CUKUP sekali betot, pilar yang menyangga atap peneduh itu roboh ke tanah. Sebelumnya, dua boks mesin pompa ditarik oleh para petugas dari Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K), Kodya Jakarta Selatan, agar terlepas dari dudukannya. Itulah eksekusi atas depot bahan bakar yang berlokasi di sudut timur laut perempatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Gubernur Wiyogo terpaksa mengambil tindakan keras, karena unit Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tersebut dibangun tanpa izin. Namun, dua unit SBPU lainnya, yang berada pada pelataran yang sama, tak diusik. "Karena keduanya tak ada persoalan dalam hal perizinan," ujar seorang petugas. Ketiga unit SPBU itu dibangun oleh perusahan taksi PT Blue Bird, yang ditunjuk sebagai pelaksanan proyek percontohan penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor. Bahwa di antara tiga SPBU di satu kompleks itu mengalami nasib yang berbeda, harap mafhum, karena mereka berada di tanah yang sejarahnya berlainan. Dua pompa yang kini tersisa berdiri di tanah hibah dari Pertamina Unit III PDN (Pembekalan Dalam Negeri). Sedangkan satu unit pompa yang nahas itu dibangun di tanah sengketa yang belum usai urusan pengalihan haknya. Adalah pengalihan status tanah dari Pertamina ke Blue Bird yang berjalan mulus. Pun urusan IMB atas dua SPBU di situ. Namun, tanah hibah rupanya dirasa terlalu sempit. Maka, Blue Bird pun mencoba membebaskan tanah di kiri-kanan, dan rupanya masih juga belum cukup. Lantas perusahaan taksi ini berniat pula membeli kavling sebelah, yang dulunya adalah tempat berdirinya Sekolah Dasar Negeri 01 dan 02 Mampang Prapatan, milik Pemda DKI Jakarta. Permohonan untuk membeli tanah seluas 1.125 meter persegi itu diajukan April 1987. Pihak DKI menyambut baik niat Blue Bird. Wagub Bidang Ekonomi dan Pembangunan, yang kala itu dijabat H. Bun Yamin Ramto, awal Desember tahun itu mengeluarkan surat persetujuan, yang lazim disebut izin prinsip. Seperti disebut dalam izin prinsip itu, Blue Bird mesti berurusan dengan Direktorat Agraria untuk menyelesaikan soal pemindahan hak atas tanah. Lantas, Blue Bird harus pula berkonsultasi dengan Dinas Tata Kota untuk menyesuaikan rencana tata letak dengan rencana pengembangan kota. Dinas Pengawasan Pembangunan Kota mesti pula dihubungi untuk memperoleh IMB. Cukup? Rupanya belum. Urusan ternyata masih melebar ke Biro Perlengkapan dan Perawatan serta Biro Pembangunan Daerah. Semula Blue Bird hanya akan membeli tanah Pemda itu 400 meter persegi. Namun, menurut Direktur Administrasi dan Personalia Blue Bird, dr. Mintarsih A. Latief Pemda mendesak agar tanah itu dibeli seluruhnya. Alasannya, seperti dikutip Mintarsih, "Sisa tanah tak bisa dipakai lagi oleh Pemda untuk mendirikan sarana umum." Apa boleh buat, kendati diakui tidak ekonomis, tanah itu dibeli seluruhnya. Investasi pun membengkak sampai sekitar Rp 800 juta. Negosiasi antara Pemda DKI Jakarta dan Blue Bird tampaknya telah berjalan cukup jauh. Awal Oktober silam, Wiyogo mengirim surat ke DPRD DKI Jakarta untuk minta persetujuan atas rencana penjualan tanah itu. Dalam surat itu Wiyogo menyatakan setuju atas "proyek nasional" tersebut. Syahdan, nilai ganti rugi pun disepakati sebesar Rp 384.048 per meter persegi. Jadi, Pemda DKI berhak memperoleh santunan Rp432 juta dari Blue Bird. Rencana Wiyogo itu segera disetujui oleh DPRD. Hanya saja, seperti disinggung dalam surat Wiyogo, tanah bekas sekolah dasar itu termasuk kategori peruntukan jalur hijau. Jadi, dalam soal pemanfaatannya, nisbah bangunan terhadap luas lahan maksimum 20%, tak boleh lebih. Tampaknya, PT Blue Bird tak sabar menempuh jalur birokrasi yang berliku-liku. Satu unit SPBU Blue Bird pun dibangun sebelum IMB turun. Sebagai pilot project nasional, SPBU itu harus selekasnya kami bangun," ujar Hamdang Agusni, Koordinator Administrasi Blue Bird. Belakangan, pembangunan satu unit SPBU yang tanpa IMB di Mampang itu ketahuan aparat Pemda. Pembangunan yang mendekati selesai itu lalu disetop, dan disegel sejak Juli 1988. Bahkan akhir Oktober Gubernur Wiyogo memerintahkan agar satu instalasi SPBU tak ber-IMB itu dibongkar. Karena Blue Bird masih enggan membongkar sendiri, surat pembongkaran paksa dikeluarkan 22 Januari lalu. Pemindahan hak atas tanah dari Pemda DKI Jakarta ke PT Blue Bird ternyata juga tidak berjalan mulus. Pembayaran ganti rugi, misalnya, seperti diakui Mintarsih, belum lunas. Namun, cicilannya pun, oleh Wiyogo, dikatakan tak pernah disetor. "Tak ada bukti bahwa Pemda telah menjual dan menerima uang penjualan tanah untuk SPBU. Mampang," kata Wiyogo dalam Rapim Pemda DKI Jakarta, di Balai Kota, Rabu pekan lalu. Berbarengan dengan meletupnya kasus pembongkaran paksa itu, bertiup kabar yang mengatakan bahwa tanah bekas sekolah dasar itu sebetulnya berstatus tanah wakaf. Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, H. Muhammad Rodja, mengaku telah turun ke lapangan dan mengecek kabar burung itu. Hasilnya? "Pemilik tanah yang sah hingga sekarang belum ketahuan," ujarnya. Semula, tutur Rodja, tanah itu dimiliki oleh Syed Abdullah bin Ba'mar. Di zaman penjajahan, di situ dibangun gedung sekolah swasta. Pada 1955, Pemda DKI Jakarta memperbaiki dan menegerikan sekolah itu menjadi SD 01 dan 02 MampangPrapatan. Lantaran tak mengubah peruntukan tanahnya, Almarhum Abdullah rela saja. Pada 1979, SD itu dipindahkan, dan sejak saat itulah tanah tersebut masuk dalam daftar kekayaan Pemda. Pada catatan Kantor Departemen Agama Jakarta Selatan, tanaf wakaf atas nama Syed Abdullah tak ditemukan. "Tidak pernah tercatat," kata Aziz, kepala kantor itu.Putut Tri Husodo, Agung Firmansyah, dan Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini