API kembali menaklukkan Jakarta. Rabu pekan lalu, pusat perbelanjaan Metro, yang bertingkat 10, di Pasar Baru, Jakarta, nyaris musnah terbakar. Api yang diduga mulai.merambat sekitar pukul 05.30 pagi terus berkobar hingga Kamis subuh. Sekitar 36 mobil pemadam kebakaran yang dlkerahkan ternyata cuma mampu menyelamatkan lantai 8 dan 9, serta jembatan pertokoan yang menghubungkan Metro dengan Pasar Baru. Yang paling terkena tampaknya lantai 1 sampai 4, yang dipakai sebagai pertokoan. Munculnya api - konon di lantai I - pada pagi hari, di saat pertokoan masih tutup, menyulitkan usaha pemadaman. "Pintu jenis rolling door di pertokoan Metro itu hanya dapat dibuka jika memakai listrik. Karena listrik mati, pintu tidak dapat dibuka dari luar. Kalau ingin membuka, harus dari dalam. Padahal, di dalam sudah terbakar. Jalan satu-satunya, ya, harus didobrak. Itu makan waktu," kata Chanafi, kepala Dinas Pemadam Kebakaran (DPK) Jakarta Raya. Kesulitan air lagi-lagi juga dituding sebagai penyebab. Tiga hidran yang ada di sekitar pertokoan ternyata tak mengeluarkan air. Pertokoan Metro ternyata tak memiliki sistem sprinkle (penyemprot air) otomatis. "Sebab, ketinggiannya di bawah 40 meter," kata Chanafi. Menurut Perda 3/1975, hanya bangunan yang tingginya melebihi 40 m atau lebih dari 10 tingkat yang diharuskan memiliki sprinkle otomatis. Kebakaran Metro membuat banyak orang menoleh pada Perda 3/1975 itu: Apakah perda itu saat ini masih sesuai dan tidak ketinggalan zaman? "Meski tingginya di bawah 40 meter, kalau keadaan gedung tertutup, semestinya diharuskan memakai sistem sprinkle," kata Chanafi. Hario Sabrang, direktur Tata Bangunan Departemen Pekerjaan Umum, yang juga penasihat penelitian bangunan-bangunan tinggi di Jakarta, punya pendapat serupa. "Kelemahan pengamanan gedung tinggi di Jakarta cukup memprihatinkan. Itu disebabkan sistemnya. Misalnya, di tingkat satu sampai empat belum ada sprinkle-nya seperti pada bangunan Metro itu. Itu berarti, asumsi kita sewaktu membuat peraturan yang dulu itu tidak benar. Jadi, peraturannya perlu diperbarui," katanya. Tampaknya, kebakaran gedung Sarinah pada November 1984 belum cukup memberi pelajaran. Pemda Jakarta kemudian memang membentuk sebuah tim untuk memeriksa tingkat keandalan bangunan tinggi dan bangunan umum di Jakarta dalam menghadapi bahaya kebakaran. Selama dua pekan, tim di bawah pimpinan Ery Chajaridipura, kepala Biro Pembangunan Daerah DKI Jakarta, akhir tahun lalu meneliti 200 bangunan tinggi dan bangunan umum. Hasilnya: 54,5% bangunan dinilai rawan, sedangkan 45,5% lainnya dinilai tidak lengkap tapi tidak rawan. Sebagian besar bangunan yang rawan ternyata yang berlantai 5 sampai 10. Hasil penelitian itu, menurut Ery, diberikan juga kepada pemilik gedung. "Hasil itu supaya dimanfaatkan untuk membantu mengadakan pembenahan," katanya. Pemilik tidak sekaligus diharuskan melengkapi sarana yang kurang karena hal itu menyangkut masalah dana. Belum jelas bagaimana hasil penelitian terhadap peralatan pusat perbelanjaan Metro. Begitu juga mengenai penyebab kebakaran. Sebuah sumber TEMPO di kepolisian mengungkapkan, telah 14 orang petugas keamanan dan saksi mata yang dimintai keterangan. Para pemilik toko di lantai I, dari seluruh 350 pemilik toko, juga akan didengar keterangannya. Hasil penelitian ini akan dicocokkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium kriminil polisi. Jika seandainya ditemukan bahwa penyebab kebakaran adalah kesengajaan, kondisi keuangan toko-toko itu akan diperiksa. Kalau mereka rugi, motifnya bisa jadi untuk memperoleh santunan asuransi. Sebuah sumber lain mengingatkan persamaan kebakaran Metro dengan kebakaran Glodok Plaza pada 1983. Keduanya terbakar pagi hari, dan semua pertokoan tertutup rolling door. Belakangan terungkap adanya sejumlah pemilik toko di Glodok Plaza yang menyuap polisi agar kebakaran itu dinilai wajar, sehingga mereka bisa memperoleh santunan asuransi. "Tunggu saja hasil penelitian kami," kata sumber tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini