Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi dituding melakukan politik dinasti atau politik keluarga dalam sepekan terakhir. Tuduhan itu hari-hari ini menjadi sorotan seiring masuknya dua putranya, Kaesang Pangarep ke Partai Solidaritas Indonesia dan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto untuk Pilpres 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majunya Gibran sebagai cawapres inilah yang membuat Jokowi diisukan atau disebut-sebut mempraktikkan politik dinasti.
Pasalnya, ipar Jokowi, Anwar Usman selaku Ketua MK dinilai membuat keputusan untuk memuluskan jalan keponakannya maju di Pilpres 2024. Gibran sempat terhalang syarat minimal usai capres-cawapres 40 tahun. MK lalu memutuskan, kepala daerah boleh mencalonkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut MK telah melanggengkan politik dinasti dengan putusan terhadap gugatan batas usia capres cawapres tersebut. Sebab, menurut dia, keputusan itu sangat mengakomodasi kepentingan putra Jokowi, Gibran untuk maju dalam Pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, hal ini jauh lebih parah ketimbang era Orde Baru.
“Meneguhkan politik dinasti yang bahkan sudah jauh lebih parah dari zaman Soeharto,” ujar Bivitri dalam seminar daring bertajuk ‘Ancaman Politik Dinasti Menjelang Pemilu 2024?’, Ahad, 15 Oktober 2023.
Sementara itu, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan putusan MK soal batas usia capres-cawapres membuka penyempurnaan pintu dinasti politik Jokowi. Ubedilah mengatakan putusan MK tersebut menguntungkan seluruh kepala daerah atau mantan kepala daerah. Tapi untuk Pemilu 2024, kata dia, yang paling diuntungkan adalah Gibran
“Dengan putusan itu, terbuka pintu untuk anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk bisa menjadi bakal calon wakil presiden,” kata Ubedilah melalui keterangan tertulis, Senin, 16 Oktober 2023.
Bagaimana reaksi keluarga Jokowi? Gibran Rakabuming Raka, menjawab soal isu politik dinasti yang dituduhkan kepada keluarganya usai putusan Mahkamah Konstitusi memungkinkan dia maju dalam Pilpres 2024. Gibran menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju.
"Biar warga yang menilai ya," kata Gibran saat menghadiri acara deklarasi dukungan bertajuk Indonesia Memanggil Gibran di Tugu Proklamasi, Pegangsaan, Jakarta Pusat pada Sabtu, 21 Oktober 2023.
Saat ditanya lagi soal hal tersebut, Gibran hanya mengucapkan terima kasih sambil menelungkupkan kedua tangannya di dada. "Makasih ya," ucapnya.
Politik dinasti dalam sistem ketatanegaraan
Dilansir dari laman Mkri.id, politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik ini identik dengan kerajaan atau monarki. Sebab, kekuasaan biasanya diwariskan secara turun temurun. Dengan demikian kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Kendati begitu, dewasa ini, politik dinasti masih dapat ditemukan di negeri dengan sistem pemerintahan demokratis.
Dinukil dari Jurnal Moderat berjudul Politik Dinasti Dalam Perspektif Demokrasi oleh Agus Dedi, citra politik dinasti sangat kuat mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang kurang baik. Seperti, mengedepankan kepentingan keluarga, menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan demi tercapainya keuntungan pribadi atau golongan. Sehingga, berimplikasi pada terciptanya pemerintahan tak berkualitas.
Mosca sebagaimana dikutip Gun-Gun Heryanto dalam bukunya Literasi Politik: Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi mengungkapkan, munculnya dinasti dalam politik karena tindakan elite-elite politik cenderung mewariskan posisi kekuasaan politiknya kepada generasi penerusnya. Proses pewarisan kekuasaan politik ini terjadi oleh posisi politik yang terbuka. Hal ini dimanfaatkan untuk mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan politik keluarga.
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan merupakan gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial. Sistem ini mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik,” katanya, dikutip dari laman Mkri.id
Oleh karena itu, dinasti politik harus dilarang dengan tegas. Karena, makin maraknya praktik politik dinasti ini di berbagai pemilihan umum, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, kata dia, maka akan kian marak pula korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | NUR KHASANAH APRILIANI | DANIEL A. FAJRI | RIRI RAHAYU | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
Pilihan editor: Dinasti Politik-di Sistem Pemerintahan Demokrasi: Ini Sejarah Munculnya Demokrasi