Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara Protes dari Penjaringan

Dana JPS tak beres penyalurannya. Bank Dunia akhirnya menunda pinjamannya.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI mengelus ubun-ubun di Penjaringan. Inilah salah satu kawasan padat penduduk sekaligus kantong kemiskinan di Jakarta Utara. Sebagian besar warganya sehari-hari mencari makan sebagai pemulung, tukang becak, buruh bangunan, dan buruh rumah tangga. Mereka tinggal di rumah-rumah papan yang hampir berimpitan. Menelusuri kawasan ini, orang harus melewati lorong-lorong yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Berjalan pun mesti sedikit menunduk. Di sepanjang lorong, pakaian lusuh banyak dijemur. Ke sanalah pekan silam Country Director Bank Dunia di Indonesia yang baru, Mark Baird, berkunjung. Baird belum genap sebulan menggantikan pejabat sebelumnya, Dennis de Tray. Ia bersafari karena hendak melihat langsung pelaksanaan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), sebuah skema bantuan superlunak untuk mengatasi kemiskinan pada masa krisis, yang (bakal) didapat dari pinjaman lembaga dan negara donor, termasuk Bank Dunia. Berdasar APBN, dana itu bakal dikucurkan buat rakyat kecil sekitar Rp 17,8 triliun. Kunjungan Baird boleh dikata mengevaluasi pelaksanaan program pengentasan kemiskinan itu. Sejak awal tahun ini, pemerintah telah memutuskan untuk mengulurkan langsung dana JPS ke kantor-kantor kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Tiap desa memperoleh jatah kredit tanpa bunga Rp 60-80 juta. Warga yang membutuhkan pinjaman dana JPS diminta menyusun usulan proyek. Bentuknya terserah, bebas apa saja, asalkan padat karya. Ternyata di lapangan terdengar isu tak sedap: dana tak masuk ke kantong warga miskin, tapi melenceng ke kocek mereka yang tak berhak. Reaksi penyambutan Baird di kampung kumuh itu mungkin bisa jadi gambaran bagaimana dana itu tak keruan rimbanya. Di sebuah dinding rumah papan, misalnya, menyandar sebuah papan ukuran dua kali dua meter. Tertera tulisan, urut dari atas ke bawah: "Stop JPS: Utang luar negeri 200 miliar dolar, Utang JPS 17,5 miliar dolar, Jumlah penduduk Indonesia 200 juta jiwa, Beban utang per jiwa 8,5 juta rupiah." Entah siapa yang memasang papan bercat merah putih itu. Tapi Baird, yang datang dengan Wardah Hafidz dari LSM Konsorsium Penduduk Miskin Perkotaan dan serombongan wartawan, senyum-senyum saja melihatnya. Ketika ia memasuki kampung-kampung, sambutan tak kalah meriahnya. Warga berteriak-teriak, "Stop JPS, stop JPS!", mirip unjuk rasa mahasiswa di jalanan. Di sebuah rumah Baird berhenti. Ia melongokkan kepalanya ke dalam salah satu kamar. Penghuninya, seorang pria bertelanjang dada, tersenyum. Pria itu, Tarno namanya, bercerita pada Baird dalam bahasa Indonesia bahwa dulu ia pernah bekerja di suatu perusahaan di Tangerang, Jawa Barat. Ia diberhentikan empat bulan silam sehingga terpaksa banting setir menjadi tukang becak. "Di sini JPS hanya menimbulkan permusuhan, karena yang mendapat hanya orang-orang tertentu, seperti ketua RT dan tetangganya. Warga yang lain jadi iri," ujarnya. Baird mangut-manggut. Tak jauh dari bilik Tarno, seorang ibu yang tengah menanak nasi sambil menggendong anaknya berkisah. Ia pernah menerima bantuan dana jaring itu berupa dua kilogram beras. "Tapi banyak kutunya," katanya. Dua orang ini hanya sedikit contoh bagaimana warga Penjaringan menyikapi program JPS. Dalam kunjungan dadakan itu, banyak warga lain yang mengeluhkan bagaimana program pengaman itu tak berjalan semestinya. Mereka menuntut Bank Dunia agar menghentikan saja JPS. Baird bereaksi tenang. Ia dengan sabar menjelaskan bahwa Indonesia tetap membutuhkan bantuan, terutama pada masa krisis ini. Namun, menurut Baird, selain bantuan untuk bidang pendidikan, Bank Dunia belum pernah membuat program untuk JPS. Lembaga donor terkemuka itu baru dalam tahap merencanakan pemberian bantuan dana untuk JPS. Karena itulah ia turun ke lapangan guna mengevaluasi pelaksanaan JPS selama ini. Nah, rapat evaluasi Bank Dunia terakhir ternyata merekomendasi agar pemerintah memperbaiki aspek penentuan sasaran dan transparansi JPS. Soalnya, lembaga keuangan ini melihat masyarakat yang harusnya menerima dana itu kurang dilibatkan. "Mereka umumnya belum tahu persis soal program bantuan ini," tutur Andrea Silverman, koordinator pengembangan sosial Bank Dunia Indonesia. Bank Dunia juga memutuskan untuk menunda pengucuran pinjaman US$ 600 juta sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaan JPS. Jadi, maaf, tak ada dana bagi orang miskin! Wicaksono, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus