OMSET penjualan kupon SDSB ternyata ambruk di mana-mana. Selama lima kali masa putar, secara rata-rata kupon A (Rp 5.000) dengan iming-iming hadiah Rp 1 milyar, hanya laku 10%, sedangkan kupon seri B (Rp 1.000) dengan hadiah variatif, laku 40%. Arus uang yang mengalir ke pengelolanya pun mengempis. "Jauh di bawah titik impas," ujar Mashud Wisnusaputra, Ketua Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) . Dengan menyusutnya penjualan kupon SDSB itu, tutur Mashud dalam konperensi pers Jumat pekan lalu di Departemen Sosial. target pengumpulan dana yang dipatok Rp110 milyar terancarn meleset. Pada situasi sekarang, rekanan YDBKS, PT Widya Dana Persada, sebagai pelaksana penjualan kupon, sulit melempar "komoditinya" ke pasar. "Kalau mereka rugi, kami tak bisa memaksa mereka agar setor dana Rp 110 milyar," tambahnya. Pengelola SDSB, kata Mashud, baru bisa bernapas lega bila 60-70% dari satu juta lempar kupon, untuk masing-masing seri A dan B laku terjual. "Dengan penjualan. segltu, barulah pengelola mendapatkan keuntungan secara wajar," tambahnya. Namun, yang dia lihat, sekarang penjualan terganjal, lantaran pemerintah daerah membuat pagar ketat, loket penjualan kupon SDSB dibatasi. Keadaan seperti sekarang, menurut Mashud, tidak bisa dipertahankan. Ketua YDBKS ini meminta agar aturan main yang membelit SDSB ditinjau kembali. Mashud tak setuju bahwa kupon seri A, yang nomor undiannya telah tercetak, hanya boleh beredar lewat loket-loket resmi. "Kupon seri A kan dagangan biasa saja, mengapa mesti diperlakukan berbeda," protesnya. Penjualan kupon B pun, menurut Mashud, perlu "deregulasi". Kupon yang menyediakan tempat bagi pembeli untuk mengisi huruf tebakan itu, begitu usul Ketua YDBKS, "kalau perlu boleh dipakai untuk membuat 1-4 tebakan." Dengan cara itu, diharapkan daya tarik kupon B meningkat. Sebab, dengan modal Rp 1.000, pembeli punya kesempatan menebak huruf. Di depan pers, Mashud lebih banyak berbicara untuk mewakili kepentingan mitranya, PT Widya Dana. Itu diakuinya. "Sebab, kami menganggap pelaksana adalah partner." Etika setia kawan, kata Ketua YDBKS ini, mesti dijunjung tinggi. "Kalau mereka berada dalam kesukaran, kami harus siap membantu," tambahnya. Usul Mashud agar kupon A "dideregulasi" mendapat dukungan dari Menko Polkam Sudomo. "Seri A memang sepenuhnya lotere, tak perlu harus dijual di loket resmi," ujar bekas Pangkopkamtib ini. Sudomo pun akur saja kalau kupon seharga Rp 5.000 itu dijual di toko-toko. Sudomo juga tak setuju jika ada kepala daerah yang mempersoalkan kebijaksanaan SDSB. "Ini keputusan pemerintah, jadi harus dilaksanakan, termasuk oleh para gubernur," katanya. Soal haram halalnya SDSB pun tak layak diungkit. "Kalau mereka katakan ini judi, ya, munafik," kata Sudomo. Menghadapi semangat "deregulasi" itu, Menteri Sosial Haryati Soebadio bersikap defensif. "Sebagai pihak yang menerima sumbangan dari YDBKS, saya senang kalau omset SDSB tinggi," ujarnya. Tapi usulan-usulan tadi, kata Mensos, akan dipelajari dulu sebelum diputuskan. Kupon berhadiah memang telah teruji sebagai alat yang efektif menjaring dana. Selama 1986-1988, kupon Porkas/KSOB menghasilkan penerimaan bersih Rp 72 milyar lebih. Hampir Rp 34 milyar di antaranya telah diamalkan lewat gelanggang olah raga. TSSB tak mau kalah. Tahun 1988 pemerintah menyalurkan bantuan sosiai Rp 42 milyar lebih, yang digaet lewat TSSB. Sementara itu, saldo yang terkumpul lewat kedua jalur itu, pada posisi 31 Desember 1988, tercatat Rp 92 milyar lebih.PTH dan Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini