Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyebar Racun Disimpang Busung

Perusahaan pendulang pasir milik Kurnia Kartamuhari, 42, PT Artha Saphala diadukan ke polisi. Membuang limbah industri singapura ke palung galian pasir di Riau. Para pelaku diperiksa polisi.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURNIA Kartamuhari, 42 tahun, orang yang berhasil mementaskan pertarungan perebutan gelar juara dunia antara Ellyas Pical dan Galaxy di Jakarta tiga tahun silam, pekan lalu, sesudah hampir tiga musim tak terdengar menggebrak, namanya kembali jadi gunjingan. Perusahaan pendulang pasir milik Karta, PT Artha Saphala, yang mangkal di Bintan Utara, Kepulauan Riau, dituding sebagai pelaku penyelundupan "barang terlarang" dari Singapura. "Kalau dia terbukti terlibat, kami akan memeriksanya," ujar Direktur Reserse Polri, Brigjen. Koesparmono Irsan. Apa yang diselundupkan Artha Saphala ke Indonesia? Ternyata bukan barang-barang elektronik atau kendaraan mewah, melainkan limbah buangan industri. Limbah kimia berwarna hijau dari Singapura itu, menurut polisi, ditanam di palung-palung bekas galian pasir Artha Saphala di Desa Simpang Busung, Bintan Utara. Penyelundupan limbah itu membuat Bupati Kepulauan Riau, Murwanto, gusar. Karena limbah itu, dalam kesaksian Rasyid, warga Desa Simpang Busung, bersifat merusak. "Tangan buruh yang memegang bahan itu segera mengelupas dan gatal-gatal," ujarnya. Sejak 30 November lalu, izin penggalian Artha Saphala kontan dibekukan Bupati Murwanto. Ia kemudian bahkan minta Gubernur Riau Soeripto memperkuat keputusan pembekuan izin penggalian tersebut. "Mereka harus dihukum karena memasukkan sampah ke pelataran orang tanpa izin," ujar Murwanto. Selang empat hari setelah pembekuan izin penggalian itu, polisi langsung menahan enam orang yang dicurigai bertanggung jawab atas penyelundupan limbah tersebut. Bersama mereka, ditahan pula dua buah kapal motor, tiga buah tongkang, empat buah truk. Mereka ditangkap polisi dengan tuduhan melakukan penyelundupan (primer) dan pencemaran lingkungan (sekunder). Tiga tersangka lain dinyatakan buron. Bisik-bisik soal penyelundupan limbah itu sebetulnya telah beredar sejak pertengahan 1989. Tetapi baru naik ke permukaan setelah Asosiasi Eksportir Indonesia (AEPI) membuat pengaduan resmi dengan tujuh tindasan, di antaranya dialamatkan ke kantor Menteri KLH dan Gubernur Riau pada 11 November lalu. Artha Saphala mulai menambang pasir pada lahan seluas 25 ha di Simpang Busung, Juli 1988, setelah mengantungi izin gubernur. Selain PT Artha, di situ juga beroperasi 4-5 perusahaan sejenis lainnya. Pasir galian mereka jual ke Singapura. Sejak Mei lalu, ponton Artha Saphala yang dipakai untuk membawa pasir ke Singapura pulang membawa muatan berupa kantung-kantung plastik berisi lumpur pasir berwarna kehijauan. Kantung-kantung plastik itu kemudian mereka benamkan dalam palung bekas galian pasir, lalu ditimbun dengan tanah. Kemudian, di atas tanah timbunan itu diserakkan ban-ban bekas. Pembuangan limbah kimia secara gelap itu, dalam penyidikan polisi, sekurang-kurangnya telah dilakukan tiga kali dengan jumlah 150 ton. "Tapi, saya yakin, lebih dari itu," ujar Koesparmono. Ia menambahkan bahwa polisi sedang menyelidiki kasus serupa di Pulau Batam. Polisi sendiri belum bisa memastikan jenis bahan pencemar itu, juga asal-usulnya. Mabes Polri baru pekan ini mengirim penyidik pencemaran, yang didukung oleh tenaga dari dinas kedokteran Polri dan ahli dari KLH. Sejauh mana sifat jahat limbah kimia itu pun belum diketahui kecuali kesaksian Rasyid, yang melihat limbah itu merusak tangan yang memegangnya. Sebelum Bupati Murwanto mengeluarkan surat pembekuan izin penambangan, Artha Saphala sebetulnya telah menulis surat pembelaan diri yang dikirim ke pejabat-pejabat Pemda Riau. Dalam surat yang ditandatangani Direktur Utama Artha Saphala, Kurnia, disebutkan bahwa penyelundupan limbah itu di luar kehendak pihaknya. Mitranya di Singapura, Transmedia Asia Pte. Ltd., yang semestinya bertanggung jawab atas kasus itu. Dalam surat yang ditandatangani Chepy Komaruddin dan Nanang Suherman, masing-masing sebagai Kepala Cabang dan Manajer Lapangan Artha Saphala, disebutkan bahwa kasus itu terjadi menjelang Hari Raya Idulfitri, awal Mei lalu, di saat keduanya sedang cuti Lebaran. Keadaan kosong itu dimanfaatkan Sidney Pillay, Manajer Lapangan Transmedia, perusahaan Singapura yang selama ini menjadi penyandang dana Artha Saphala. Oleh Pillay, begitu tudingan Cheppy dan Nanang, limbah itu dibuang ke palung-palung galian pasir Artha Saphala. Atas tindakan itu, masih menurut surat itu, Kartamuhari berang dan meminta Transmedia memecat Pillay. Cheppy dan Nanang, yang kini ada di tahanan polisi, menuturkan bahwa limbah itu berbentuk kepala sabun (soap noodles), yang mengandung kalsium karbonat dalam jumlah besar. Menurut dokumen yang dimiliki Transmedia, limbah itu berasal dari perusahaan Soon Heng, yang beralamat di Johor Baru, Malaysia. Dari Soon Heng, limbah itu dioper ke perusahaan kargo Scania, juga di Johor Baru. Tak mau ambil risiko "membawa kucing dalam karung", Scania membawa sampel limbah itu ke lab di kota itu untuk diperiksa. Hasilnya, antara lain, menunjukkan bahwa limbah itu mengandung pasir dan kalsium karbonat sebanyak 60%. Kandungan air 14,4%, lemak 4%, dan asam-asam yang tak larut 16,7%, keasamannya 10. Entah lewat jalur mana, akhirnya limbah itu jatuh ke tangan Transmedia dan diangkut ke Desa Simpang Busung. Bahwa kasus itu kemudian terbongkar, konon, ada hubungannya dengan uang US$ 33.500 (sekitar Rp 60 juta) yang dipasok Transmedia untuk ongkos pembuangan. Dari jumlah itu, US$ 15.000 untuk Artha Saphala, dan selebihnya dibagi-bagi di antara beberapa oknum pejabat di Pemda Kepulauan Riau. "Pembagian itu tak merata, maka ada yang kesal lalu bernyanyi," ujar sumber TEMPO di kepolisian Riau. Putut Tri Husodo Mukhlizardy Mukhtar, dan Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus