Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika salawat badar bergema di panggung kampanye

Semua organisasi politik sudah berasas pancasila. tapi hadis dan ayat quran berseliweran dari panggung kampanye, termasuk oleh PDI. para kiai pun laris ditanggap di mana-mana

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIMMY Haryanto, Wakil Sekjen Partai Demokrasi Indonesia, jelas bukan seorang kiai, sekalipun ia sudah menyandang titel haji. Dalam kampanye putaran akhir PDI di lapangan Parkir Timur Senayan, Minggu lalu, ia pun tak memakai sorban atau jubah, melainkan pantalon hitam dan baju merah menyala serta topi hitam warna khas Partai Banteng itu. Namun, dari mulut sang juru kampanye ini berhamburan ayat-ayat Quran dan hadis, untuk memperkuat serangannya terhadap "musuh" politiknya. Misalnya, Dimmy mengutip sebuah hadis populer. "Ayatummunaafiqun tsalasun. (Tandatanda orang munafik itu ada tiga)," teriaknya dari atas pentas. Salah satu dari ciri munafik yang dimaksudkan hadis itu adalah mungkir janji. Lalu Dimmy berteriak, "Nah, SaudaraSaudara, ada golongan yang terusterusan menang pemilu tapi janjinya tak ditepati. Itu artinya apa . . .?" Ini memang bisa disebut hal baru yang menarik: para juru kampanye PDI menggunakan hadis dan ayat-ayat Quran. Lebih menarik lagi bila diingat bahwa PDI dulu berasal dari fusi sejumlah partai, termasuk di dalamnya PNI, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Tak satu pun di antara partai itu yang bisa disebut pernah punya kaitan ideologis maupun kultural dengan Islam. Tapi kampanye akbar PDI di Jakarta tadi dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Quran berikut terjemahannya. Hal yang sama terjadi di panggung kampanye PDI di kota dan daerah lain. Bahkan dalam kampanye di Parkir Timur Senayan tadi seorang jurkam sempat mengajak massa PDI untuk meneriakkan Allahu Akbar tiga kali suatu hal yang dulunya seolaholah "monopoli" jurkam Partai Persatuan Pembangunan. Di loronglorong di beberapa kampung di Jakarta PDI memulai pengumuman kampanyenya dengan Allahu Akbar yang ditulis dengan huruf Arab. Di jalan raya Jakarta, dalam kampanye Minggu lalu, sudah ada gadisgadis PDI memakai jilbab merah. Di Medan, di depan Kantor Dewan Pimpinan Wilayah Sumatera Utara, ada poster bernada simpatik, ucapan selamat untuk jemaah haji yang berangkat ke Tanah Suci. Semangat menggunakan warna dan simbol Islam ini juga tampak dari pemilihan juru kampanye Partai Banteng itu. Di Jawa Tengah, PDI merekrut K.H. Abdul Cholil, pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, sebagai juru kampanye untuk menarik massa Nahdlatul Ulama. Kiai lulusan Universitas Alexanderia, Mesir, ini memiliki sekitar tiga ribu santri, dan namanya cukup berpengaruh di sejumlah pondok pesantren lainnya di wilayah itu. Bahkan di Jember, wilayah yang selama ini merupakan basis PPP, PDI bisa merekrut K.H. Khotib, pimpinan salah satu pesantren. Walhasil, PDI kini tak sungkansungkan lagi memakai atributatribut Islam. Salah satu posternya berkata: "Islam Agamaku, PDI Pilihanku". PDI tampaknya sadar benar bahwa pemilih Islam yang jumlahnya mayoritas sekitar 88% dari seluruh pemilih masih merupakan pangsa yang harus direbut dalam pemilu ini. Abdul Munir Mulkhan, dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang pernah meneliti soal pemilih Islam, menghitung bahwa 55% pemilih PDI pada pemilu 1987 adalah orang Islam. Barangkali angka tadi bisa menjadi salah satu alasan mengapa PDI kini begitu getol menggunakan simbolsimbol Islam. Islam juga faktor penting untuk Golkar. Sekjen Golkar Rachmat Witoelar mengatakan, "Kalau orang Islam tidak memilih Golkar, kami hanya akan mendapat suara lima persen dalam pemilu." Maka, sloganslogan serta simbol Islam kemudian seperti tak pernah lepas dari panggung kampanye partai pemerintah ini, mulai zaman Ketua Umum Haji Amir Moertono, yang rajin mengutip ayat-ayat Quran itu, sampai masa kepemimpinan Haji Wahono sekarang ini. Dukungan para kiai pada Golkar kian meluas. Kiai Badri Masduki dari Probolinggo, yang pada pemilu lalu berada di kubu PPP, kini "berteduh" di bawah Beringin. "Program Golkar itu wajib kita sukseskan," Kiai Badri menjelaskan. Dalam pandangannya, Golkar sudah banyak berbuat untuk umat Islam. Dan, "Islam tak bisa memungkiri. Yang putih ya putih, dan yang hitam adalah hitam. Jadi saya jelas berada di pihak Pak Harto," ujar Kiai Badri. Kiai ini mengaku telah menemui Pak Harto untuk menyerahkan dukungan 1.700 kiai Jawa Timur agar Soeharto dipilih lagi sebagai presiden priode berikutnya. Di Jawa Timur, Kiai Badri membuat semaan (pengajian) untuk memenangkan Golkar. Dan selama ini dia mengaku sudah banyak mendatangi berbagai pondok pesantren agar mencoblos Golkar. Selain Kiai Badri, Kiai Hamim Djazuli, yang lebih dikenal dengan nama panggilan Gus Mik, juga sudah lama "bergandengan tangan" dengan Ketua DPD Golkar Jawa Timur M. Said, dengan mengadakan semaan. Maka, ditambah dengan bergabungnya Ketua PB NU Jawa Timur KH Syafei Sulaiman atau Rais Syuriah NU Jawa Timur K..H Imron Hamzah, makin bertambah panjang barisan kiai yang mendukung Golkar. Alasannya, ya itu tadi: Golkar dianggap sudah berbuat banyak untuk umat Islam. Di Parkir Timur Senayan, Sabtu lalu, belasan kiai bersorban dan berjubah naik ke atas panggung Golkar, mengiringi Ketua Umum Wahono dan para tokoh Golkar lainnya. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Senin pekan lalu, sekitar 150 ulama melakukan salat yang diimami oleh Ketua MUI setempat di aula kantor bupati. Ini bukan salat sembarang salat tapi salat hajat berjamaah yang intinya memohon kepada Allah SWT agar Golkar diberi kemenangan dalam Pemilu. Maka, semakin ramailah Islam diperebutkan dalam kampanye Pemilu kali ini. Kloplah sudah, ketiga partai yang berlaga dalam pemilu ini PPP, Golkar, dan PDI menampilkan atributatribut Islam untuk merayu pemilih. Pembacaan ayat suci Quran dan kemudian Salawat Badar yang dikumandangkan untuk memberi semangat pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad saw. ketika berangkat ke perang Badar sekarang ini bukan hanya terdengar dari panggung PPP. Sejak kampanye hari pertama di Gelora 10 Nopember Surabaya, Golkar sudah menggunakan salawat itu untuk membuka kampanye. Kini di panggungpanggung PDI ada kasidah. Alasan untuk ikut menampung suara Islam ini sebetulnya cukup kuat. Kini tak ada lagi partai yang berasaskan Islam, setelah berlakunya undangundang kepartaian di tahun 1985, yang menetapkan Pancasila sebagai satusatunya asas untuk semua organisasi politik, termasuk PPP. Dan pemilih Islam sekarang ini boleh dibilang merupakan massa yang benar-benar mengambang dan siap dirayu oleh siapa saja. Lagi pula, kini tak cuma Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum yang bergelar haji. Ketua Umum Golkar Wahono dan Ketua Umum PDI Soerjadi pun sudah pernah pergi haji ke Mekah. Lihatlah, di banyak panggung kampanye, gelar haji itu sering disebutsebut sebelum sang ketua umum naik pentas. Jadi, kalau saja di panggung kampanye, Wahono dan Soerjadi sempat mengatakan bahwa SDSB itu adalah judi dan hukumnya haram seperti yang diucapkan Buya Ismail Hasan Metareum di Parkir Timur Senayan, Jumat pekan lalu barangkali dalam soal mendekati Islam, ketiga kontestan itu hampir tak lagi punya perbedaan. Golkar memang belum mengeluarkan statement tentang undian itu dalam pemilu ini. Namun, dalam dialog dengan 200 ulama di Gedung DPD Golkar Jawa Timur di Surabaya, Sabtu lalu, Menristek Habibie sempat membicarakan SDSB. Ketika itu Kiai Badri Masduki mempersoalkan mengapa Pemerintah masih menghalalkan SDSB. Habibie yang Ketua Umum ICMI itu menjawab, "Di depan Presiden pun saya bilang tidak setuju dengan SDSB. Tapi, saya juga tak tahu bagaimana caranya menghentikan SDSB. Sebaiknya, kalau tak setuju, ya, tak usah ikut memasang SDSB." Penampilan PDI dalam panggung kampanye kali ini rupanya membuat risi juga sejumlah aktivis Islam. Lukman Harun, tokoh Muhammadiyah itu, misalnya, mengaku sadar bahwa ketiga kontestan sudah berasaskan Pancasila. Namun, penampilan PDI selama ini, menurut Lukman, lebih banyak mengecewakannya. "Mereka gigih sekali menentang RUU Peradilan Agama dan RUU Pendidikan Nasional yang memuat aspirasi Islam. Belum lagi, dalam barisan calon jadinya, orang Islam kan sedikit. Jadi sebenarnya aspirasi Islam tak tertampung di PDI," ujar Lukman. Dan reaksi terhadap penampilan PDI ini tampaknya cukup gencar. Di Jakarta, contohnya, beredar selebaran yang isinya menyudutkan PDI soal perannya dalam penggodokan beberapa Rancangan UndangUndang (RUU) yang sudah disebut. Ada pula maklumat kepada generasi muda Islam, yang isinya mengingatkan kembali jenis partaipartai yang berfusi dalam PDI. Begitu gencarnya serangan ini, sampaisampai di panggung Parkir Timur Senayan, Minggu lalu, Ismunandar, bekas Ketua Gerakan Pemuda Banteng, menyerukan warga PDI agar tak termakan isu itu sembari merobekrobek selebaran tadi dan melemparnya ke udara. Bagaimana duduk soal sebenarnya? Ketika RUU Peradilan Agama diajukan Pemerintah, PDI memang menolak banyak materi RUU yang kemudian melahirkan pengadilan khusus yang menangani soalsoal umat Islam, umpamanya masalah hukum warisan. Kepada TEMPO, Ketua Umum Soerjadi menjelaskan alasannya, "PDI itu berwawasan kebangsaan. Dan RUU Peradilan Agama kan cuma mengurus soal umat Islam, jadi itu sebabnya PDI menolaknya. Tapi itu kan sebuah proses, dan PDI kemudian menyetujuinya." Toh di luar soal RUU tadi, menurut Dimmy Haryanto juru kampanye yang suka mengutip ayat dan hadis itu PDI cukup gencar melakukan berbagai kegiatan bersama umat Islam. Antara lain lewat wadah Majelis Muslimin Indonesia (MMI) yang dibentuk tahun 1983. "Gerakangerakan agamis ini mulai intensif sejak 1987," kata Dimmy Haryanto. Kini MMI sudah menjangkau 23 provinsi. Dan kegiatannya berbagai macam, mulai dari pembinaan majelis taklim sampai pembangunan musalaMDRVIVcmMDNM. Maka, Dimmy menolak anggapan bahwa PDI hanya merangkul Islam untuk kepentingan Pemilu. Dengan gencarnya Golkar dan kini PDI berIslamIslam, bagaimana dengan PPP? Ketua Umum PPP Buya Ismail Hasan Metareum berpendapat, kendati Partai Bintang itu tak lagi berasaskan Islam, perubahan asas itu tak akan membawa pengaruh terhadap kedekatan massa dengan PPP. Keyakinan ini, menurut Buya, dasarnya adalah bahwa selama ini PPP konsisten memperjuangkan pikiran umat Islam. "Kami tak mau ada undangundang atau peraturan yang bertentangan dengan agama. Ini yang tidak dilakukan oleh organisasi peserta pemilu yang lain," kata Buya Ismail. Tak ada yang baru dengan gaya PPP ini. Toh Buya yakin rakyat pada akhirnya akan semakin maklum, mana partai yang memperjuangkan Islam dan mana yang bukan. "Apakah rakyat bisa ditipu dengan sloganslogan, saya tak tahu. Tapi yang jelas, kini ada OPP yang ngibul dengan sloganslogan itu," kata orang pertama Partai Bintang ini. Pengamat politik Arbi Sanit menilai kalau PPP mengandalkan primordialisme dengan simbolsimbol Islam, itu memang bersumber dari akar sejarah PPP yang merupakan fusi dari partaipartai Islam. Tapi Arbi tak melihat alasan yang tepat bagi Golkar dan PDI yang juga "masuk" ke isu yang digarap PPP tadi. "Jelas itu hanya untuk kepentingan dukungan perolehan kursi dalam pemilu," kata dosen politik Universitas Indonesia ini pada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Tapi Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid menilai bahwa pemakaian simbolsimbol Islam dalam kampanye merupakan suatu bukti bahwa sekarang ini Islam dipakai sebagai identifikasi diri oleh semua orang. Malah, kata orang nomor satu NU ini, "Kalau ABRI ikut kampanye barangkali juga akan bilang: Indonesia Negaraku, Islam Agamaku, ABRI Kesatuanku." Dalam pandangan Wahid, wujudnya bisa dilihat sekarang ini dalam berbagai bentuk. Misalnya, "PPP mengumandangkan Salawat Badar, Golkar pakai Salawat Narriyah, PDI mungkin nanti pakai doa sapu jagat," katanya berkelakar. Bila proses semacam ini terus berjalan, di masa mendatang, ujar Wahid, gejala baru yang akan ditemukan adalah hilangnya validitas lembagalembaga formal Islam. Selanjutnya, akan muncul kekuatan golongan Islam yang tak lagi menuntut formalitas. Dengan kata lain, kesamaan pandangan Islam nantinya tak lagi ditentukan oleh partai, golongan, atau kelompok apa pun. Namun, berseliwerannya berbagai simbol Islam dalam kampanye kali ini bisa pula disinyalir sebagai gejala mencuatnya kembali formalisme Islam. Lihat saja bagaimana Golkar punya MDI, GUPPI, Satkar Ulama, dan banyak lagi lembaga Islam lainnya, atau PDI kini punya Majelis Muslimin Indonesia. Boleh jadi ini merupakan gejala bahwa umat Islam di sini masih tetap tergiur dengan simbolsimbol dan formalisme, walaupun asas sudah menjadi tunggal. Wallahualam. Toriq Hadad, Indrawan, Sri Pudyastuti, Iwan Himawan (Jakarta), Andi Reza, dan Kelik Nugroho (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus