HARYONO Gareng, 45, kini seperti mendapat tugas baru. Bila berkumpul dengan teman-temannya, tukang becak yang bertubuh gempal itu kini selalu menjadi pusat pertanyaan. "Saya sering ditanya tentang P-4," ujar Haryono, yang selalu mangkal di Pasar Klewer, Solo. Dengan bangga, Haryono menjawab semua pertanyaan. "Saya sekarang merasa tambah plong, karena telah tahu apa yang dimaui pemerintah dengan UUD dan Pancasila," kata lulusan SD yang punya anak empat tersebut. Haryono memang telah mengikuti penataran P-4. Ia termasuk di antara seribu tukang becak di Solo yang pada 3 dan 4 Juli lalu ikut serta dalam penataran yang diselenggarakan BP-7 Kota Madya Solo bekerja sama dengan SBAJR (Serikat Buruh Angkutan Jalan Raya) Solo. Penataran dilakukan di gedung wayang orang Sriwedari. Tiap hari 500 tukang becak ditatar. Mengapa tukang becak? "Tujuan penataran Itu untuk memberi kesempatan pada saudara kita sopir becak agar turut menyantap sari P-4. Selama ini, di kampung, mereka seperti diabaikan," kata Marwan Purwoatmojo, ketua SBAJR cabang Solo. Sudioto, kepala BP-7 Solo, menjelaskan, penataran buat tukang becak itu selaras dengan program "Berseri" Pemda Solo. "Berseri" artinya bersih, rapi, dan indah. "Jadi, selain tukang becak memperoleh santapan moral berupa Pancasila, mereka juga diharapkan punya landasan dan kesadaran untuk menunjang program itu," kata Sudioto. Maksudnya, agar mereka dengan becaknya bisa rapi dan teratur, hingga Solo menjadi tampak indah. Penataran buat tukang becak itu cuma memakan waktu lima jam, dari pukul 8-14, diselingi istirahat dan makan satu jam. Lima penceramah menatar. Materi pelajaran: P-4, GBHN, UUD 1945, pengetahuan tentang serikat buruh, dan tata tertib lalu lintas. Karena memakai pola khusus lima jam, BP-7 tak memberikan piagam atau surat tanda lulus buat peserta. Tak seorang peserta pun dinyatakan gugur. Semuanya mengikuti penataran dengan tekun. Selama penataran mereka memakai pakaian rapi, kebanyakan celana panjang dan baju putih. Sebagian tukang becak datang mengendarai becaknya, lalu berganti pakaian di belakang gedung, sebelum masuk untuk ikut ceramah. Yang mengikuti penataran cuma tukang becak yang telah menjadi anggota basis SBAJR. Sekarang ini, menurut Marwan Purwoatmojo, cuma 1.600 dari sekitar 22.000 tukang becak di Solo yang tergabung dalam SBAJR. Penentuan siapa yang ikut ditentukan SBAJR sendiri. Mereka yang ikut memperoleh uang saku Rp 500 dan makan minum. Pada hari penataran itu, mereka juga dibebaskan dari membayar uang setoran. Meski yang ditatar tukang becak, BP-7 Solo tetap menunjuk penatar yang punya nama. Mereka umumnya menatar dengan bahasa yang populer. "Agar sopir becak itu bisa mencerna, saya memakai bahasa gado-gado Indonesia dan Jawa, serta mencari masalah yang bisa dimengerti mereka," cerita Danu Sukarno, salah seorang penceramah. Ia, misalnya, mengajak para tukang becak memperhatikan lingkungannya, mengatur anak (KB), juga menjaga keselamatan penumpangnya. "Kalau ada penumpang luar kota, jangan dibawa putar-putar jalan agar dapat bayaran tinggi," kata Danu, disambut tertawa gemuruh para peserta. Tertawa, tepuk tangan, manggut-manggut, dan sesekali teriakan spontan "setuju" atau "bagus" merupakan ungkapan tanggapan para tukang becak itu. Tak ada yang bertanya, apalagi mengajak diskusi. Toh, para penceramah merasa puas. Tampaknya, para peserta juga begitu. Witohardjo, misalnya. Kakek berusia 62 tahun yang rambutnya putih dan agak bungkuk tapi masih kelihatan kukuh ini, sangat puas karena terpilih mengikuti penataran. "Kulo rumaos diuwongke [Saya merasa diorangkan]," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini