RANCANGAN lapangan golf Jack William Nicklaus harganya Rp 2,4 milyar. Atau 1,2% dari total investasi padang golf dikompleks Bumi Serpong Damai, Tangerang, yang nilainya Rp 200 milyar itu. Padang golf itu seluas 80 hektare, dengan 18 hole, dan 72 par, dengan panjang keseluruhannya hampir 6,5 kilometer. "Saya pilih Jack Nicklaus karena belum ada satupun desainer Indonesia yang mampu merancang padang golf bertaraf internasional," ujar Ciputra, pemilik proyek raksasa itu. Bayaran buat Jack Nicklaus besarnya dua kali lipat daripada yang dibayarkan Ciputra kepada desainer internasional lainnya, Robert Trend Jones, yang meng- garap padang golf dikompleks Pantai Indah Kapuk, yang juga proyek Ciputra. Selain mendatangkan Nicklaus dan Jones, Ciputra juga mendatangkan beberapa tenaga ahli untuk mengukir permukaan -- padang golf itu dengan traktor, yang dibayar Rp 15 juta sebulan. "Ini proyek internasional. Saya tak mau ambil risiko," ujar Ciputra. Pekerjaan Nicklaus di Bumi Serpong Damai sudah rampung, bulan lalu. Damai Indah Golf, nama padang golf itu, berbentuk stadium atau hiperbola, bagai tangan tengadah: sebuah -- desain yang konon langka di dunia. Nicklaus, 52 tahun, sudah menciptakan puluhan lapangan golf di berbagai negara. Ia juga suka menulis artikel mengenai golf di majalah Sport Illustrated. Namun, milyuner yang punya hobi berburu dan memancing ini lebih kondang sebagai pegolf. Guru Bahasa Inggris: Naik Bajaj MENGAPA native speaker dalam kursus bahasa Inggris di Indonesia jadi penglaris? Tidakkah mereka lalu merebut ladang kerja guru bahasa Inggris kita sendiri? Inilah jawaban David, guru bahasa Inggris dari Inggris: "Kalau saya bekerja di sekolah menengah Indonesia, baru bisa disebut mengambil pekerjaan orang Indonesia." Menurut David, orang lebih suka pada native speakers karena cara bekerjanya lebih santai. "Seorang murid saya, lulusan SMA, bilang bahwa gurunya di sekolah hanya menjelaskan soal tata bahasa dan bicara apa yang ada di buku tanpa permainan, praktek, dan latihan berbahasa Inggris. Kami mengajar tidak formalistis, murid boleh memanggil nama gurunya langsung, tanpa menyebut sir," kata David, yang buta bahasa Indonesia, meski pacarnya cewek Indonesia. David, 38 tahun, sudah dua tahun ini mengajar di English Language Service International, Jakarta. Ia tak mau mengungkapkan gaji yang diterimanya. "Saya bisa menabung secukupnya dan hidup layak," katanya. Sarjana sastra Inggris dari Universitas Wales, Inggris, ini tinggal di rumah kontrakan bertarif Rp 4 juta setahun. Disana hanya ada satu set kursi tamu, meja makan, dan dua lemari pakaian serba rotan. Lalu dua kamar tidur tanpa tempat tidur, sebuah kompor gas ukuran sedang, televisi 14 inci, dan tak ada lemari es. Pembantunya, perempuan tua yang hanya masuk siang hari. Berangkat mengajar, ia cukup naik bajaj. TKA Cina: Ingin Beli TV Perasaan Yung tampak lega. Bersama seratus teman-temannya, tenaga kerja asal Cina yang bekerja di pabrik kertas milik PT Indah Kiat, di Kragilan, Serang, Jawa Barat itu Sabtu pekan lalu harus angkat kopor. Lelaki berusia 30 tahun ini selama enam bulan telah ditempatkan sebagai tenaga ahli las pipa bertekanan tinggi dalam proyek pembangunan PLTU berkekuatan 35 megawatt milik taipan Eka Tjipta Wijaya. Protes yang bertubi-tubi tampaknya membuat Yung dan kawan-kawannya harus meninggalkan Indonesia lebih awal. Padahal, menurut kontraknya, mereka direncanakan tinggal selama tiga tahun, termasuk tugas merawat instalasi yang dipasangnya. Toh pemulangan mereka lebih cepat daripada rencana semula tidak membuatnya kecewa, walaupun di Indonesia penghasilannya enam kali lebih besar daripada yang biasa mereka terima di negaranya. Selama di Indonesia Yung mendapat gaji US$ 300 per bulan atau sekitar Rp 600 ribu. Padahal, di negerinya dia hanya dibayar 200 yuan atau sekitar Rp 80.000 per bulan. Dengan gaji sebesar itu Yung merencanakan membeli TV baru yang lebih besar. Tapi Yung, lulusan politeknik, memang merasa tidak betah bekerja di Indonesia. "Di sini kami merasa tertekan. Selain komunikasi sulit, saya juga sudah kangen dengan keluarga," kata bapak satu anak ini kepada TEMPO. Apalagi sejak keberadaan mereka disorot, pihak perusahaan tidak lagi memberinya kebebasan berkeliaran di luar lokasi pabrik. Padahal, kebebasan itu biasa mereka gunakan untuk menghirup udara di luar tembok pabrik. Misalnya, setiap Sabtu sore, Yung dan beberapa kawannya suka diantar pekerja lokal mengunjungi warung pojok untuk menegak bir yang juga menyediakan wanita penghibur. Soal bir, buruh Cina itu sempat kaget: harga bir di sini sekitar sepuluh kali lipat lebih mahal dibandingkan di Cina yang hanya Rp 400 per botol. Disk Jockey: Makin Betah Seorang Disk Jockey yang hebat, atau peramu musik di disko, harus jago ngerap juga. Ia tak sekadar memilih lagu atau memencet tombol di mejanya agar perpindahan lagu berlangsung mulus. Supaya suasana lebih hot, sesekali ia perlu berteriak dalam bahasa Inggris "let's move your body," sebelum melepas lagu yang berdentam-dentam. Memang tak ada yang nge-rap dalam bahasa Indonesia. Namun itu jelas bukan alasan bagi sebagian diskotek di Indonesia untuk menggunakan peramu musik asing. "Kalau kemampuan DJ -- asing dan lokal sama saja, tapi barang impor tetap punya daya tarik tersendiri," kata Wempo, supervisor Stardust Discotheque. Itu sebabnya Stardust menggunakan dua peramu impor walaupun asalnya sebatas dari negara jiran, Malaysia. Kedua DJ itu, Adam Jagwani dan Omar Mansor, tiap bulannya digaji sekitar Rp 1,5 juta dengan tambahan fasilitas apartemen dan ongkos pulang kampung dua kali setahun. Dengan imbalan seperti itu, dengan jam kerja pukul 22.00 hingga pukul 03.00 subuh, Adam, yang sudah bekerja di Stardust sejak 1985, merasa betah. "Bahasa tak beda jauh, makanannya juga, dan gaji di sini lebih tinggi dari sebelumnya," kata Adam, anak keturunan India-Pakistan. Adam tak pernah mengikuti kursus DJ, yang banyak berkembang belakangan ini. "Saya belajar dari pengalaman," tuturnya. Ia memulai karier sebagai peramu musik di sebuah disko di Singapura, dan menyeberang ke Hongkong sebelum pindah ke Taiwan. Ia pindah ke Jakarta untuk mendapat gaji yang lebih besar. Yang menarik di Indonesia, bagi Adam, ia juga diberi peluang untuk mencari penghasilan tambahan. Yang penting, pukul 22.00 ia harus muncul di Stardust, memilih lagu-lagu yang mengentak, ngerap sambil ikut bergoyang-goyang kecil di meja monitor. Selebihnya, pemuda rambut sepunggung ini kadang menjadi operator di perusahaan rekaman, atau pernah pula ikut main film Pembalasan Ratu Selatan. Ahli Proyek Air: Kompensasi Gerrit J. Neuteboom, 43 tahun, sejak dua tahun lalu dipekerjakan perusahaannya, Nedeco (Netherlands Engineering Consultants), di proyek Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Ahli water management lulusan HTG Zevalle Holland ini di Kapuk menjadi konsultan pembuatan polder. Gaji diterima dari Nedeco. Ia tak bersedia menyebut gajinya. Cuma ia mengaku menghabiskan Rp 3 sampai Rp 4 juta sebulan untuk hidup di Jakarta. Selain mendapat gaji, Neuteboom juga memperoleh fasilitas lain seperti rumah, transportasi, dan biaya pendidikan anak-anaknya. "Ini adalah kompensasi berada di luar negeri,"katanya. Bukan pertama kali ini Neuteboom bekerja serupa di mancanegara. Sebelumnya dia pernah juga dikirim perusahaannya ke Amerika Selatan, Kolombia, juga Afrika. Yang digarapnya, kebanyakan proyek air. Meski, katanya, "Saya juga menguasai bidang-bidang lain." Polder system, seperti yang tengah digarapnya di Indah Kapuk, adalah suatu sistem untuk membuat kawasan rawa-rawa di Kapuk itu menjadi kawasan yang layak huni. Dengan sistem polder, kawasan rawa-rawa itu bisa menjadi permukiman tanpa harus ditimbun dengan banyak tanah. Menurut Wiryawan Hadiprojo, Kepala Bagian Teknik Pondok Indah Group, dengan sistem polder mereka bisa menghemat sampai 80% tanah urukan. Sistem polder ini juga bisa membuat tinggi air tanah kawasan itu dikontrol. Ini penting demi keselamatan jalan tol Jakarta-Cengkareng. Bila permukaan air tanah itu turun, jalan tol pun bisa amblas. Tekniknya, ia memompakan air laut ke dalam polder yang tengah dibangun itu. Air laut itu dipompakan melalui saluran-saluran air terbuka. Menurut rencana, kata Neuteboom, di Kapuk itu akan dibangun empat polder. Masing-masing dengan sistem pompa sendiri-sendiri. Tiap polder akan dilengkapi dengan tiga buah pompa ulir dan dua buah generator listrik. Karena Indah Kapuk merupakan proyek berisiko tinggi seperti menjaga kondisi jalan tol, dipilihlah Nedeco untuk merancang program dengan sistem itu. Kedatangan mereka juga melakukan transfer tekonologi. Sekitar 80% ahli Indonesia sudah dilibatkan dalam proyek itu. Liston P. Siregar, Ardian T. Gesuri, Gatot Triyanto dan laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini