Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI benderanya, nama Front Kedaulatan Maluku berkibar di langit belakangan ini. Salah satu faksi dalam konflik berdarah di Maluku itu menggelar perayaan besar pekan lalu. Mereka menancapkan bendera Benang Rajabendera empat warna milik Republik Maluku Selatan (RMS)di mana-mana. Tak hanya di pohon kelapa atau durian. Lebih spektakuler, mereka bahkan menerbangkannya dengan balon gas ke udara.
Perayaan hari jadi RMS itu, 25 April, lebih luas dibanding tahun lalu. Sementara tahun lalu bendera hanya dikibarkan di lingkungan dekat sang Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM), Alex Manuputty, pekan lalu bendera RMS itu berkibar hampir di seluruh wilayah Ambon: di kawasan Telaga Raja, Kuda Mati, Passo, Kompleks SMA Xaverius, Desa Aboru, dan Ulalihu.
Waktu pengibarannya pun tak hanya sehari. Sabtu siang pekan lalu, masyarakat Ambon kembali melihat kibaran bendera RMS dan balon gas bergambar bendera tersebut. Situasi kembali mencekam ketika aparat menembaki balon gas.
Perayaan tahun ini juga ditandai ke-rusuhan dan demonstrasi besar yang memaksa Polda Maluku menangkap dua tokoh, Ketua FKM Alex Manuputty dan Pemimpin Yudikatif FKM Semmy Waeleruny. Alex sudah ditahan sebelum aksi pengibaran bendera, sementara Semmy pada 24 April lalu. Mereka didakwa melakukan kejahatan terhadap negara atau makar, dan melanggar surat keputusan Gubernur Maluku tentang larangan pengibaran bendera. Bersama mereka, 23 orang lain juga ditangkap dan sedang dalam pemeriksaan intensif polisi.
Semmy membantah keras tuduhan makar. Dia mengatakan, "FKM adalah gerakan moral memperjuangkan moral dan perdamaian." Dia juga menolak keras tuduhan bahwa organisasinya punya hubungan dengan RMSgerakan yang pada awal kemerdekaan ingin memisahkan diri dari Indonesia dan sampai 1970-an, dipelopori oleh orang-orang Maluku di Negeri Belanda, masih memperjuangkan kemerdekaan yang sama.
"Generasi RMS sekarang sudah tidak punya kekuatan, baik di Maluku maupun di Belanda," kata Semmy. "Mereka juga terbelah menjadi tiga, bahkan empat, kelompok dengan perjuangan sendiri-sendiri." Perjuangan FKM, menurut Semmy, murni mengembalikan sejarah masa lalu orang-orang Maluku, yang pernah tertindas. Tanpa senjata, dan setiap kegiatan dilakukan terang-terangan. "Itu letak beda perjuangan FKM dengan RMS," katanya.
Jika benar begitu, Semmy dan kawan-kawan tampaknya telah keliru meng-ambil simbol dan bendera. Sejak FKM diproklamasikan pada akhir tahun 2000, orang tak sulit mengidentikkannya dengan RMS. Mereka memakai bendera, lambang, dan semboyan RMS. Ketika kerusuhan pertama meledak di Ambon pada Idul Fitri 1999, aksi bumi hangus disertai corat-coret tulisan berjudul "Inilah RMS". Para pendukung FKM juga meneriakkan yel-yel terkenal, "Menamuria"salam kemerdekaan RMS dalam bahasa Alifuru. Salam ini juga digunakan tokoh RMS lama, Soumokil, dalam penutup suratnya ke Konferensi Jenewa pada 2 April 1954.
Kerusuhan pada 1999 itu menandai konflik berdarah Islam-Kristen hingga sekarang, yang telah menewaskan ribuan orang dan mengirim puluhan ribu orang menjadi pengungsi.
Ayip Syafruddin, Ketua Forum Komunikasi Ahlus-sunnah Wal Jamaah, sebuah organisasi pembela kelompok Islam, menuding FKM terlibat dalam memicu pertikaian di Ambon. Menurut Ayip, akar konflik di Maluku bukanlah kebencian Islam versus Kristen seperti diyakini banyak orang selama ini, melainkan isu politik separatisme yang dibungkus sentimen agama. Nasir Rahwarin, Sekretaris Badan Imarat Muslim Maluku, mem-benarkan hal itu. "Sejak awal 1999, gerakan ini sudah muncul ke permukaan," katanya.
Menurut Ayip, generasi RMS sekarang lebih cerdik. Sementara Soumokil me-masukkan kekuatan bersenjata dalam struktur organisasinya, Alex, pegawai Kanwil Departemen Kesehatan Maluku, menghindarinya. Mengusung organisasi gerakan moral dan tanpa senjatase-tidaknya menurut pengakuan merekamembuat aparat keamanan tak punya alasan kuat melakukan tindakan represif.
Mereka, kata Ayip, juga menyusup melalui gereja-gereja. Semmy Waeleruny, misalnya, adalah juga ketua tim peng-acara gereja. "Gereja, sadar atau tidak, dijadikan kuda tunggangan kelompok itu," kata Ayip. Karenanya, dia meminta pihak gereja memberi pernyataan tegas soal apakah mereka memang terlibat atau tidak.
Pendeta John Ruhulessyn, Ketua Umum Pengurus Besar Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku, mengatakan bahwa kelompok FKM itu sangat kecil dan umat Kristen tak mendukungnya. Sinode Gereja Protestan Maluku pun menolak gerakan separatis dan tetap mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Itu harga mati dari umat Kristen," katanya.
Pangdam XVI Pattimura, Brigjen TNI Mustopo, mengatakan masih mengumpulkan data dan bukti apakah organisasi ini memang menjadi api penyulut ke-rusuhan berdarah di Maluku. Toh, dia mengakui, meski kecil, "Organisasi ini sangat berbahaya dan memiliki jaringan sistematis sampai ke luar negeri." Be-berapa perwakilannya, terutama dari Inggris dan Jerman, sudah menyatakan akan menghadiri upacara pengibaran bendera April ini. Mereka batal datang karena larangan pemerintah lokal.
Keberhasilan FKM mengibarkan ratusan bendera menunjukkan bahwa organisasi ini tak bisa dianggap remeh. Kelompok-kelompok Islam menilai, aparat terlalu lunak menghadapi kelompok FKM dalam kasus pengibaran bendera sepanjang Jumat. Ini pula mungkin yang menyebabkan pengibaran bendera masih terjadi Sabtu siang keesokan harinya.
Yang jelas, ini merupakan tantangan besar bagi pemerintahan Megawati Sukarnoputri. Mencari akar kisruh Maluku adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan konflik berdarah yang telah memakan ribuan nyawa selama empat tahun terakhir itu. Perjanjian Damai Malino II tak ada artinya tanpa kesediaan untuk melihat apa yang terjadi di akar rumput serta tanpa bertindak adil sesuai dengan prosedur hukum terhadap siapa saja, kelompok Islam ataupun Kristen, yang melanggarnya.
Leanika Tanjung, Friets Kerlely, Yusnita Tiakoly (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo