Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari setengah bulan kursi biru di ruangan bertulisan “Kepala Sekolah” di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Pulau Burung itu kosong. Khaidir Rahman, 35 tahun, yang biasa duduk di kursi itu, tengah berdinas di luar kota mengikuti serangkaian kegiatan. Khaidir harus memberi materi dalam lokakarya untuk para calon guru yang mengikuti program Merdeka Mengajar di Pekanbaru, Riau. Sebelumnya ia mengikuti uji keterbacaan instrumen yang ditaja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta.
Kegiatan belajar-mengajar di SMPN 1 Pulau Burung di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, berjalan seperti biasa pada Kamis pagi, 1 Desember lalu. “Pak Khaidir mungkin berangkat Kamis malam dan singgah ke Pematang Reba (Rengat Barat, Indragiri Hulu), tempat istri dan anaknya tinggal,” kata Wakil Kepala SMPN 1 Pulau Burung, Nurbani, yang mengaku mendapat pesan dari Khaidir yang akan tiba di Pulau Burung pada Jumat petang, 2 Desember lalu.
Terpaut jarak 151 kilometer dari anak dan istrinya, Khaidir tinggal sendiri di rumah petak berukuran 4 x 5 meter persegi yang ruang tamu dan kamarnya disekat tripleks. Rumahnya berada di gang selebar 1,5 meter yang selalu terendam air hujan. Khaidir tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan setengah hari. “Saya berangkat dari Pematang Reba pukul 6 pagi. Empat jam ke Tembilahan. Lalu lewat jalur laut dari pukul 2 siang,” tutur Khaidir ihwal perjalanannya ke gugus pulau terujung di Indragiri Hilir itu.
Saat Tempo menyambanginya, Khaidir tampak berbincang dengan kolega guru di depan rumahnya. Seusai menunaikan salat magrib, ia bergegas mencari santapan malam sambil menonton siaran langsung Piala Dunia 2022 Qatar, pertandingan Korea Selatan versus Portugal. Hanya setengah babak, matanya tak kuat menahan kantuk. Ia memutuskan pulang ke rumah kontrakan. “Besok kita mulai aktivitas di sekolah dari pukul setengah delapan,” ucapnya.
Sabtu pagi, 3 Desember lalu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.17. Tiga belas menit sebelum bel sekolah berbunyi, Khaidir masih berkutat dengan laptopnya. Hanya berselang lima menit, ia menutup perantinya itu. Memanggul tasnya, Khaidir bersiap berangkat ke sekolah. Dari rumah kontrakannya, ia memacu gas sepeda motornya di kecepatan 20 kilometer per jam. Untuk sampai ke sekolah, Khaidir melewati jalan beton yang berlubang di sana-sini. Dengan kecepatan dan kondisi jalan seperti itu, ia butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sekolah.
Di sela-sela istirahat setelah senam pagi hari itu, Khaidir bercerita, awalnya ia tidak mencoba peruntungan menjadi guru. Meski menggenggam gelar sarjana pendidikan dari Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, ia pernah melamar menjadi karyawan bank. “Saya pernah daftar di bank dan sudah masuk tahap offering,” ucap Khaidir mengingat hal itu.
Pria kelahiran Tekulai Hilir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, pada 23 Juli 1987 ini mengurungkan niatnya setelah mendapat mandat dari (almarhumah) ibunya, Sainah, yang berpulang pada Oktober 2015. “Kau pergi ke Pekanbaru. Kalau tak jadi guru, jadi dosen,” tutur Khaidir meniru ucapan ibunya. Ia tidak tahu persis alasan ibunya menginginkan dia menjadi tenaga pengajar. Khaidir mengaku tidak bisa membantah perkataan ibunya itu.
Ayah Khaidir, Ibrahim, 65 tahun, menjelaskan alasan istrinya yang menginginkan Khaidir menjadi guru. “Kalau jadi guru banyak membantu orang,” ucap Ibrahim. Ibrahim yang bekerja menjadi pedagang bahan pokok sekaligus petani kelapa di Tekulai Hilir hanya bersekolah di Sekolah Rakyat sampai tingkat lima. “Saya tidak tamat sekolah, dia harus bisa lebih pendidikannya dari saya dan bisa mengajar banyak orang,” tutur Ibrahim melalui sambungan telepon, Kamis, 8 Desember lalu.
Setamat kuliah pada 2010, Khaidir melamar menjadi guru di Pondok Pesantren Darul Hikmah di Pekanbaru. Khaidir pun diterima dan mengampu mata pelajaran kimia untuk tingkat madrasah aliyah. “Saya ingat digaji Rp 156 ribu per bulan,” kata Khaidir. Untuk menambah pendapatan, Khaidir menjadi guru les dan beternak lele. “Saya sudah berani menyicil rumah di Pekanbaru,” ucapnya. Ia juga melanjutkan kuliah di Program Studi Teknologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
INFORMASI ihwal dibukanya penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) itu datang dari ibunya. Saat itu cuma ada dua formasi untuk calon guru ilmu pengetahuan alam tingkat sekolah menengah pertama. Khaidir pun menuruti kemauan ibunya. Ia mengikuti seleksi yang digelar secara tes berbantuan komputer pada September 2014. Hasil tes diperoleh saat itu juga dan Khaidir dinyatakan lulus. Namun ia tak mau memberitahukan ibunya kabar gembira itu.
Bukan tanpa alasan, Khaidir ketika itu sedang menyiapkan pernikahan dengan Deci Ririen yang ia temui ketika kuliah di Universitas Riau. “Desember saya menikah, saya akan jauh dari keluarga lagi,” ujarnya. Khaidir bercerita, ia sudah berpisah dengan orang tuanya sejak duduk di SMP. Selepas sekolah dasar di Tekulai Hilir, Khaidir tinggal bersama neneknya di Kuala Enok—desa lain di Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir.
Walau tak diberi tahu, Sainah tetap tahu Khaidir lulus menjadi CPNS. Menurut Khaidir, ibunya tahu dari tetangganya. “Ambil peluang itu, berapa orang yang sudah berminat di posisimu,” kata Khaidir meniru ucapan ibunya. “Kami sempat menangis berdua. Antara senang dan sedih. Senangnya lulus, tapi sedihnya harus berpisah,” ujar Deci, menceritakan suasana ketika itu melalui sambungan telepon, Kamis, 8 Desember lalu.
Eci—begitu Deci kerap dipanggil—kini bekerja sebagai dosen di Institut Teknologi dan Bisnis Indragiri Hulu. Mereka sepakat tinggal terpisah karena Eci harus menjaga ibunya di Pematang Reba. Saat keputusan penempatan Khaidir ke Pulau Burung keluar pada 2015, Eci tengah mengandung anak pertama mereka. “Kak Khaidir juga tak pernah mengeluh ketika menempuh jarak jauh untuk bertemu kami,” kata Eci.
Khaidir dan Eci dikaruniai Khairuna Askana, 7 tahun. Keluarga kecil ini melepas rindu melalui panggilan video WhatsApp. Khaidir juga tidak pernah meminta anak dan istrinya tinggal di Pulau Burung. “Mungkin akses fasilitas kesehatan (yang minim) menjadi salah satu pertimbangannya,” ujar Eci. Saat pertama kali bertugas di sana, Khaidir menyambangi keluarganya sebulan sekali. “Bahkan pernah tiga bulan sekali,” tutur Khaidir.
Dua tahun pertama Khaidir mengajar di SMPN 1 Pulau Burung, ia mencari cara agar dapat dipindahtugaskan. Ia pernah memohon perpindahan tugas ke Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir. Namun usahanya tidak berhasil. Terhitung sejak 2015 ia sudah tujuh tahun bertugas di SMPN 1 Pulau Burung. “Tuhan masih mempercayai saya di sini,” ujarnya sembari tertawa.
Meninggalnya Muhammad Arafah (kepala sekolah 2016-2020) pada 31 Oktober 2020 membuat kosong kursi kepemimpinan di SMPN 1 Pulau Burung. Majelis guru tidak mengetahui siapa penggantinya. Masyarakat yang berada di sekitar sekolah juga bertanya-tanya siapa kandidat pengganti Arafah. “Perkenalkan, saya kepala sekolah selanjutnya,” ucap Khaidir dengan bergurau.
Penggunaan teknologi informasi dalam pembelajaran kurikulum merdeka pada murid SMP Negeri 1 Pulau Burung, Indragiri Hilir, Riau, 4 Desember 2022. TEMPO/Alfan Noviar
Tidak tebersit di hati Khaidir keinginan untuk menjadi kepala sekolah. “Berat mengemban tugas ini,” ujarnya. Namun ia harus berhadapan dengan kenyataan itu setelah menerima surat penetapan sebagai pelaksana harian Kepala Sekolah SMPN 1 Pulau Burung tertanggal 2 November 2020 dari Dinas Pendidikan Indragiri Hilir. “Ucapan saya seperti doa. Padahal saya hanya bergurau ketika masyarakat menanyakan pengganti Pak Arafah,” ucapnya.
Khaidir enggan mengemban jabatan itu. Ia beranggapan belum memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin di sekolah itu. Lagi pula masih ada guru-guru senior yang pantas duduk sebagai kepala sekolah. Ia pun mencoba mengembalikan surat keputusan itu ke Dinas Pendidikan Indragiri Hilir. “Sudah dua kali saya menjumpai beliau,” kata Khaidir tentang Nursyah Fajar, Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Menengah Pertama di Dinas Pendidikan, yang ia temui.
Nursyah mengaku masih ingat kejadian itu. Khaidir kukuh dengan pendiriannya. Namun Fajar memiliki penilaian lebih terhadapnya. Menurut Nursyah, usia Khaidir yang muda memudahkan dia untuk mobilisasi dalam menghadiri lokakarya guru penggerak. “Khaidir juga orang yang supel, mudah berbaur dengan guru-guru lain,” tutur Nursyah saat dihubungi pada Selasa, 6 Desember lalu.
•••
KHAIDIR mengikuti program Pendidikan Guru Penggerak angkatan 1. Pendidikan itu berlangsung pada 13 Oktober 2020-28 Agustus 2021. Khaidir mengaku mengikuti pelatihan sebagai guru penggerak setelah mendapat informasi tentang program tersebut dari Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan di situs Kementerian. “Ketika ada undangan di sistem itu, saya langsung mencobanya,” ujar Khaidir.
Awalnya, dia mengikuti program ini dengan rasa skeptis karena tak pernah diikutsertakan dalam pelatihan guru. “Ketika ngajar di Pekanbaru saya selalu ikut pelatihan setiap bulan. Di sini saya tidak mendapatkan itu,” ucapnya. Menurut dia, program Pendidikan Guru Penggerak ini akan membuka peluang baginya untuk mengikuti pelatihan, bahkan untuk guru lain.
Setelah berhasil lulus sebagai Guru Penggerak, Khaidir mengubah paradigmanya ketika mengajar di kelas. Menurut dia, guru tidak boleh lagi memberikan pembelajaran satu arah kepada siswa. “Guru tidak lagi menjadi diktator ketika mengajar,” katanya. Bagi dia, tugas guru adalah menuntun tumbuh-kembang potensi setiap murid. “Murid seakan terlepas dari kekangan. Bebas mengungkapkan unek-unek dalam dirinya,” Khaidir menjelaskan.
Ia juga menerapkan pola pembelajaran dengan metode diskusi. Tampak di setiap kelas yang diajar Khaidir, murid duduk berkelompok. Ada empat kelompok di tiap kelas. Setiap kelompok terdiri atas delapan siswa. Khaidir sebagai guru menjadi pemantik diskusi untuk para murid. “Ini berguna untuk melatih siswa dalam menyampaikan argumen,” tutur Khaidir.
Dengan cara itu, Khaidir mendapatkan tempat di hati muridnya. Seperti Kasih Franciska Hardiansyah. Ia murid baru di SMPN 1 Pulau Burung, sekarang duduk di kelas VII dan bercita-cita menjadi dokter. Kasih pada awalnya tipikal siswa yang pemalu. Ia tidak cukup berani menyampaikan pendapatnya ketika berada di kelas. “Tapi, sejak masuk sini, Kasih mulai berani menyampaikan pendapat di kelas,” katanya.
Kasih mengaku Khaidir memotivasinya untuk berani mengemukakan pendapat. “Pak Khaidir selalu bilang kita harus selalu berani menunjukkan kemampuan yang ada dalam diri,” ia menjelaskan. Sekarang Kasih sudah tidak malu lagi bertanya ihwal pelajaran yang tidak dimengerti. Anak perempuan itu sudah mendapatkan ruang aman untuk berbicara di dalam kelas.
Khaidir selalu melakukan pendekatan emosional kepada siswanya. Ia tak ingin menggunakan cara kasar dan memakai kontak fisik. Ketika menjumpai siswa yang bermasalah, ia akan mengajak murid itu menceritakan kendalanya. Jasri, ketua komite sekolah, mengaku pernah melihat Khaidir berbincang dengan siswa yang sedang merokok. “Anehnya, siswa itu langsung mematikan rokoknya dan tak pernah terpantau lagi siswa itu merokok. Salut saya kepadanya,” ucap Jasri.
Berkaca dari kondisi sosial, Khaidir menjelaskan, apa yang dilakukan akan menambah nilai bagi sekolahnya. “Kalau saya melakukan ini dengan kondisi lingkungan seperti di kota besar, mungkin orang pusat tidak melirik sekolah kami,” ucap Khaidir. Baginya, menjadi seorang guru tak ada bedanya dengan seorang aktor. Guru akan menjadi panutan bagi muridnya. “Di situ seninya menjadi seorang guru,” dia menambahkan.
GERIN RIO PRANATA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo