SUDAH lama, memang, asuransi masuk sekolah. Tapi yang di Bali kini agak lain. PT (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja mengetuk pintu demi pintu semua SMTP dan SMTA di Bali, agar para siswa menjadi pemegang polis asuransi kecelakaan. Tentu saja, PT ini tak begitu saja berani menggedor pintu-pintu sekolah, bila tak berbekal surat rekomendasi dari Gubernur Bali dan Kanwil Departemen P dan K Provinsi Bali. Masalahnya, begitu mendesakkah itu -- meski besar premi memang hanya Rp 2.500 per tahun? Di Kabupaten Tabanan, dari 109 sekolah sudah 87 sekolah mengadakan perjanjian asuransi. Bahkan perjanjian itu dilangsungkan dalam sebuah upacara resmi, disaksikan Bupati Tabanan, Soegianto, dua pekan lalu. Di Kabupaten Badung, Jasa Raharja menggebrak sekolah di Kota Denpasar, tapi hasilnya kurang lancar. Di Kabupaten Buleleng, Singaraja, dan di lima kabupaten lainnya, Jasa Raharja sedikit mendapat tanggapan. Menurut catatan di Kanwil P dan K Bali jumlah murid SMTP dan SMTA lebih dari 236.000 orang dan gurunya hampir 18.400 orang. Kalau saja semua ini mematuhi imbauan berasuransi, setiap tahun Jasa Raharja akan mengeruk uang lebih dari Rp 600 juta. Menurut perjanjian, Jasa Raharja menjamin santunan untuk pelajar yang mengalami kecelakaan sejak perjalanan dari rumah ke sekolah sampai pelajar itu pulang ke rumah. Yang dimaksud dengan kecelakaan adalah yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan semua kegiatan di sekolah yang masuk ke dalam kurikulum. Besar santunan, Rp 3 juta untuk meninggal dunia, biaya pengobatan maksimal Rp 1 juta, dan bagi yang menderita cacat tetap maksimal Rp 6 juta. Di luar jalur perjalanan itu, semua jenis kecelakaan tidak ditanggung. Begitu pula kalau misalnya ada pelaJar yang meninggal mendadak karena sakit, walau itu terjadi di sekolah. Jasa Raharja bukan asuransi jiwa. Selain itu, sakit tak ada dalam kurikulum, baik Kurikulum 1975 maupun 1984. Bagi sekolah kejuruan, misalnya STM unsur kecelakaan memang lebih tinggi selama praktikum. Pihak Jasa Raharja Cabang Denpasar tentu maklum hal ini, dan karena itulah sekolah kejuruan ini yang diincar pertama kali. STM Negeri Denpasar paling awal didatangi dan menerima kerja sama ini. Semua siswa, lebih dari 1.200 orang, mendaftar. "Tetapi untuk guru-guru, kami tak bisa memaksakan. Dari 100 pengajar hanya 10 orang yang ikut," kata Ida Baus Geria Wisnawa, Kepala STM ini. Seberapa besar kecelakaan siswa di lingkungan sekolah? Geria Wisnawa mengatakan, seorang siswa dan seorang guru putus jari tangannya karena gergaji mesin, "Tapi itu sepuluh tahun yang lalu." Artinya, kecelakaan itu tak terlalu tinggi. Memang ada yang dicemaskan Wisnawa: 60 persen anak didiknya berasal dari luar kota yang ke sekolah naik sepeda dan sepeda motor. Di Denpasar yang padat, dan jalan-jalan yang sempit, kecelakaan memang meningkat terus. Tetapi masalahnya, berdasarkan Undang-Undang No. 33 dan 34 tahun 1964, korban kecelakaan di jalan dengan sendirinya berhak mendapat santunan dari Jasa Raharja -- yang besarnya mampu sama dengan ganti rugi asuransi tersebut. Tak jelas adakah hal ini sudah menjadi pertimbangan para guru dan siswa itu. Atau, mereka belum tahu? Lain daripada itu, ada masalah yang juga perlu dipertimbangkan. "Ayah saya keberatan sekali, karena kakak saya di SMKK juga kena keharusan asuransi ini. Gaji Ayah cuma Rp 70.000," kata seorang anak kelas II STMN Denpasar. Ada seorang ibu yang berkomentar "Prinsip setuju, untuk menghindari kemungkinan kecelakaan. Tapi kemungkinan itu rasanya kecil gampang sekali, ya, mengambil keuntungan?" Tampaknya, sekolah bukan cuma tempat mencari ilmu. Bagi sementara pihak, boleh berarti tempat mencari uang. Ini kenyataan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini