Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Brussels, Belgia, kabar tak sedap itu berkumandang: mulai Jumat pekan ini, langit Uni Eropa tertutup untuk semua pesawat Indonesia. Ini sungguh memalukan. Jumlah maskapai penerbangan yang dicekal di benua itu sekitar 150, dan 51 maskapai atau sepertiga di antaranya dari Indonesia.
Bukan cuma merasa malu, kita sepantasnya prihatin. Komisi Transportasi Uni Eropa yang menjatuhkan sanksi ini menyatakan, pencekalan diberlakukan karena pesawat kita sangat tak aman. Yang membikin kita kian prihatin, penilaian lembaga ini sudah terkenal kesahihannya.
Rapor komisi ini terbukti bertuah. Misalnya, ketika daftar hitam ini diumumkan di ibu kota Belgia pada Kamis lalu, di Angola terjadi kecelakaan Boeing 737 milik TAAG Airlines, maskapai yang masuk daftar cekal. Pesawat dengan 78 penumpang dan awak itu gagal mendarat dengan mulus setelah dua rodanya meledak. Kopilot dan empat penumpang tewas.
Fakta membuktikan, betapa kualitas keselamatan penerbangan kita memang buruk. Pada 2004 kecelakaan pesawat di seluruh Indonesia menewaskan 57 orang. Setahun kemudian, jumlah korban meninggal bertambah sekitar 100. Lalu, selama paruh pertama 2007 ini, kecelakaan pesawat sudah menewaskan 123 orang. Sekitar seratus di antaranya meninggal dalam kecelakaan Adam Air di perairan Parepare pada Januari silam, dan sisanya korban Garuda di Yogyakarta pada Maret yang baru lalu.
Inspeksi pemerintah terhadap semua pesawat milik maskapai nasional seusai kecelakaan Garuda itu menemukan fakta mengejutkan. Tak satu pun maskapai nasional memenuhi standar keselamatan internasional. Beberapa waktu sebelumnya, lembaga penerbangan Federal Aviation Administration (FAA) dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga telah memperingatkan bahwa penerbangan sipil Indonesia tidak memenuhi standar internasional.
Kita bisa saja memilih tidak peduli pada pencekalan tersebut. Toh, karena tak kompetitif, maskapai kita tak lagi terbang ke Eropa sejak November 2004. Tapi sikap ini tidak bijak. Harus diingat, komisi transportasi itu membuat daftar hitam yang ditinjau ulang setiap tiga bulan tidak hanya untuk menghindarkan terjadinya kecelakaan di langit mereka. Calon penumpang, baik warga Eropa maupun bukan, dapat memakai penilaian itu ketika memilih pesawat. Ini juga merupakan terapi bagi maskapai dan otoritas angkutan udara sipil di seluruh dunia agar melakukan langkah memadai untuk meningkatkan standar keselamatan.
Maka, gagasan untuk membalas perlakuan Eropa, misalnya dengan melarang pesawat dari benua itu memasuki udara Indonesia—yang disuarakan antara lain oleh Asosiasi Angkutan Udara Nasional dan beberapa anggota DPR—tak perlu direspons. Ketimbang sibuk memikirkan pembalasan, lebih baik menghabiskan energi untuk berbenah.
Tentu boleh-boleh saja pemerintah mengirim tim khusus ke Eropa untuk membeberkan aneka program keselamatan penerbangan yang telah dilakukan di Indonesia. Namun tak perlu mengubah rapor dengan lobi. Kunci satu-satunya agar maskapai kita dihapus dari daftar hitam mereka adalah dengan berusaha keras melakukan pembenahan.
Jelas ini bukan pekerjaan gampang. Banyak yang harus dibenahi pada puluhan maskapai dari negeri yang menduduki peringkat delapan besar dalam kecelakaan pesawat terbang ini. Menurut komisi Eropa itu, setiap maskapai yang masuk daftar hitam memiliki masalah serius dalam perawatan pesawat, operasionalisasi, sertifikasi, hingga standar administrasi. Namun seharusnya kekurangan itu bisa dientaskan.
Niscaya, jika kita berbenah dengan keras, langit Eropa terbuka kembali bagi pesawat kita. Mungkin maskapai kita tak akan terbang dalam waktu dekat ke benua itu, namun perbaikan keselamatan ini tak cuma penting untuk melanglang Eropa. Penerbangan domestik juga memerlukan peningkatan standar keselamatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo