MENTERI Dalam Negeri Rudini tampak lebih sibuk akhir-akhir ini. Ia terus-terusan didatangi para tamu yang terdiri dari pimpinan DPRD, atau utusan masyarakat daerah. Soalnya, sekarang sedang musim penggantian gubernur. Sampai pekan ini yang sudah beres agaknya baru Timor Timur. Sidang DPRD Timor Timur Kamis pekan lalu memberikan suara terbanyak -- 33 suara dari 45 suarayang ada -- kepada Abelio Jose Osorio Soares, Bupati Manatutu, Timor Timur. Dua saingan Abelio masingmasing cuma memperoleh empat suara. Pekan ini Abelio dilantik Rudini menjadi gubernur Timor Timur, menggantikan Mario Viegas Carrascalao yang tak bisa lagi dicalonkan karena telah menjabat gubernur di sana untuk dua masa jabatan. Terpilihnya Abelio bisa disebut sebagai hasil maksimal di Timor Timur. Soalnya, loyalitas bekas tokoh Apodeti -- dulu partai pendukung integrasi Timor Timur dengan Indonesia -- itu terhadap Republik tak diragukan. "Dia itu orang Merah Putih," kata seorang pejabat di sana kepada Ruba'i Kadir dari TEMPO. Soal yang satu ini dianggap penting dengan kondisi Timor Timur sekarang, terutama setelah meletusnya peristiwa Dili 12 November tahun lalu. Selain itu Abelio adalah putra Timor Timur, seperti halnya Carrascalao. Ini menghapus kekhawatiran sementara tokoh masyarakat daerah itu, kalau-kalau pengganti Carrascalao bukan seorang putra daerah. Sebelumnya pernah bertiup isu bahwa Brigjen A.B. Saridjo, kini Wakil Gubernur Timor Timur, merupakan calon kuat. Ternyata nama jenderal asal Solo itu tak terdaftar dalam daftar calon gubernur. Selain Timor Timur ada empat daerah lain yang bersiap-siap memilih gubernur baru: Maluku, Sulawesi Tenggara, DKI Jakarta, dan Sumatera Barat. Untuk Maluku persoalan tampaknya sudah hampir rampung. Gubernur Brigjen Sabastianus Sukoso, walau baru menjalani satu kali masa jabatan, tak lagi tampil. Masa jabatannya berakhir pekan depan. Maka sejumlah calon bermunculan. Bakal calon terkuat, menurut pengamatan TEMPO, adalah M. Acib Latuconsina, kini Wakil Gubernur Maluku. Kemudian L.H. Tanasale, Sekwilda provinsi itu. Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto juga sama dengan Sukoso. Meski baru lima tahun menjabat, Wiyogo, yang mengakhiri masa jabatannya 6 Oktober nanti, takakan tampil sebagai kandidat. Di sini pun bermunculan begitu banyak nama bakal calon. Dalam rapat pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi, Senin pekan ini, disepakati lima calon. Mereka: Ahmadi, bekas ketua DPD Golkar Jakarta Wakil Gubernur Basofi Sudirman pengusaha Probosutedjo M. Sanif, pemuka masyarakat Betawi dan bekas Pangdam Jaya Suryadi Sudirja. Tapi, nampaknya calon kuat adalah Suryadi, yang kini menjabat Asisten Politik ABRI. Yang masih repot tampaknya adalah Sulawesi Tenggara. Masa jabatan Gubernur Alala berakhir pekan depan. Tapi sampai pekan lalu, fraksi-fraksi di daerah itu belum punya nama bakal calon yang bisa disepakati bersama. Karena waktu sudah mepet, menurut sumber TEMPO, mungkin terpaksa ditunjuk seorang pejabat Departemen Dalam Negeri untuk menjadi care taker gubernur, pengganti Alala,yang tugas pokoknya melaksanakan pemilihan gubernur baru. "Tapi soal itu tergantung presiden, karena penunjukan care taker gubernur adalah wewenang presiden," kata sumber yang sama. Namun suasana yang paling ramai terjadi di Sumatera Barat. Berbagai utusan dan delegasi dari Padang bermunculan ke Jakarta. Ada kelompok yang mendukung Hasan Basri Durin, gubernur sekarang, dan banyak pula kelompok penentangnya. Semula tampaknya semua tenang-tenang saja. Hasan Basri Durin, 57 tahun, yang melepas jabatannya akhir Oktober nanti, tak akan lagi muncul sebagai calon. Soalnya, ada pernyataan Menteri Rudini, kepala daerah itu cukup menjabat satumasa jabatan, kecuali ada pertimbangan khusus. Misalnya, karena prestasi sang gubernur yang menonjol, sehingga ia masih amat dibutuhkan di daerahnya. Banyak orang melihat prestasi Durin biasa-biasa saja. Dulu Sumatera Barat mendapat penghargaan Parasamya. Di zaman Durin penghargaan sejenis tak lagi singgah. Malah Bulkaini, Ketua MKGR Sumatera Barat, berpendapat bahwa Sumatera Barat tak mengalami kemajuan apaapa selama lima tahun di bawah Durin. Itu dinilainya karena kepemimpinan Durin yang kurang komunikatif dengan masyarakat maupun dengan para stafnya. "Jangankan masyarakat, stafnya saja sulit menjabarkan keinginan gubernur itu," ujar Bulkaini kepada TEMPO. Kemudian situasi bergerak ke arah lain ketika beberapa bulan lalu berlangsung musyawarah pembangunan Sumatera Barat di Jakarta, yang dihadiri para bupati dan pejabat penting di provinsi itu. Tak ketinggalan para pejabat tinggi asal Minang, seperti Menteri Emil Salim, Bustanil Arifin, dan Azwar Anas. Di akhir musyawarah, hasil yang dibacakan tak semata soal urusan pembangunan, ada pula harapan agar Hasan Basri Durin dijadikan gubernur untuk priode kedua. Selain itu di Sumatera Barat beredar kabar bahwa Menteri Bustanil Arifin mendukung Durin. Tak kepalang tanggung, menurut kabar itu, Bustanil sempat menulis surat kepada Presiden: mohon agar masa jabatan Durin bisa dua kali. Menurut Sekretaris Golkar Sumatera Barat S.M. Thaufiq Thaib, surat Bustanil Arifin itu tak dibuat atas nama jabatannya sebagai menteri, melainkan sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar yang wilayah koordinasinya mencakup Sumatera Barat, sehingga bisa terkesan mencampuri urusan menteri dalam negeri. "Masih relevan Pak Bus ikut mengajukan permohonan itu, sebagai imbalan atas sukses Golkar di Sumatera Barat dalam Pemilu yang lalu," kata Thaufiq Thaib. Tapi bukan cuma itu soalnya. Tanpa berkonsultasi dengan menteri dalam negeri, pimpinan DPRD Sumatera Barat sudah mengumumkan Hasan Basri Durin sebagai calon mereka. Padahal, menurut sumber di Departemen Dalam Negeri, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam mengatur pemilihan gubernur, menyebutkan bahwa nama-nama bakal calon gubernur harus lebih dulu dikonsultasikan oleh pimpinan DPRD dengan menteri dalam negeri. Undang-undang ini pula yang menegaskan bahwa gubernur itu adalah orang Pusat, sekaligus juga orang daerah. Karena itu konsultasi tadi diperlukan, dan setelah itu barulah pemilihan bakal calon dilakukan DPRD. Hasilnya dikirim kepresiden melalui menteri dalam negeri. Akhirnya, presidenlah yang punya wewenang mengangkat seorang gubernur. Lantas bagaimana sikap Rudini? Tampaknya ia keberatan dengan cara-cara yang sudah ditempuh Durin. Pekan lalu Rudini menegaskan bahwa departemennya akan menolak setiap calon gubernur yang direkayasa oleh orang-orang di Pusat, yang disebutnya sebagai calon dropping. "DPRD harus menemukan aspirasi murni masyarakatnya, itulah yang mereka sidangkan," katanya. Nah, Durin pun seperti pelanduk di antara dua gajah. Sementara ini kelompok orang awak yang anti dan pro-Durin, apakah yang berada di Sumatera Barat atau di Jakarta, saling mememasang kuda-kuda untuk memenang kan jagonya. Berbagai fotokopi surat yang isinya saling memojokkan lawan pun beredar. Tak aneh kalau situasi politik di Ranah Minang itu sedikit memanas. Amran Nasution, Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini