Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menyoroti dominasi politik dinasti di kalangan anggota DPR muda. Dia menyebut fenomena ini sebagai tantangan bagi demokrasi Indonesia ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Felia, politik dinasti yang muncul akibat privilege dari keluarga berpengaruh memang sulit dihindari saat ini. Namun, dia menekankan bahwa seharusnya demokrasi tetap memberikan ruang bagi proses kaderisasi yang terbuka, transparan, dan akuntabel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di mana pemimpin muda dapat naik ke panggung politik berdasarkan kapasitas, kiprah, kinerja, pengalaman dan rekam jejak," katanya dalam keterangan tertulis pada Senin, 7 Oktober 2024.
Dia menyebut, privilege memang jadi faktor yang mempermudah jalan beberapa individu menuju kekuasaan. Namun, hal ini sering kali menyederhanakan proses demokrasi yang seharusnya lebih kompleks.
"Seperti pentingnya kaderisasi dari bawah, yang kemudian berimplikasi pada pengalaman kader, kiprah, dan karir politik yang bersangkutan."
Idealnya, kata dia, regenerasi politik seharusnya tidak hanya didominasi oleh mereka yang berasal dari keluarga elite. Akan tetapi, juga berisikan masyarakat secara umum. Terutama bagi yang punya kapabilitas dan keterampilan politik, jaringan, pengalaman, serta kiprah yang mumpuni.
Pada periode 2024-2029 ini, Felia menuturkan ada 43 anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang berusia antara 21 hingga 30 tahun. Dari jumlah tersebut, sebesar 76,7 persen atau 33 orang di antaranya terafiliasi dengan dinasti politik.
Dua di antara anggota dewan termuda DPD adalah Larasati Moriska yang berusia 22 tahun dan anggota DPR Annisa Maharani Alzahra Mahesa 23 tahun. Keduanya juga tercatat memiliki latar belakang keluarga yang telah berkecimpung di dunia politik sebelumnya.
Felia khawatir bahwa dominasi dinasti politik bisa menghambat perkembangan politik yang lebih terbuka dan adil. Demokrasi yang sehat, kata dia, membutuhkan keberagaman ide dan latar belakang di antara para pemimpinnya.
"Jika dinasti politik terus mendominasi, peran dan fungsi partai politik dalam menghasilkan calon pemimpin juga harus dipertanyakan," ujarnya.
Dia melanjutkan, reformasi kelembagaan partai politik penting agar parlemen tetap inklusif, relevan, dan akuntabel. Selain itu, dia menekankan bahwa publik perlu waspada terhadap potensi melemahnya inovasi politik dan keterlibatan yang lebih luas dari masyarakat umum.
"Terutama jika dinasti politik dan lembaga perwakilan rakyat kita semakin membatasi proses demokratis dalam kerja-kerjanya,” katanya.
Felia menilai, kehadiran anggota parlemen muda seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Khususnya, dalam memperjuangkan aspirasi generasi muda dan mewujudkan Indonesia Emas 2045. Namun, tingginya persentase keterlibatan dinasti politik dianggap memunculkan tantangan dalam menciptakan regenerasi politik yang lebih inklusif dan adil.
Dia menekankan, diskursus soal politik dinasti tidak pernah menyasar pada sosok personal. Bagi Felia, politik dinasti harus dikritisi karena sering kali memangkas proses demokrasi yang mestinya berjalan sesuai mekanisme. Selain itu, dinasti politik juga dinilai berpotensi melanggengkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Kita tidak bicara soal siapa orangnya, melainkan soal sistem yang melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian terhadap prinsip meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas," tutur Felia.