PERAMU musik di diskotek alias disk jockey adalah pekerjaan yang banyak diminati kaum remaja disko. Dan sebagian besar pekerjaan di tempat hiburan anak muda itu sudah dipegang disk jockey (DJ) lokal yang memang tangkas. Tapi ada pula yang masih mempekerjakan orang asing. Sebut saja Stardust Discotheque di Mabes atau Mangga Besar, Jakarta. Diskotek ini punya dua DJ asing, Adam Jagwani dan Omar Mansor, warga Malaysia. Kehadiran tenaga kerja asing selalu menarik perhatian dan kritik. Apalagi di tengah hiruk-pikuk 12 juta penganggur Indonesia yang berebut pekerjaan yang sesak ini. Tenaga asing, kata Cosmas kepada TEMPO, "Hanya jabatan-jabatan yang selektif dan belum terdapat di Indonesia, serta punya dampak perluasan kesempatan kerja di dalam negeri." Dengan pembatasan itu, di atas kertas tenaga asing tentu tak gampang beroperasi di sini. Karena itu, kata Cosmas, yang bekerja disini sejak 1984 diperkirakan tak lebih dari 20.000, kurang dari 0,01% dari 82 juta angkatan kerja. Angka persentase memang kecil. Tapi kehadiran pekerja asing di sini selalu saja mengundang tanda tanya. Bukan cuma DJ seperti Adam dan Omar yang dianggap piawai meramu lagu didiskotek itu. Tapi ada penyanyi klub malam, wanita penghibur, guru bahasa asing, pemandu wisata, koki hotel, usahawan art shop, atau pekerjaan lain yang dianggap merebut lahan tenaga Indonesia. Kehadiran tenaga made in luar negeri itu sering dijadikan daya tarik tersendiri oleh para usahawan untuk mendapatkan uang. Dengan mengiklankan penyanyi Filipina atau penari striptis Bangkok di suatu tempat hiburan malam tentu diharapkan pengunjung tertarik. Atau tempat kursus akan semakin laris dengan menampilkan sederet nama native speaker sebagai pengajar. Duit memang sering mengabaikan pagar pembatasan tenaga asing itu. Ada yang menerobosnya dengan memanfaatkan visa berdiam sementara. Atau "memberi sambilan" bagi para pengunjung wisata, tanpa harus mengurus izin bekerja di sini. Mereka yang melanggar aturan ini, kalau ketahuan, langsung dideportasi. Tahun ini, dalam catatan Ditjen Imigrasi, 24 orang digiring keluar Indonesia. Mereka tergolong nekat bekerja. Padahal 13 orang cuma punya kartu izin menetap sementara (KIMS), tanpa izin bekerja, dan empat orang bahkan cuma memanfaatkan bebas visa yang berusia dua bulan itu. Dari yang terusir itu sepuluh orang Filipina dan delapan orang Malaysia. Sesuai dengan ketentuan, tenaga kerja asing terdiri atas yang punya izin sementara dan permanen. Izin sementara diberikan Menteri Tenaga Kerja untuk pekerjaan yang bersifat sementara, seperti melayani purna jual, memasang atau memperbaiki mesin, atau melakukan pekerjaan bersifat sementara atau mendesak. Sedangkan yang permanen adalah mereka yang mendapat izin untuk jangka waktu tertentu pada bidang pekerjaannya. Untuk mendapat izin tersebut tentu saja mereka harus punya kartu izin menetap sementara (KIMS) serta rekomendasi dari departemen teknis yang membawahkan bidang pekerjaannya. Izin bagi tenaga asing itu tentu disesuaikan dengan jabatan atau pekerjaan yang terbuka bagi mereka. Untuk jabatan pimpinan, yang meliputi sekitar 13% dari hampir 20 ribu tenaga asing di sini, dibatasi hanya mereka yang benar-benar mewakili kepentingan pemilik modal atau pemegang saham. Sedangkan pekerjaan profesional yang menduduki urutan ter besar (16% lebih) adalah untuk jabatan yang memerlukan tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi teknis tertentu. Yang juga tergolong besar jumlahnya adalah teknisi (18%), yakni tenaga yang punya tingkat pengetahuan dan keterampilan atas pekerjaan teknik tertentu. Adapun tenaga operator (12%) adalah untuk mereka yang punya pengalaman dan tingkat keterampilan tertentu untuk meng- gunakan peralatan. Kehadiran tenaga teknis dan operator tampaknya tak lepas dari masih kurangnya tenaga terampil Indonesia pada bidang pekerjaan tertentu. Tenaga las bawah air, misalnya, tergolong langka sehingga masih perlu bantuan dari luar negeri. Begitu pula teknisi dan operator di tempat pengeboran minyak atau pertambangan. Untuk pekerjaan tertentu masih perlu mendatangkan tenaga asing. Kecuali kelangkaan tenaga terampil Indonesia, juga sering didatangkan teknisi asing untuk melayani purnajual mesin yang dibeli perusahaan di Indonesia. Sebut saja James C. MacGregor, teknisi instalasi dari Measurex Asia Inc., sebuah perusahaan pembuat mesin penghasil plastik film yang bermarkas di California. Selama tiga bulan di Surabaya, ia diberi tugas memasang sistem kontrol untuk mesin yang dibeli PT Trias Sentosa di Waru, Sidoardjo, Jawa Timur. MacGregor tentu tak perlu repot dengan izin. "Semua sudah diurus perusahaan. Saya tinggal bekerja saja," katanya kepada TEMPO. Dari pangkalannya di Hong Kong, MacGregor beberapa kali masuk Indonesia untuk memasang mesin yang dijual perusahaannya. Ahli elektronik digital itu pernah memasang mesin penggulung aluminium di PT Alumindo Surabaya (1990). Setahun kemudian ia balik lagi ke perusahaan itu untuk memasang mesin serupa. Kecuali melayani pemasangan mesin, ada pula yang diberi tugas di sini karena jaringan bisnis internasional. Gabek Patrice, warga negara Prancis, kini mempunyai posisi serupa di Hotel Hilton Jakarta, membawahkan 350 koki. "Saya bertanggung jawab atas semua hidangan, dan melatih koki baru," katanya. Ia tak menutup kemungkinan kursinya dipegang orang Indonesia. "Mereka perlu diberi tugas dulu di luar negeri untuk mendapat pengalaman internasional," kata Patrice yang sebelumnya sempat bertugas di Hilton beberapa negara. Yang juga punya jaringan bisnis internasional adalah jasa konsultan. Price Waterhouse, sebuah perusahaan konsultan dibidang bisnis akuntansi, pajak, dan manajemen, punya kantor di hampir semua kota besar dunia. Perusahaan yang didirikan di Inggris 1845 itu masuk Indonesia 1971. Di Jakarta, Price Waterhouse mempekerjakan sekitar 50 orang staf, sepuluh orang adalah expatriate. Alasannya, ada beberapa proyek yang memang mensyaratkan ada konsultan tenaga asing itu. "Misalnya proyek Bank Dunia atau ADB dalam term of reference-nya selalu mewajibkan ada konsultan expatriate," kata Marina S. Tusin, Associate Director Price Waterhouse. Dalam soal kemampuan, staf lokal dan luar negeri nyaris tak ada beda. "Staf profesional kami juga sering dimintai oleh proyek di luar negeri. Jadi kita tukar menukar saja," katanya. Yang membedakan cuma gaji dan fasilitas. Gaji tenaga asing antara US& 3.500 dan US$ 5.000 plus kontrak rumah US$ 2.000 per bulan, mobil, dan sekolah bagi anak-anaknya. Sedangkan staf lokal 25% lebih rendah, tanpa tunjangan rumah dan mobil. Kecuali punya kaitan dengan perusahaan di luar negeri, ada pula yang "terpaksa" mempekerjakan tenaga asing karena belum ada orang Indonesia yang punya keahlian. PT Wisata Tirta Agung di Bali, yang bergerak di bidang wisata rafting (berakit di kali) dan petualangan, mempekerjakan dua instruktur warga negara Inggris, Nick Blackbeard dan Dhiv Hekmann. Keduanya, kata Agus Susantho, direktur perusahaan itu, ditugasi oleh pemberi lisensi, Sobek Expedition, yang bermarkas di California. Tugasnya, kecuali mendampingi wisatawan menyusuri Sungai Ayung dengan perahu di Balidengan tarif US$ 57 per orang, keduanya juga melatih 15 instruktur lokal. Kini perusahaan wisata itu sedang mempersiapkan objek berakit-rakit di Sungai Sadang, Toraja. Gaji pokok Nick dan Dhiv masing-masing US& 2.000, belum termasuk tunjangan dan bonus. Untuk menarik pelanggan di luar negeri, perusahaan yang bergerak di bidang hukum pun tak ketinggalan memakai tenaga asing. Corporate Law MKK, yang didirikan Mochtar Kusumaatmadja, Komar Kantaatmadja dan Karuwin pada 1971, kini punya tiga pengacara asing, yakni Frank Morgan, Thomas Goin, dan Roonald Baker. Menurut D. Sidik Suraputra dari MKK, "Secara psikologis klien kami yang kebanyakan dari para pengusaha atau investor asing merasa lebih srek berkonsultasi dengan lawyer sebangsanya." Lagi pula ada perbedaan sistem hukum antara civil law yang didasarkan pada undang-undang yang dianut Eropa dan Indonesia, dan common law (dianut Amerika, Malaysia, Singapura) yang bertolak dari kebiasaan. "Para pengusaha Amerika sering tak mengerti hukum Indonesia. Jadi perlu ada lawyer yang paham hukum Indonesia dan Amerika," kata Sidik. Tentu saja dalam praktek, katanya, terjadi alih kemampuan. "Setiap kali pengacara asing kami berhubungan dengan klien, mereka harus didampingi oleh pengacara Indonesia," katanya. Sektor jasa, seperti pengacara, konsultan, dan pemandu wisata, dalam deretan bidang pekerjaan yang diisi tenagaasing memang tergolong tinggi (sekitar 12%). Walau masih dibawah peringkat pertama, yakni sektor pertambangan dan penggalian yang 25% lebih diikuti sektor pertanian dan industri pengolahan sekitar 15%. Demikian pula dengan negara asal. Jumlah terbesar bukan datang dari Cina, yang bekerja melayani purna jual mesin di PT Indah Kiat sebanyak 660 itu. Menurut catatan, Amerika yang menduduki peringkat pertama, sekitar 3.000 (15%) tenaga kerja. Urutan berikutnya ditempati Jepang (9%), Inggris (7%), dan Australia (6,5%). Dan jumlah keseluruhan tenaga kerja yang mendapat izin pun tampak kian susut dari tahun ke tahun. Total tenaga kerja asing pada tahun 1990 sekitar 29 ribu, turun sedikit menjadi 28, 8 ribu pada tahun 1991, dan tahun ini tak lebih dari 20 ribu. Mereka secara bertahap, menurut peraturan, akan dipulangkan. Tapi, menghadapi dunia yang semakin terbuka di masa datang, bisakah soal tenaga kerja asing ini dibendung dengan pagar-pagar peraturan dan rasa nasionalisme yang sempit? A. Margana, Leila S. Chudori, Sri Wahyuni, Liston P. Siregar (Jakarta), Kelik M. Nugroho (Surabaya), Putu F. Arana (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini