Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berita Tempo Plus

Kepala Sekolah Aktor Pulau Burung

Khaidir Rahman sempat mengembalikan surat keputusan penunjukan kepala sekolah. Baginya guru tak berbeda seperti aktor.

11 Desember 2022 | 00.00 WIB

Khaidir Rahman, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Pulau Burung, Indragiri Hilir, Riau, 4 Desember 2022. TEMPO/Alfan Noviar
Perbesar
Khaidir Rahman, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Pulau Burung, Indragiri Hilir, Riau, 4 Desember 2022. TEMPO/Alfan Noviar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari setengah bulan kursi biru di ruangan bertulisan “Kepala Sekolah” di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Pulau Burung itu kosong. Khaidir Rahman, 35 tahun, yang biasa duduk di kursi itu, tengah berdinas di luar kota mengikuti serangkaian kegiatan. Khaidir harus memberi materi dalam lokakarya untuk para calon guru yang mengikuti program Merdeka Mengajar di Pekanbaru, Riau. Sebelumnya ia mengikuti uji keterbacaan instrumen yang ditaja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta.

Kegiatan belajar-mengajar di SMPN 1 Pulau Burung di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, berjalan seperti biasa pada Kamis pagi, 1 Desember lalu. “Pak Khaidir mungkin berangkat Kamis malam dan singgah ke Pematang Reba (Rengat Barat, Indragiri Hulu), tempat istri dan anaknya tinggal,” kata Wakil Kepala SMPN 1 Pulau Burung, Nurbani, yang mengaku mendapat pesan dari Khaidir yang akan tiba di Pulau Burung pada Jumat petang, 2 Desember lalu.

Terpaut jarak 151 kilometer dari anak dan istrinya, Khaidir tinggal sendiri di rumah petak berukuran 4 x 5 meter persegi yang ruang tamu dan kamarnya disekat tripleks. Rumahnya berada di gang selebar 1,5 meter yang selalu terendam air hujan. Khaidir tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan setengah hari. “Saya berangkat dari Pematang Reba pukul 6 pagi. Empat jam ke Tembilahan. Lalu lewat jalur laut dari pukul 2 siang,” tutur Khaidir ihwal perjalanannya ke gugus pulau terujung di Indragiri Hilir itu.

Saat Tempo menyambanginya, Khaidir tampak berbincang dengan kolega guru di depan rumahnya. Seusai menunaikan salat magrib, ia bergegas mencari santapan malam sambil menonton siaran langsung Piala Dunia 2022 Qatar, pertandingan Korea Selatan versus Portugal. Hanya setengah babak, matanya tak kuat menahan kantuk. Ia memutuskan pulang ke rumah kontrakan. “Besok kita mulai aktivitas di sekolah dari pukul setengah delapan,” ucapnya.

Sabtu pagi, 3 Desember lalu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.17. Tiga belas menit sebelum bel sekolah berbunyi, Khaidir masih berkutat dengan laptopnya. Hanya berselang lima menit, ia menutup perantinya itu. Memanggul tasnya, Khaidir bersiap berangkat ke sekolah. Dari rumah kontrakannya, ia memacu gas sepeda motornya di kecepatan 20 kilometer per jam. Untuk sampai ke sekolah, Khaidir melewati jalan beton yang berlubang di sana-sini. Dengan kecepatan dan kondisi jalan seperti itu, ia butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sekolah.

Di sela-sela istirahat setelah senam pagi hari itu, Khaidir bercerita, awalnya ia tidak mencoba peruntungan menjadi guru. Meski menggenggam gelar sarjana pendidikan dari Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, ia pernah melamar menjadi karyawan bank. “Saya pernah daftar di bank dan sudah masuk tahap offering,” ucap Khaidir mengingat hal itu.

Pria kelahiran Tekulai Hilir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, pada 23 Juli 1987 ini mengurungkan niatnya setelah mendapat mandat dari (almarhumah) ibunya, Sainah, yang berpulang pada Oktober 2015. “Kau pergi ke Pekanbaru. Kalau tak jadi guru, jadi dosen,” tutur Khaidir meniru ucapan ibunya. Ia tidak tahu persis alasan ibunya menginginkan dia menjadi tenaga pengajar. Khaidir mengaku tidak bisa membantah perkataan ibunya itu.

Ayah Khaidir, Ibrahim, 65 tahun, menjelaskan alasan istrinya yang menginginkan Khaidir menjadi guru. “Kalau jadi guru banyak membantu orang,” ucap Ibrahim. Ibrahim yang bekerja menjadi pedagang bahan pokok sekaligus petani kelapa di Tekulai Hilir hanya bersekolah di Sekolah Rakyat sampai tingkat lima. “Saya tidak tamat sekolah, dia harus bisa lebih pendidikannya dari saya dan bisa mengajar banyak orang,” tutur Ibrahim melalui sambungan telepon, Kamis, 8 Desember lalu.

Setamat kuliah pada 2010, Khaidir melamar menjadi guru di Pondok Pesantren Darul Hikmah di Pekanbaru. Khaidir pun diterima dan mengampu mata pelajaran kimia untuk tingkat madrasah aliyah. “Saya ingat digaji Rp 156 ribu per bulan,” kata Khaidir. Untuk menambah pendapatan, Khaidir menjadi guru les dan beternak lele. “Saya sudah berani menyicil rumah di Pekanbaru,” ucapnya. Ia juga melanjutkan kuliah di Program Studi Teknologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus