Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berkah dari Enceng Gondok

Dua siswa SMA di Semarang meraih emas dalam lomba penelitian lingkungan internasional di Turki.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluarga Mulyono tak lagi menggunakan air dari Perusahaan Daerah Air Minum Semarang untuk memasak. Ini sudah berlangsung sepuluh tahun. Meski airnya terlihat jernih, warga Simongan, Semarang Barat, itu meragukan kebersihannya. Maklum, rasanya payau dan agak berbau. Untuk itu, ayah dua anak ini memilih membeli air mineral untuk masak dan minum. ”Apa boleh buat, daripada terjadi apa-apa,” katanya.

Mulyono memang hidup di kawasan industri. Pabrik berat seperti baja ada di lingkungan tersebut. Akibatnya, serbuan polusi air dan udara tak terbendung lagi, menyerang keseharian Mulyono dan warga lain di sana. Apalagi beberapa sungai yang menjadi sumber air PDAM dipercaya tercemar logam berat. Masalah pencemaran, terutama di kawasan Kali Garang dan Terboyo, sudah menjadi keprihatinan para ahli lingkungan Semarang sejak akhir 1980-an.

Beberapa lembaga bahkan pernah meneliti kualitas air sungai tersebut. Penelitian Universitas Negeri Semarang, misalnya, menyebut 1.229 pabrik berdiri di sepanjang aliran sungai di Simongan dari 1980-an hingga 2003. Hampir semua pabrik, menurut penelitian itu, membuang limbah ke Kali Garang di kawasan itu. Penduduk sekitar juga ikut buang sampah di sungai.

Mendekati hilir, permukaan sungai selebar empat meter itu keruh dan bau. Penelitian Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro pada 2001 menyebutkan, pencemaran telah merusak ekosistem dan biota air sungai. Penduduk Semarang kehilangan makanan favorit mereka, yaitu sate kerang dara, yang semula hidup di sungai itu. Akibat polusi, populasi kerang dara menurun dan tak lagi layak makan.

Namun, ”berkat” Mulyono dan warga Simongan lainnya, dua siswa SMA Semesta Semarang, Choirudin Anas dan Indradjit Ali Gorbi, mendapat anugerah. Pasalnya, bermula dari cerita warga di hilir sungai yang krisis air bersih itulah, Choirudin dan Indra mendapatkan ide untuk mencari solusi atas pencemaran air itu, yaitu dengan tanaman air, enceng gondok. Hasilnya, penelitian berjudul ”Enceng Gondok sebagai Biofilter untuk Logam Berat” meraih medali emas dalam Olimpiade Proyek Lingkungan Internasional pada 10-11 Juni di Istanbul, Turki, sekaligus menyisihkan hasil karya 92 peserta dari 43 negara.

Bagaimana perjalanan Choirudin dan Anas dari Simongan ke Turki? Ceritanya, mereka adalah anggota klub biologi di SMA Semesta. Jarak sekolah berasrama yang terletak di kawasan Gunungjati ini 19 kilometer dari sungai yang kotor dan bau itu. Karena itu mereka sama sekali tak tersentuh problem air.

Di bawah bimbingan Kuntoro Budiyanto dalam klub biologi itu, mereka sering membicarakan problem air bersih di hilir. Akibatnya, dua sahabat karib itu tertarik meneliti. Kuntoro yang juga menjabat dosen Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang ini memberikan saran agar Choirudin dan Indra mencari topik penelitian yang menawarkan solusi. Menurut Kuntoro, sudah banyak penelitian tentang kondisi air dan upaya membersihkan sungai, namun sungai di hilir masih saja polutif.

Lalu Kuntoro menawarkan kepada mereka untuk meneliti sejumlah tumbuhan air yang punya kemampuan menyerap racun, yaitu enceng gondok, kangkung, dan keladi (talas air). Pilihan akhirnya jatuh pada enceng gondok. ”Sel-sel pada akar, batang, dan daunnya lebih rapat dan responsif mengisap racun,” demikian alasan Choirudin. ”Selain itu, enceng gondok juga tidak dikonsumsi manusia, jadi tidak membahayakan meskipun sudah menyerap racun,” ujarnya.

Rencana penelitian disusun pada Desember lalu. Pada awal Januari, mereka mulai bergerak. Tugas pertama Choirudin dan Indra adalah menjaring berbagai referensi penelitian tentang tingkat pencemaran logam berat di sungai itu. Setelah memetakan data dari berbagai penelitian, mereka turun ke lapangan mulai Februari.

Duet Choirudin dan Indra mengambil 40 liter air sampel Sungai Terboyo dari lima titik lokasi. Tanaman enceng gondok di kelima lokasi tersebut juga diambil. Hal serupa mereka lakukan untuk Sungai Garang, yang salah satu lokasi sampelnya ada di kawasan tempat tinggal Mulyono. Hasilnya, meskipun air Sungai Terboyo lebih hitam ketimbang Garang, kandungan logam beratnya lebih ringan daripada kandung-an di air Kali Garang yang terlihat lebih jernih.

Setelah mereka teliti, penyebabnya adalah rembesan limbah dari pabrik baja, farmasi, dan tekstil di sekitar Kelenteng Sam Po Kong, yang membuat air Garang banyak mengandung logam berat. ”Kami menemukan banyaknya merkuri (Hg), timbel (Pb), kadmium (Cd) dan unsur kimia lainnya yang melebihi ambang batas,” ujar Choirudin. Semua zat tersebut jelas berbahaya, dapat menimbulkan berbagai penyakit termasuk kanker.

Mereka kemudian menyiapkan tiga drum air. Dua drum berisi air dari kedua sungai itu lalu diberi enceng gondok. Sedangkan satunya berisi air destilasi (air murni) juga diisi enceng gondok. Perkembangan tanaman air pada ketiga drum itu diamati. Setelah satu bulan, kondisi enceng gondok di tiga drum itu berubah. Pada air murni, daunnya lebar, hijau, dan rimbun. Sedangkan pada dua drum lainnya, batang enceng gondok membesar, daunnya lebih kecil, dan berwarna agak kecokelatan, serta akarnya mengkerut.

Namun kondisi air kedua sungai menjadi lebih baik. ”Kandungan logam berat pada air sungai berkurang hampir 65 persen,” ujar Choirudin. Penelitian itu membuktikan enceng gondok mampu menjadi biofilter yang menetralkan kandungan logam berat pada air.

Karena penelitian sukses, sekolah mengirimkan hasilnya untuk ikut Olimpiade Proyek Lingkungan Internasional di Istanbul, Turki. Hasilnya medali emas. ”Penelitian sederhana ini sangat aplikatif bagi masyarakat. Sebuah contoh model pembelajaran yang layak ditiru,” ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo ketika menerima Choirudin dan Indra, Selasa pekan lalu.

Memang, prestasi ini tak bisa dilepaskan dari model pembelajaran di SMA Semesta. Sekolah yang berdiri pada 1999 ini lebih jeli meneropong minat dan bakat siswa sejak dua tahun lalu. Sekolah mempersiapkan murid yang mampu—memiliki IQ tinggi dan siap ikut program belajar padat—agar berani berkompetisi. Untuk itu, sekolah mendirikan kelas olimpiade. ”Tujuannya, siswa menjadi lebih siap belajar dan percaya diri. Soal hasil nomor dua,” kata Kepala Sekolah SMA Semesta, Mohammad Haris.

Program sekolah ini sesuai dengan kebijakan Kurikulum Bebas Kompetensi 2004 dan 2006, yang membebaskan sekolah membuat kurikulum sendiri. SMA Semesta pun menerapkan cara mendidik dengan mengembangkan proyek penelitian.

Caranya, setiap proyek penelitian akan dipresentasikan di kelas, tiap akhir semester dan berlaku di hampir semua mata pelajaran. Syaratnya, hasil penelitian itu bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi masyarakat. ”Tak usah muluk-muluk, misalnya bagaimana membuat mesin penetas telur atau mengolah sampah,” kata Haris tentang beberapa hasil penelitian muridnya.

Yang penting, ”Agar siswa peka dengan masalah sekitar dan juga mampu memberikan solusi,” kata Mohammad Haris. Jika penelitian tentang enceng gondok benar-benar diterapkan, mungkin keluarga Mulyono dan penduduk di hilir Sungai Garang dan Terboyo dapat menikmati air yang lebih berkualitas di kemudian hari.

Widiarsi Agustina dan Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus