Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rebutan pemilih Islam

Upaya ketiga kontestan dalam memperebutkan suara umat islam. pemikiran yang mempengaruhi sikap umat islam. PPP ingin mengembalikan citranya. PDI tampil dengan warna dan simbol islam.

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE masih saja diwarnai "perang" ayat suci Quran. Padahal, setelah semua kontestan menerima asas tunggal Pancasila, seharusnya tak ada lagi partai yang berasaskan agama. Namun, penyajian ayat-ayat suci, baik di mimbar kampanye, posterposter yang digelar, atau penampilan ulama ke atas panggung oleh ketiga organisasi peserta pemilu kali ini tampaknya tak berkait langsung dengan asas kehidupan sosial politik itu. Penampilan simbolsimbol berwarna Islam oleh ketiga kontestan itu semata untuk menarik massa. Sebab sukses tidaknya pemilu sangat ditentukan oleh banyaknya coblosan pada tanda gambar kontestan masingmasing. Hak dan pribadipribadi dikuantifikasikan menjadi sejumlah lubang coblosan atau angkaangka dalam pemilu. Untuk mengejar angkaangka itulah ketiga kontestan berlomba merebut simpati agar banyak massa memberikan suara bagi mereka. Mayoritas pemilih, sekitar 88% dari 107 juta, kebetulan beragama Islam. Demi angkaangka itu pula berbagai janji dan ayat-ayat suci disajikan untuk menarik simpati. Namun, bagaimana sikap umat Islam sendiri? Di kalangan kaum cerdik pandai Islam memang sedang berkembang dua pemikiran yang mempengaruhi sikap umat Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Yang pertama adalah pemikiran yang lebih substantif. Islam Indonesia akan berkembang lebih menampilkan halhal yang substantif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Nilainilai etika dan moralitas Islam menjadi dasar kehidupan seharihari. Sosok Islam menjadi universil, sehingga dalam kehidupan seharihari ia bisa diterima berbagai pihak. Dalam kehidupan bernegara dan masyarakat, Islam bisa lebih bebas bergerak di ketiga kekuatan sosial politik, birokrasi, ABRI, dan bidangbidang lainnya. Pemikiran kedua adalah Islam yang formal. Segala sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara juga dilandasi keformalannya, sesuai dengan kaidahkaidah yang dianutnya. Pemikiran ini sempat bergelora di masa lalu, dan kini belum padam sama sekali. Untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara, wadahwadah formal memang diperlukan. Partai Islam, organisasi massa Islam, atau wadahwadah Islam lainnya. Dalam kehidupan seharihari, yang menjadi acuan juga kaidahkaidah formal yang ada. Dua pemikiran ini kini sedang berdialog dan mungkin akan sampai ke suatu bentuk baru atau sintesa keduanya. Dalam kehidupan bermasyarkat dan bernegara, Islam tentunya akan menampilkan keIndonesiaannya. Suatu pemikiran yang tak lepas dari perkembangan situasi dan kondisi Indonesia. Dialog dua pemikiran itu tampaknya bukan cuma di tingkat gagasan tapi sebagian sudah diturunkan dalam kehidupan sosial politik. Misalnya, di kalangan umat Islam telah berkembang pemikiran untuk tak harus menyalurkan aspirasi politiknya lewat wadah formal, misalnya partai yang nyatanyata mengibarkan bendera Islam. Untuk kehidupan yang lebih substantif, Islam sudah mulai hadir di manamana. Nilainilai etika dan moralitas Islam sudah diterima, bukan cuma oleh kalangan muslim sendiri tapi juga oleh semua pihak. Namun, dalam kehidupan politik yang lebih pragmatis, simbolsimbol yang lebih gampang dijabarkan memang sering dipakai sekadar untuk memenuhi suatu kepentingan sesaat. Wadahwadah formal diperlukan sebagai wahana untuk meraih tujuan. Misalnya, Golkar yang ketika didirikan bertekad menjadi partai modern yang bebas dari kotakkotak ideologis dan lebih menampilkan warna kebangsaan, toh membentuk berbagai organisasi massa Islam untuk kepentingan politiknya. Golkar seakan baru menampilkan sosok yang menampung aspirasi Islam bila ada wadahwadah formal itu. Padahal dengan memformalkan penyaluran aspirasi semacam itu bukannya tak tertutup kemungkinan terjadinya faksifaksi dalam tubuhnya sendiri. Akibat berkembangnya dua pemikiran itu juga dialami oleh Partai Persatuan Pembangunan. PPP yang mencoba menampilkan diri sebagai warisan sejumlah partai Islam dan memakai simbolsimbol Islam toh ditinggalkan oleh pendukungpendukungnya. Bisa jadi mereka telah mengikuti alur pemikiran Islam yang substantif itu. Penyaluran aspirasi politik tak harus lewat wadah formal seperti partai Islam. Apalagi PPP, setelah menerima asas tunggal Pancasila, secara resmi sebenarnya tak lagi bisa menyebut diri sebagai Partai Islam seperti di masa lalu. Pergulatan dua pemikiran itu pula tampaknya yang mewarnai kehidupan sosial politik. Baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di lingkungan kekuatan sosial politik yang ada atau birokrasi. Suatu pergulatan atau dialog pemikiran tentunya akan maju ke suatu sintesa. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus