SABTU dinihari dua pekan lalu itu, sebuah pulau kecil yang tak berpenghuni di Selat Malaka jadi benderang oleh kobaran api. Tiga kapal pukat harimau yang menggunakan jaring tral dibakar oleh 240 nelayan tradisional, diawali dengan ucapan bismillah, seakan melambangkan perang terhadap angkara murka. Amarah penduduk Desa Telaga Tujuh, Langsa, Aceh Timur, ini agaknya bisa dimaklumi. Maklum, kendatipun pukat harimau telah diharamkan dengan keluarnya Keppres Nomor 39 pada 8 tahun silam, ternyata diam-diam si macan masih beroperasi di sana. Kehidupan nelayan tradisional pun jadi terganggu. Soalnya, jaring macan itu menyodok ikan dan udang hingga ke dasar laut, termasuk bibit ikan dan sumber hayat laut lainnya. Beroperasinya 72 unit "kapal haram" itu mcngakui pernah menerima laporan tentang trawl itu. "Tapi ketika diadakan penyergapan, tidak ada bukti. Mereka cuma memancing," katanya pada TEMPO. Tapi ia tak berkomentar tentang tindakan pihak berwenang yang main tangkap-lepas itu. Mungkin karcna kehilangan kcpercayaan pada pihak berwenang itulah, para nelayan itu bergerak dengan bahasa sendiri. Jumat malam, 27 Januari lalu, ke-240 nelayan yang menghuni Pulau Pusung di mulut Kuala Langsa itu pun mara ke laut. Mereka menaiki empat kapal bermesin untuk merazia pukat trawl di tengah laut. Sekitar 500 penghuni pulau itu melepas mereka bak pahlawan berangkat ke medan laga. "Jika ada yang tertangkap, bakar saja. Jangan kasih ampun," pekik para pengantar itu. Menjelang tengah malam, rombongan itu memergoki sebuah kapal trawl, KM Anak Mas II, milik Muhammad Yahya alias Apacam. Para nelayan berlompatan ke dalamnya. Apacam yang jadi nakhoda tak berdaya ketika kemudi kapal itu direbut dari tangannya Beberapa anak buahnya juga dipukuli. Kapal milik Apacam itu dipaksa ikut mencari teman-temannya yang sedang mengoperasikan trawl. Menjelang dinihari, mereka berhasil menangkap basah dua kapal trawl yang sedang beroperasi. Ketiga "kapal haram" itu pun digiring ke pantai Pulau Pusung. Setiba di situ mereka bersepakat untuk membakar ketiga kapal itu di sebuah pulau tak berpenghuni yang berjarak 100 meter dari Desa Telaga Tujuh itu. Hanya saja sebagai alat bukti, semua peralatan trawl berupa jaring, tali baja, dan dua lembar papan penguras mereka preteli dari ketiga kapal itu. Api pun disulut. Semua nelayan itu puas memandang kobaran api yang baru padam pada pukul 10.00 paginya. Apacam, 38 tahun, yang menyaksikan pembakaran itu, lunglai. Maklum, untuk membeli kapal bernilai Rp 8 juta itu ia telah mcnjual kolam ikannya. "Modal saya saja belum kembali," katanya sedih pada TEMPO. Anehnya, hingga 3 Februari lalu tak seorang pun di antara penduduk itu yang diciduk polisi. Konon, menurut sumber TEMPO di Polres Aceh Timur, polisi sangat bcrhati-hati menangani kasus itu. Maklum, aksi massa itu melibatkan banyak orang. "Jika ditangkap, ya, silakan saja semua kami masuk penjara," kata Ridwan.BL & Mukhizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini