dan
mengangkutnya ke Pasar Ikan, Jakarta, tanpa melengkapi diri
dengan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Ijin Kapal
Perikanan (SIKP). Itu melanggar peraturan-peraturan, dari
mulai Ordonansi Perikanan Pantai (Sth 144 tahun 1927), Ordonansi
Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim (Stb 442 tahun 1939)
sampai dengan ketentuan Menteri Pertanian yang dikeluarkan 1973.
Jaksa menuntut agar hakim merampas semua kapal di samping
menghukum pemiliknya dengan dcnda Rp 7.500. Tak ada tertuduh
(didampingi para pembela Soenarto, Nurbany Yusuf, Hadi Soenarno,
Suwarto Kolopaking dan Soediono) yang memungkiri tuduhan jaksa.
Hanya mereka berpendapat, operasi mereka di laut bagaimanapun
dilakukan secara sah. Mereka dapat menunjukkan SIUE', SIKP
maupun Surat Ijin Pemasamn Ikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
DKI Jakarta.
Apakah DKI berwenang mengeluarkan ijin tersebut? Entahlah. Yang
jelas iin DKI itu dikeluarkan dengan ketegngan antara lain,
sambil menunggu srat ijin dari Departemen Pertanian keluar.
Pertimbangan Bismar Siregar untuk soal perijinan ini menarik.
Ijin, begitu timbangnya, memang mutlak harus dari Departemen
Pertanian khususnya Ditjen Perikanan. Tapi, telah bertahun-tahun
para nelayan mengusahakannya, misalnya melalui PT Catur Matra
atlu CV Usaha Mina, tanpa hasil. Hinga mereka menghadap hakim
dan diputuskan perkaranya bulan ini ijin tak kunjung muncul.
Jawaban yang postif tak ada. Ditjen Perikanan hanya menyatakan,
ijin baru akan dikeluarkan setelah urusan inventarisasi
kapal-kapal trawl selesai. Kapan selesainya, tak pernah
diketahui para nelayan.
Karena itu Bismar menilai, pelanggaran ijil bukan sepenuhnya
kesalahan para nelayan. Dinilainya, ada "kelalaian di fiiak yang
berwenang," dalam hal ini Ditjen Perikanan dalam melayani
perijinan. Sementara itu Pemda DKI, walaupun tahu para nelayan
yang membongkar ikannya di Pasar Ikan itu tak berijin, telah
banyak mengambil manfaat dari mulai menutup kebutuhan ikan bagi
penduduk Jakarta, juga boleh menarik retribusi, pajak dan
pungutan lain. Sedangkan, menurut hukum, apa namanya menerima
barang dari sesuatu pekerjaan melanggar hukum, kalau bukan
penadahan? "Kesemuanya itu patut menjadi perhatian pengadilan,"
timbang hakim ini.
Kritik Bismar terhadap pemerintah tidak mengurangi beban
tanggung jawab para tertuduh. Bahkan, menurut Ketua Pengadilan
Jakarta Utara-Timur ini, menangkap ikan tanpa ijin -- untuk masa
sekarang ini, khususnya bukan saja tergolong soal pelanggaran
semata. Akibatnya sudah merupakan kejahatan serius merusak
kelestarian alam, di samping menimbulkan "keresahan karena tidak
adanya perlindungan bagi nelayan tradisionil." Walau pun, sekali
lagi, kelambatan peninjauan kembali peraturan dan sanksi hukuman
bagi kapal-kapal pukat harimau, juga antara lain merupakan
"kelalaian pembuat undang-undang".
Tak ada pertimbangan lain bagi Bismar Siregar, kecuali
memutuskan semua kapal, sebagai bukti pelanggaran, dirampas
untuk negara.
Sebelumnya telah diputuskan agar tertuduh membayar denda Rp
7.500 atau hukuman kurungan 7 hari sebagai pengganti. Di luar
pengadilan ada yang bertanya. Betapapun akibatnya, apakah
kendaraan bermotor dapat disita dalam suatu pelanggaran
lalulintas? Bismar menjawab singkat: "Pertimbangan saya
tekankan kepada akibat yang lebih luas. Beberapa kasus, seperti
di Muncar tempo hari, bahkan sudah menunjukkan keresahan nelayan
tradisionil, karena pukat harimau, sudah sampai di puncaknya."
Sekarang, setelah kapal-kapal dirampas untuk negara, mau
diapakan Pengadilan tak punya wewenang mengrusulkan apa-apa.
Hanya, dalam keputusannya, hakim merasa "tak salah dan tidak
berkelebihan menghimbau" mengusulkan jalan keluar. Misalnya.
bekas para pemiliknya diberi kesempatan untuk ikut mengelola
kembali, dengan syarat tertentu. Supaya mereka tidak kehilangan
nafkah. Juga, agar kapal bekas milik mereka itu tidak jadi
mubazir. Bismar berhitung: 245 kapal seharga @ Rp 15 juta,
berarti ada harta seharga Rp 3,657 milyar yang harus diurus Itu
baru yang di Jakarta saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini