Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berebut Kursi Si Gajah Duduk

Lowongan Rektor Institut Teknologi Bandung dibanjiri peminat. Perguruan tinggi lain juga mencari terobosan cara pemilihan rektor.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA orang iseng, segala kesempatan dimanfaatkan. Termasuk bursa calon Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB). Calon yang masuk tidak hanya dari kalangan akademisi, tapi juga politisi, dan orang iseng. Tiga mahasiswa yang belum lulus pun dicalonkan rekan-rekannya menjadi rektor. Alamak! Padahal, panitia sudah mensyaratkan pelamar harus doktor, warga negara Indonesia, serta sehat jasmani dan rohani. Nama yang serius di antaranya Lilik Hendrajaya?kini Rektor ITB?cendekiawan Nurcholish Madjid, serta dua mantan presiden, Abdurrahman Wahid dan B.J. Habibie. Ramainya bursa calon rektor kampus berlogo Ganesha ini bermula dari iklan lowongan kerja di sebuah koran, dua pekan lalu. Iklan yang terselip di antara lowongan pramuniaga, sales, dan sekretaris itu ternyata menarik perhatian. Hingga Jumat lalu, sudah masuk 80 nama ke panitia. Sebagian besar nama itu merupakan usulan orang dalam ITB, sementara 20 doktor melamar langsung. Rencananya, Senin ini panitia akan mengumumkan nama-nama pelamar dan yang dilamar. Lowongan rektor lewat iklan ini pertama kali terjadi di Indonesia. Jamaknya, perguruan tinggi negeri (PTN) mengajukan tiga nama hasil seleksi senat perguruan tinggi ke Departemen Pendidikan. Nama itu kemudian diajukan ke presiden untuk dipilih. Kalau ITB memakai cara lain, itu karena sejak tahun lalu perguruan tinggi ini sudah berstatus badan hukum. Mereka berhak mengurus sendiri kepentingannya, termasuk memilih rektor. Prosesnya, di tahap pertama, panitia menyaring lamaran. Kemudian, pelamar potensial diseleksi lewat pemungutan suara sidang Senat Akademik ITB. Calon yang lolos akan memulai tahap kampanye dalam forum warga ITB, akhir bulan depan. Mereka harus mempresentasikan makalah di panel sidang Senat Akademik. Setelah melewati berbagai saringan, tiga calon utama menunggu nasib di sidang Majelis Wali Amanat (MWA). MWA, "MPR"-nya kampus ITB, beranggotakan wakil dari Menteri Pendidikan, Pemerintah Daerah Jawa Barat, masyarakat umum, dosen, dan wakil mahasiswa. "Seluruh proses diperkirakan mencapai finis bulan Oktober," kata Ketua Panitia Pelaksana Pemilihan Rektor ITB, Dr. Ali Basyah Siregar. Selain berpendidikan doktoral, calon harus mempunyai kemampuan manajerial sebagai chief officer serta memiliki sense of business dan sense of educated. "Kita harus mengubah strategi operasional dan kultur masa lalu yang masih bernuansa jawatan," kata Ketua Senat Akademik ITB, Prof. Moh. Sahari Besari. Cara mencari rektor lewat iklan mungkin akan diikuti tiga PTN lain yang berbadan hukum, yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Indonesia (UI). "Itu konsekuensi otonomi kampus," kata Rektor UGM Ichlasul Amal. Masalahnya, birokrasi kampus yang masih bergaya pegawai negeri belum bisa menerima budaya perusahaan dengan disiplin keras. "Kalau semua diatur seperti perusahaan, waduh cilaka jadinya!" kata Ichlasul. Maka, UGM akan melakukannya bertahap. Mungkin itu dimulai dengan mengizinkan ahli dari luar mengepalai suatu proyek penelitian. Sementara itu, Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, punya cara lain. Setiap individu atau lembaga di universitas tersebut boleh mengusulkan calon. Sabtu lalu, panitia seleksi sudah menyaring nama kontestan. Nantinya, 20 nama yang dipilih senat perguruan tinggi akan dikembalikan ke fakultas masing-masing untuk dipilih secara langsung. Lima nama peraih suara terbanyak diajukan ke Jakarta. Dr. Mappadjantji, ketua komisi pemilihan calon rektor, yakin pemerintah akan menerima calon mereka. "Kalau sampai pemerintah pusat menolak, kita akan melantik sendiri rektornya," katanya. Namun, Drs. Alwi Rachman, staf pengajar Fakultas Sastra Unhas, kurang srek dengan cara pemilihan langsung. "Universitas bukan partai politik," katanya. Selain itu, Unhas punya masalah besar dalam sekat-sekat yang membedakan fakultas, etnis, agama, serta dosen tua dan muda. Alwi khawatir alasan memilih rektor karena sentimen rasial, misalnya. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri, ITB sebagai perguruan tinggi berbadan hukum memang dituntut mengatur diri secara profesional. Selama ini, menurut Satryo, ITB punya potensi menjadi perguruan tinggi berkelas dunia. Sayangnya, segudang doktor lulusan per-guruan tinggi kelas wahid dunia yang dimiliki ITB belum dimanfaatkan dengan maksimal. "Saat ini ITB membutuhkan rektor yang leadership-nya tinggi," kata alumni dan dosen ITB ini. Dalam pemilihan Rektor ITB, pemerintah hanya akan memakai hak suaranya dalam Majelis Wali Amanat. Agung Rulianto, Upiek S. (Bandung), Idayanie (Yogyakarta), Syarief Amir (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus